Langsung ke konten utama

BERGESERNYA KEBERPIHAKAN KAUM TERPELAJAR (BERKACA DARI DEMO PARA DOKTER)

Demo para dokter telah lewat beberapa waktu. Berbagai reaksi dari masyarakat pun muncul. Sebagian adalah reaksi negatif. Munculnya reaksi negatif ini saya rasa lebih kepada akibat persoalan teknis, dan bisa diatasi jika demo para dokter ini dilakukan bertahap dengan pemanasan2... yaitu sosialisasi isu terlebih dahulu.  
Karena sosialisasi isu yg kurang ini, masyarakat tidak mampu untuk menangkap inti persoalan dari tuntutan para dokter. Masyarakat yg pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari kebutuhannya terhadap para dokter tiba2 merasa diputus, tiba2 merasa ditinggalkan oleh satu2nya solusi kesehatan mereka: dokter. Seandainya saja demo ini dilakukan secara bertahap dengan eskalasi yang halus, tentu saja masyarakat akan menyadari bahwa apa yang dituntut oleh para dokter ini sangat berkaitan erat dengan kebutuhan masyarakat sendiri. Apa yang dituntut oleh para dokter adalah demi masyarakat itu sendiri. Bagaimana tidak, tuntutan terhadap kasus dr Ayu akan sangat mempengaruhi pelayanan para dokter dan rumah sakit terhadap masyarakat.
Bagaimana dokter dan rumah sakit bisa optimal melayani pasien jika mereka selalu dibayang-bayangi pintu penjara ketika pelayanan yg mereka lakukan tidak berhasil? Padahal sebagai masyarakat beragama kita semua tahu bahwa dokter hanyalah perantara kesembuhan. Mereka hanyalah sebagai salah satu alat ikhtiar. Maka ujung pena para dokter ketika menulis resep, ujung pisau para dokter di ruang bedah selalu berada pada 2 kemungkinan yg tipis sekali perbedaan resikonya: gagal atau berhasil. Bukankah semua profesi selalu ada pada kemungkinan itu? Tidak seperti profesi lain PADA UMUMNYA... kegagalan dalam dunia kedokteran bisa berarti kehilangan nyawa. Apalagi untuk dokter-dokter yang memang berkubang pada resiko tinggi: spesialisasi bedah dan spesialis kandungan. Tanpa operasi pun... tanpa kelainan pun, kita semua mengetahui bahwa pertarungan seorang ibu ketika melahirkan adalah pertarungan antara hidup dan mati. Maka, karena kita tahu betapa besar resiko yang ditanggung oleh seorang dokter, seharusnyalah hukum di negara ini tidak boleh menjadi hantu bagi para dokter ketika bekerja, sebaliknya hukum harus bisa melindungi para dokter sehingga mereka bisa memberikan pelayanan dengan tenang dan optimal.  
Jika hukum gagal melindungi para dokter dalam bekerja, masyarakat yang sangat dirugikan. Karena dokter dan rumah sakit akan menempuh cara-cara aman untuk menghindari pintu penjara. Salah satunya adalah Defensive Medicine seperti yang akhir-akhir ini diwacanakan dunia kedokteran kita. Wacana Defensive Medicine ini harus kita lihat sehagai bentuk rasa frustasi dokter-dokter kita karena tidak adanya perlindungan hukum bagi mereka dalam bekerja. Maka manusiawi sekali jika wacana ini timbul. Defensive Medicine ini merugikan masyarakat dengan dampak semakin besarnya biaya yang bisa dikeluarkan oleh pasien karena prosedur pemeriksaan yg lebih banyak, atau bisa juga berdampak pada semakin lamanya waktu dalam pelayanan karena prosedur yang lebih rumit. Sedangkan kita mengetahui bahwa waktu adalah sesuatu yang sangat berharga pada kasus2 gawat darurat. Tapi pemotongan prosedur yang rumit bisa menjerumuskan para dokter ke pintu penjara, maka mau tak mau dokter harus menempuh prosedur yg rumit ini. Tidak ada lagi "dahulukan penanganan keselamatan pasien, mengenai prosedur... nanti saja belakangan".  
Ketika saya menonton film Patch Adam (Robbin Williams) dan drama korea Good Doctor, saya berpikir bahwa rumah sakit ideal adalah rumah sakit yang manusiawi yang mengenyampingkan prosedur2 rumit dan menghambat pasien untuk mendapatkan penanganan cepat. Namun dari kasus dr Ayu kemarin... Rumah Sakit2 dan dokter2 manusiawi seperti dalam film tersebut tidak mungkin terwujud di Indonesia karena mereka adalah santapan lezat hukum negeri ini.
  
