Langsung ke konten utama

SEBUAH PABRIK BERNAMA UJIAN NASIONAL


Pagi itu saya sangat terkejut membaca sebuah berita di dunia maya. Wawancara Wakil Menteri Pendidikan mengenai Ujian Nasional yang saya baca di sini membuat saya terpukul:

"Percayalah, kalau tidak diberi ujian, yakin saya sekolah itu tidak akan menerapkan proses belajar. Coba bayangkan Indonesia tidak ada semangat untuk belajar. Untung ada UN, mereka jadi belajar."

Pernyataan ini membuat saya bertanya-tanya. Bagaimana bisa seorang Wakil Menteri Pendidikan berbicara seperti ini? Apakah ini didasari pengalaman pribadi Sang Profesor? Sehingga Wamen merasa sangat pesimis dengan berlangsungnya proses belajar di sekolah?

Mungkin banyak pertanyaan di masyarakat: "apa sih yang salah dengan UN?" atau "perasaan jaman dulu Ujian nggak ribut-ribut seperti ini".

Sungguh pada awalnya saya juga merasa heran, apa yang salah dengan UN? toh jaman dulu ini tidak ada masalah?

Pada awalnya saya pernah menyatakan: Tidak ada yang salah dengan UN dan saya mendukung adanya sebuah standardisasi pendidikan.

Manusia memang tidak pernah luput dari kesalahan. Dan sekarang saya akui bahwa pendapat saya ketika itu salah. Meskipun pada tahun 1998 saya bersama kawan-kawan PSIK pernah mengupas persoalan-persoalan di bidang Pendidikan Indonesia.  Namun ternyata itu semua tidak bisa dijadikan sebagai sebuah alasan untuk berhenti belajar dan menggali lebih dalam lagi mengenai Pendidikan. Karena bertahun-tahun kemudian pendapat saya salah mengenai dunia Pendidikan Indonesia. Ya, pendapat saya mengenai UN sebelumnya salah besar.

Pikiran saya mulai terbuka setelah saya terlibat perdebatan sengit dengan suami mengenai UN. Suami saya mencoba menerangkan apa yang salah dari UN secara teknis pelaksanaannya. Tentu pada awalnya saya tidak menerima begitu saja argumentasinya. Setelah berdebat cukup sengit akhirnya saya bisa memahami, bahwa secara teknisnya itu saja UN sudah salah.

UN berbeda dengan Ebtanas pada jaman saya sekolah dulu. Meskipun sama-sama dilakukan secara serentak nasional, Ebtanas tidak menentukan kelulusan. Ebtanas hanya menentukan NEM (Nilai Ebtanas Murni) yang menjadi 'tiket' untuk masuk ke sekolah-sekolah lanjutan yang dituju.

Sedangkan Kelulusan ditentukan oleh sekolah masing-masing lewat Surat Tanda Tamat Belajar. Surat Tanda Tamat belajar ini sama halnya dengan nilai raport, hanya diwujudkan dalam sebuah "ijazah".

Kelulusan pada model "Ebtanas" ditentukan oleh guru-guru di sekolah yang telah lama berinteraksi dan mengenal murid-muridnya. Mereka adalah guru-guru yang menjalani sendiri dan mengetahui proses belajar mengajar di sekolah. Sedangkan kelulusan pada UN ditentukan secara terpusat (meskipun sekarang sudah dikurangi dari 100% menjadi 60% pusat, 40% daerah). Dan kelulusan tersebut ditentukan oleh orang-orang yang tidak mengetahui dan mengenal siswa. Mereka yang menentukan kelulusan bukanlah orang-orang yang menjalani sendiri proses belajar mengajar tersebut.

Apakah penting bagi seorang penentu kelulusan untuk mengetahui bagaimana proses belajar mengajar di sekolah? Tentu saja!

Cobalah kita telusuri dari hakikat pendidikan dan tujuan pendidikan itu sendiri di UUD 1945 (versi Amendemen), Pasal 31, ayat 3 menyebutkan:

"Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang"

Pasal 31, ayat 5 menyebutkan: "Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia."

Jabaran UUD 1945 tentang pendidikan dituangkan dalam Undang-Undang No. 20, Tahun 2003. Pasal 3 menyebutkan:

"Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."