Banyak sekali kasus2 dalam penanganan gawat darurat yang membuat dokter2 dan rumah sakit sangat membutuhkan perlindungan hukum. Lalu apakah ini berarti dokter selalu kebal hukum? Sama sekali tidak! Kita semua harus menyadari bahwa dokter sama sekali tidak kebal hukum, tapi karena resiko pekerjaannya yang tinggi, maka dokter memiliki prosedur khusus untuk memutuskan apakah dokter tsb bersalah atau tidak. Bagaimana bisa seorang dokter yang berniat menolong pasien tiba-tiba dihukum sama dengan seorang kriminal: menghilangkan nyawa seorang manusia? Kita saja yang bukan dokter... siapa sih yang mau disebut sebagai kriminal? Apalagi seorang dokter yang niat dan tujuan awalnya adalah menolong pasien? Maka biarkan dunia kedokteran memiliki prosedur hukumnya sendiri... Semacam Pengadilan Profesi.  
Jika tidak ada perlindungan hukum, resiko penjara dan cap kriminal selalu membayang-bayangi dokter dalam bekerja sehingga mereka tidak bisa optimal dalam melayani pasien. Yang dirugikan adalah masyarakat itu sendiri. Inilah yang dituntut oleh para dokter kemarin. Namun pesan ini tidak bisa ditangkap oleh masyarakat. Yang ditangkap adalah kesan (bukan pesan) negatifnya. Apakah ini karena demo? Apakah salah jika dokter melakukan demo? TIDAK! Sama sekali TIDAK SALAH jika dokter melakukan demo.
1. "Kenapa tidak salah? Dokter kok demo, ini melanggar kode etik!".
Apanya yang salah? Demo adalah salah satu bentuk menyampaikan pendapat. Dan ini dilindungi oleh UUD 45. Setiap warga negara berhak untuk menyampaikan pendapatnya. Apakah dokter bukan bagian dari warga negara Indonesia?
2. "Tapi kalau dokter demo, mereka meninggalkan pasien. Mereka kan punya tanggung jawab terhadap pasien"
Kata siapa jika dokter demo berarti mereka meninggalkan pasien? Ini kan hanya persoalan teknis bagaimana para dokter mengatur jadwal antara praktek dan demo. Toh IDI pusat sudah mengeluarkan himbauan sehingga UGD, IGD, ICU/ICCU, ruang operasi Cito, ruang persalinan dan faskes primer harus tetap buka. Dalam jam kerja dokter yang harus stand by sewaktu2 (tidak seperti profesi lain PADA UMUMNYA), bukankah dokter juga memiliki shift kerja? Ini bisa diatur kok, sekali lagi ini masalah pengaturan teknisnya saja. Sayangnya yang kita persoalkan selalu ada pada lingkup persoalan2 teknis seperti ini. Kita tidak bisa membedakan mana yang persoalan teknis, mana yang menjadi inti persoalan  
3. "Tapi buktinya pasien2 terlantar, ada yang melahirkan di kamar mandi, ada yang meninggal?"
Apakah masyarakat juga mengetahui begitu banyaknya rumah sakit-rumah sakit yang tetap buka, dokter2 yg tetap melayani pasien? Dan ini tentu saja lebih banyak daripada kejadian2 negatif yang diberitakan oleh media karena himbauan IDI pusat lebih menegaskan hal tersebut. Masyarakat juga tidak menyadari bahwa kasus-kasus seperti yg disebutkan di atas sebenarnya sering terjadi sehari-hari karena tenaga kesehatan yang memang kurang meskipun dokter2 tidak melakukan demo. Terkadang masyarakat juga tidak menyadari ada hal2 tidak dapat diduga dalam dunia kedokteran yang kemudian seringkali dilimpahkan tanggung jawabnya pada petugas2 kesehatan. Ada banyak kejadian ibu2 melahirkan tidak sempat pergi ke rumah sakit. Bahkan sahabat saya ada yang melahirkan di mobil... 2 tahun sebelum demo dokter kemarin.  
4. "Tapi demo itu kan banyak dampak negatifnya, kok masih dilakukan? *facepalm"
Ya segala sesuatu itu pasti ada dampak positif dan negatifnya. Begitu juga demo. Sama halnya demo buruh, demo 98, demo 66, demo di Mesir, demo di Iran, demo di Bangkok yg baru-baru ini. Dampak negatif ini sebenarnya bisa diminimalisir karena ini adalah (sekali lagi) persoalan teknis. Tapi terkadang juga, meskipun sudah sangat matang dampak negatif ini tidak bisa dihindari. Seperti ketika demo Trisakti tahun 98, tidak ada yg bisa mengira kemunculan para sniper ketika itu.. Maka tetap saja ada korban nyawa. Dan karena ini menyangkut persoalan teknis di lapangan, maka kalau dibandingkan dengan dampak positif dari isu utamanya, tentu saja lebih besar dampak positifnya jika berhasil gol. (jika ada pertanyaan apa dampak positifnya demo dokter ini, baca kembali tulisan di atas untuk kepentingan siapakah sebenarnya isu ini diangkat).  
5. "Memangnya tidak ada cara lain lagi selain demo?"
Kasus dr Ayu ini terjadi tahun 2010. Sudah sekian tahun dokter2 menempuh berbagai cara. Dan apakah hasil yang didapat saat ini? Oleh karena sudah sekian lamanya kasus ini terjadi,  seharusnyalah tidak ada pertanyaan seperti itu lagi di antara kita. Kalau seandainya ada cara lain yg berhasil dilakukan, tentu kasusnya tidak akan selama ini, tidak akan menjadi bola salju dan dokter2 tidak perlu berdemo seperti kemarin. Jika timbul pertanyaan seperti di atas, itu berarti karena selama ini kita tidak tahu bahwa ada kasus dr Ayu. Dan sekarang kasus ini menjadi besar, diketahui masyarakat luas justru karena adanya Demo Para Dokter kemarin. Itulah salah satu manfaat demo. Jika dokter2 itu tidak melakukan demo, mungkin kita masih tidak tahu ada permasalahan seperti ini.  
6.  "Tapi ada loh dokter yang bilang masyarakat harus merasakan sehari tanpa dokter, lalu meninggalkan pasiennya".
Yang seperti ini anomali. Memang ada yang seperti itu. Ada juga cerita dokter2 yang komersil. Yang memberikan obat2an paten kepada masyarakat dengan bayaran "fee" dari marketing farmasi. Ada dokter obgyn yg senang operasi caesar krn lebih menghasilkan drpd melahirkan normal yg resikonya jg lebih tinggi. Ada rumah sakit yg bekerja sama dgn produsen susu formula sehingga bayi2 baru lahir langsung dicekoki susu formula. Cerita seperti ini ada saja di setiap profesi. Bukan hanya di dunia kedokteran. Di dunia guru juga ada guru yang bejat, pegawai pajak ada yang korup, pilot ada nyabu, hakim ada yang kotor, dan lain sebagainya... dan lain sebagainya. Tapi apa kemudian kita bisa menggeneralisir semua seperti itu? Memang sepertinya masyarakat kita sudah terkena penyakit "pukul rata". Kalau kita menemukan satu kasus negatif, semua kita anggap seperti itu.  
7. "Tapi Demo itu kan tidak intelek! Mosok dokter yg pintar dan mulia itu demo?"
Nah... Ini satu lagi salah kaprah pandangan masyarakat. Yah... untuk masyarakat umum sih masih wajar jika mereka berpikir seperti itu. Mungkin mereka tidak tahu bahwa kaum terpelajarlah yang seharusnya berada di garis terdepan untuk membela kepentingan masyarakat bawah. Itulah sebabnya mengapa Soekarno dengan gagah ada di barisan terdepan membakar rakyat dengan pidato2nya ketika demo (yg populer disebut rapat besar) di lapangan Ikada. Itulah sebabnya mengapa Mahatma Gandhi memimpin rakyatnya maju bersama2 menuntut kemerdekaan hingga dipukuli tentara kolonial tanpa melakukan perlawanan setelah Beliau membakar "kartu kependudukannya". Itulah mengapa calon dokter Hariman Siregar berunjuk rasa di peristiwa Malari. Atau mahasiswa berada di garis terdepan mendampingi masyarakat pada kasus tanah Badega dan Kacapiring, mahasiswa mendampingi kaum buruh dan masih banyak lagi peristiwa2 sejarah lainnya baik di dalam maupun di luar negeri yang memperlihatkan bahwa kaum terpelajarlah... kaum intelektuallah yang berada di garis terdepan sebuah demonstrasi yang selalu berujung pada perubahan. Baik perubahan besar maupun perubahan kecil. Semua ini bukan saja didasari dari pemikiran intelektual tokoh-tokoh tersebut, tapi juga didasari oleh TANGGUNG JAWAB INTELEKTUAL mereka. Kok bisa jadi tanggung jawab intelektual? Wah kalau soal tanggung jawab intelektual itu panjang lagi penjelasannya, silakan baca di sini (Cendikiawan Yang Terkungkung dan Yang Merdeka)  