Inilah hal-hal dasar yang sering dilupakan oleh pemegang kebijakan di bidang pendidikan saat ini. Lupa bahwa tujuan pendidikan adalah mewujudkan masyarakat yang beradab dan berakhlak mulia. Lupa bahwa sasaran pendidikan yang utama adalah karakter. Lalu bagaimana hal tersebut bisa diuji oleh orang-orang yang tidak berinteraksi dengan subjek pendidikan itu sendiri?

Kita juga tahu bahwa pendidikan itu pada hakikatnya adalah sebuah proses. Proses bertahun-tahun. Lalu bagaimana bisa hasil dari proses untuk mewujudkan masyarakat beradab dan berakhlak mulia tersebut dinilai hanya dengan dua digit angka hasil Ujian Nasional yang berlangsung hanya 3 hari?

Pada kenyataannya tujuan pendidikan untuk mewujudkan masyarakat yang beradab dan berakhlak mulia tersebut telah hilang dengan diselenggarakannya Ujian Nasional.

Sistem Pendidikan Nasional yang menjadikan karakter sebagai sasaran utama telah jauh bergeser dengan adanya Ujian Nasional. Sasaran utama saat ini adalah kemampuan hapalan siswa selama 3 hari menempuh Ujian Nasional.

Alih-alih membentuk masyarakat beradab dan berakhlak mulia, Ujian Nasional malah membuat para pelaku pendidikan panik karena adanya vonis lulus dan tidak lulus. Paramater sekolah terbaik pun bergeser. Setiap daerah di Indonesia baik tingkat propinsi, maupun daerah tingkat II berlomba-lomba untuk memperoleh predikat lulus 100%. Jika tingkat propinsi memberikan target lulus 100%, maka yang harus mengejar target tersebut adalah daerah tingkat II dan sekolah-sekolah yang ada di wilayah tersebut. Lalu setiap sekolah di wilayah itu berlomba-lomba untuk memasang spanduk di halaman sekolah: Lulus 100%.

Jika sekolah sudah mentargetkan seperti itu, maka segala cara dilakukan. Dari mulai yang halal namun melenceng jauh dari tujuan pendidikan itu sendiri seperti memacu anak untuk terus latihan soal-soal UN setiap hari, sampai usaha yang berbau klenik, hingga usaha-usaha yang tidak halal seperti mencontek massal, bocoran soal ataupun joki. Semua dilakukan karena 'termotivasi' dengan predikat LULUS maupun predikat LULUS 100%.

Kemudian, muncullah ~baik dari sebagian masyarakat maupun pemangku kebijakan~ pertanyaan-pertanyaan:

°Kalau tidak ada UN, nanti tidak ada standard kualitas lulusan?

°Apakah siswa yang nilainya jelek-jelek harus lulus juga?

Satu hal yang harus disadari oleh pemangku kebijakan dan masyarakat yang mempertanyakaan itu adalah: yang kita bahas di sini adalah sebuah Sistem Pendidikan, Bapak, Ibu. Yang kita bahas di sini bukanlah sebuah pabrik industri. Pabrik di mana inputnya adalah benda mati yang memiliki kesamaan/seragam. Yang selama prosesnya ditekan dan dibentuk agar diperoleh output yang sesuai standard yang diinginkan pemilik pabrik atau pemegang saham atau pemilik modal. Lalu jika output sistem dalam pabrik tersebut tidak sesuai standard, maka pemilik bisa me-reject, membuang ataupun menjual murah output tersebut.

Yang kita bahas di sini adalah sebuah sistem pendidikan. Yang subjeknya adalah manusia. Bukan benda mati. Manusia yang memiliki keunikannya masing-masing. Memiliki kelebihan dan kekurangan. Mereka masuk ke dalam sistem pendidikan dengan membawa harapan dan masa depan. Masuk ke dalam sistem pendidikan untuk dibantu dalam menggali potensinya sehingga bisa mewujudkan cita-cita mereka dalam menggapai masa depan. Mereka masuk ke dalam sistem pendidikan bukan untuk ditekan dan dibentuk seperti halnya sebuah pabrik.

Maka jika manusia memiliki keunikan tersendiri, bagaimana mungkin mereka harus diseragamkan?