Lalu kenapa kemudian ketika dokter-dokter ini melakukan demo kita melihatnya sebagai tidak intelektual? Ketika kaum terpelajar yang seharusnya mengedukasi masyarakat, ikut menyampaikan pesan dan maksud demo para dokter ini (karena ini demi kepentingan masyarakat itu sendiri) yang terjadi malah sebaliknya.. kaum terpelajar ini malah memprovokasi kelas bawah untuk menghujat para dokter. Masyarakat diajak berpikir dengan argumentasi-argumentasi di tataran teknis dan jangka pendek.. bukan inti permasalahan.. Padahal seharusnya masyarakat bawah diedukasi oleh kaum terpelajar ini untuk mampu melihat sebuah persoalan secara menyeluruh dan jangka panjang.  Sudahlah... tidak perlu lagi kaum terpelajar ini berkutat dalam argumentasi2 di tataran teknis. Buat apa? Itu  malah semakin membuat dokter dan rumah sakit tidak bisa melayani kepentingan masyarakat dengan optimal.  Hanya memenuhi nafsu kita saja untuk melampiaskan kekecewaan pribadi, tetapi tidak memberikan manfaat pada masyarakat kelas bawah. Apakah keberpihakan kaum terpelajar ini telah bergeser menjadi keberpihakan terhadap kepuasaan diri sendiri? Telah bergeser pada kenyamanan berkendara yang terganggu macet karena demonstrasi?  

Saya sendiri melihat kesalahan para dokter dalam demo kemarin hanyalah karena persoalan teknis: tidak mempersiapkan demo ini secara rapi dan matang. Tidak ada eskalasi yang dimulai dari pengemasan dan sosialisasi isu agar masyarakat bisa memahami isu utamanya sehingga bisa mendukung dokter2 dalam menyuarakan tuntutannya. Selain itu juga koordinasi tugas2 sehingga masyarakat tetap bisa terlayani dengan baik dan meminimalisir pasien yang merasa dirugikan dari demo ini. Ini kritikan saya dari demo kemarin.  
Lalu apa dong sekarang yang harus kaum ~yang katanya~ terpelajar ini lakukan? Kalau memang kaum terpelajar ini berpihak pada masyarakat, ya.. ayo kita dukung dan bantu para dokter untuk bisa melayani masyarakat dengan lebih baik. Bantu dan dukung mereka untuk bisa bekerja dengan tenang dan aman karena mereka bekerja dengan dilindungi oleh hukum di negara ini. Bantu mereka untuk mendorong pemerintah membentuk Peradilan Profesi, sehingga jika mereka gagal dalam menyelamatkan pasiennya, mereka tidak dengan mudah disamakan dengan pelaku kriminal.  

(Ini sekedar pendapat dari saya yang bukan dokter, tidak bergulat dalam dunia kedokteran maupun obat2an, tetapi pernah merasakan jadi pasien dan keluarga pasien)



Komentar

  1. Kalo ei pribadi sih tidak meng-generalisir, masih ada dokter yg pake hati nurani, tapi jujur aja, berasa susah nyarinya karena mungkin salah satunya tenggelam di kebijakan rumah sakit atau janji insentif dari produsen farmasi.

    Jujur aja, ketika demo kemarin itu terjadi, yg muncul dikepala ei bukan masalah : koq dokter demo sih kan ngga intelek. Tapi lebih ke pertanyaan : ketika hak pasien diperkosa, mereka dimana? Di pihak siapa?

    Rekam medis yg di beberapa rumah sakit dianggap rahasia, koq ya bisa pasiennya sendiri yg minta (buat cari second opinion) ga dikasih meskipun minta copy-nya aja bukan aslinya.
    Kode etik? Penjelasannya gimana?

    Itu cuman satu contoh dari pengalaman ei jadi pasien dan keluarga pasien
    Soalnya ngga ngerasa golongan terpelajar xixixi...

    BalasHapus
  2. Karena itu anomali, Ei.... alhamdulillah selama ini aku justru kebalikannya :) Selama ini aku malah baru 2 kali dapat dokter nyebelin. Itupun langsung kutinggal waktu dia masih nulis resep. Selebihnya aku temui dokter2 yg qualified, baik itu dokterku sendiri, dokter anakku maupun dokter keluargaku. Alhamdulillah aku juga punya banyak teman dokter dan saudara dokter yang siap stand by aku telepon bertanya ttg kesehatan aku, anakku dan juga dulu... tentang alm bapak.

    Memang pastinya ada saja dokter dan rumah sakit seperti itu. Maka sebagai pasien kita juga hrs interospeksi. Apakah kita sdh menyadari dan mau menuntut hak2 kita sebagai pasien? Apakah kita sebagai pasien atau keluarga pasien sudah bersikap kritis dan tidak mau dimanja dengan obat2 paten para dokter yg bekerja sama dengan perusahaan farmasi?
    Banyak looh.. pasien2 yg pinginnya ke dokter2 yg selalu ngasih obat "paten" atau bahkan pasien suka meninggalkan dokter yg cuman bilang: "ah.. anak Ibu ga pa pa.. cuman masuk angin saja" :)

    BalasHapus
  3. Aku gak begitu ngikutin sih masalah ini, tapi terus terang kemarin liat di tv tentang "demo" dokter agak gimana gitu, aneh. Intinya muncul pertanyaan "pasien-pasien pada mau dikemanain yg mau berobat", itu doang, tapi karena gak begitu paham betul ini masalah (alasan dokter ini demo, apa yg mau diperjuangkan) jadi gak mau nge-judge tetep positif thinking, lagian bukan ranahku takut malah bikin runyem. Tapi setelah baca ulasan yg Enyak Nov tulis, pahamlah aku maksudnya... Salam hangat, dari anak + penggemarmu @harwipenda hihihi

    BalasHapus
  4. Sungguh sebuah pemikiran yang mampu memahami kami.... tks novi.... *big hug* izin share ya ....

    BalasHapus
  5. Maaf mba, salam kenal. Kebetulan ketemu dengan tulisan mba, berhubungan kasus ini memang ramai, saya cuman ingin berbagi pikiran/opini juga dengan mba.