Dan jika manusia-manusia yang memiliki keunikan tersendiri tersebut memiliki potensi dan kelemahannya masing-masing, untuk apa harus ada penentuan kelulusan yang distandardisasikan dengan mata pelajaran yang tidak berkaitan dengan potensinya itu? Sebagai ilustrasi, jika selama 6 tahun proses belajar mengajar di Sekolah Dasar ternyata telah terlihat potensi seorang anak yang luar biasa pada bidang olahraga atau seni, haruskah masa depan anak tersebut terhambat karena tidak lulus UN? Tidak lulus pada mata pelajaran Matematika ataupun IPA?

Saya yakin para pemangku kebijakan di Bidang Pendidikan termasuk Bapak Wamen mengetahui dan sangat memahami bahwa kecerdasan manusia itu tidak tunggal. Bahwa kecerdasan manusia itu tidak hanya dinilai dari kemampuan hapalan saja, bahkan tidak bisa dinilai hanya dengan dua digit angka hasil Ujian Matematika, IPA, Bahasa Indonesia dll. Saya yakin Bapak Wamen beserta anak buahnya pernah mendengar apa yang disebut Multiple Inteligence.

Pendidikan adalah sebuah proses. Sedangkan UN telah merubah pendidikan menjadi berorientasi pada hasil akhirnya saja. (Antara Proses dan Hasil).

Maka jelaslah sudah, dilihat dari sudut manapun UN sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Sudah waktunya, kembalikanlah Pendidikan Indonesia kepada hakikat & tujuannya semula. Mewujudkan masyarakat yang beradab & berakhlak mulia. Menjadi insan kamil.

Published with Blogger-droid v2.0.4

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hindari Berbohong dalam Berpolitik: INDEKS KORUPSI PARTAI POLITIK VERSI KPK WATCH: QUALIFIED ATAU ABAL-ABAL?

Akhir-akhir ini banyak beredar di dunia maya Indeks Korupsi Partai Politik yang dibuat oleh semacam lembaga (entah lembaga resmi, entah lembaga dadakan)dengan nama KPK Watch sebagai berikut di bawah. Bagaimana metode perhitungan Indeks Korupsi Partai Politik versi KPK Watch ini? KPK Watch mengambil data jumlah koruptor selama periode 2002-2014 dari laman ICW. Setelah diperoleh angka jumlah koruptor, KPK Watch membagi angka tersebut dengan jumlah suara yang diperoleh pada pemilu 2009. Maka didapatlah angka Indeks Korupsi Partai Politik yang kemudian dipublikasikan via social media. Tentu saja publikasi ini tidak melewati publikasi media cetak dan media elektronik. Mengapa? Entahlah.. kita tidak akan membahas itu. Kita hanya akan membahas bagaimana metoda perhitungan KPK Watch ini dan apa pengaruhnya pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 ini. Tapi mungkin dari pembahasan ini kita akan paham kenapa Indeks Korupsi Partai Politik yang dikeluarkan KPK Watch ti

JIKA AKU SHOLAT, SEHARUSNYA AKU JADI SEORANG MUSLIM YANG SEPERTI APA? (II)

Pada tulisan sebelumnya sudah dijelaskan bahwa 3 ritual awal sholat: wudhu, takbiratul ihram dan iftitah jika dilakukan dengan menyelami maknanya maka akan mengantarkan kita ke dalam 2 kondisi:  1. Pengendalian ketergantungan diri pada kemelekatan duniawi 2. Pengendalian ego Jika setelah berwudhu kita bisa melepaskan diri dari kemelekatan duniawi, lalu setelah takbiratul ihram dan membaca doa iftitah kita sudah bisa menihilkan ego, maka itu berarti kita siap untuk masuk ke tahap selanjutnya dalam sholat: berdialog dengan Allah lewat surat Al Fatiha. Tanpa masuk ke dalam 2 kondisi di atas, kita tidak akan bisa berdalog dengan Allah. Bacaan-bacaan Al Fatiha kita menjadi meaningless... tanpa makna, dan tidak akan membekas apa-apa dalam kehidupan kita.  Jika kita sudah siap, mari kita mencoba masuk dalam tahap berdialog dengan Allah. Bagi sebagian orang, bisa berdialog dengan Allah adalah sesuatu yang sangat didambakan. Bagaimana tidak.. Sebagian kita berharap bisa berdialog da