    - Kenapa banyak orang tidak senang dengan demonstrasi? karena demonstrasi merupakan "cara terakhir" jika cara - cara lain sesuai prosedur telah mentok. istilahnya kalo sudah tidak bisa main cantik barulah demonstrasi. Bahkan di serikat pekerja "yang benar" akan menempatkan demonstrasi sebagai opsi paling terakhir. Untuk demonstrasi terakhir ini, apakah tidak ada cara lain? jikalau demonstrasi harus dilakukan, apakah harus dilakukan juga mogok kerja?
    - Jika banyak orang kesal dengan aksi demo tersebut, sebenarnya masyarakat bukan tidak sepakat dengan tuntutan dokter. Tapi lebih karena banyak masyarakat yang punya pengalaman tidak baik dengan dunia medis (masalah komunikasi pasien-dokter, obat yang mahal, service, dll). Sehingga ketika para dokter muncul ke permukaan, yang teringat oleh masyarakat langsung pengalaman2 tidak mengenakan tersebut, sehingga aksi dokter kurang mendapat simpati. Percaya atau tidak, dari 12 orang anggota di grup whatsapp saya, semua punya alasan yang sama. Diluar topik, mungkin para dokter perlu berpikir juga cara meningkatkan servicenya. Tapi kami semua setuju bahwa permasalahan keprofesian harus diselesaikan dahulu oleh badan keprofesian masing-masing. Contoh yang sudah ada di Indonesia, kecelakaan transportasi diselidiki oleh KNKT dahulu. Mudah-mudahan akan menular ke profesi2 yang lain.
    - Apa alasannya para Hakim memutuskan yang bersangkutan bersalah? Saya belum pernah membaca kutipan langsung dari para hakim. Yang sering saya dengar (hanya dari update status sosial media para dokter muda, berita on line, berita tv), yang bersangkutan dihukum akibat tindakan medis yang dilakukan bersangkutan yang menyebabkan pasien meninggal. Pertanyaan saya, dimana saya bisa baca berita yang reliable, pernyataan langsung dari para hakim, atau cuplikan pertimbangan para hakim yang menjatuhkan hukuman. Sebenarnya inilah kekurangan dari para kaum intelektual kita, kurang disajikan berita yang lengkap, dari kedua sisi, namun sudah langsung bisa meluncurkan opini dan asumsi asumsinya.

    BalasHapus
  6. @harwipenda: hihihihiiii... terima kasih, Nak :D aku juga sebelum ngikutin kasusnya agak-agak gimana gitu juga :D

    @restu: #hug

    @adventourlife: pertanyaannya sudah ada jawabannya di tulisan di atas, silakan dibaca lagi. terima kasih sudah singgah :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hindari Berbohong dalam Berpolitik: INDEKS KORUPSI PARTAI POLITIK VERSI KPK WATCH: QUALIFIED ATAU ABAL-ABAL?

Akhir-akhir ini banyak beredar di dunia maya Indeks Korupsi Partai Politik yang dibuat oleh semacam lembaga (entah lembaga resmi, entah lembaga dadakan)dengan nama KPK Watch sebagai berikut di bawah. Bagaimana metode perhitungan Indeks Korupsi Partai Politik versi KPK Watch ini? KPK Watch mengambil data jumlah koruptor selama periode 2002-2014 dari laman ICW. Setelah diperoleh angka jumlah koruptor, KPK Watch membagi angka tersebut dengan jumlah suara yang diperoleh pada pemilu 2009. Maka didapatlah angka Indeks Korupsi Partai Politik yang kemudian dipublikasikan via social media. Tentu saja publikasi ini tidak melewati publikasi media cetak dan media elektronik. Mengapa? Entahlah.. kita tidak akan membahas itu. Kita hanya akan membahas bagaimana metoda perhitungan KPK Watch ini dan apa pengaruhnya pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 ini. Tapi mungkin dari pembahasan ini kita akan paham kenapa Indeks Korupsi Partai Politik yang dikeluarkan KPK Watch ti

JIKA AKU SHOLAT, SEHARUSNYA AKU JADI SEORANG MUSLIM YANG SEPERTI APA? (II)

Pada tulisan sebelumnya sudah dijelaskan bahwa 3 ritual awal sholat: wudhu, takbiratul ihram dan iftitah jika dilakukan dengan menyelami maknanya maka akan mengantarkan kita ke dalam 2 kondisi:  1. Pengendalian ketergantungan diri pada kemelekatan duniawi 2. Pengendalian ego Jika setelah berwudhu kita bisa melepaskan diri dari kemelekatan duniawi, lalu setelah takbiratul ihram dan membaca doa iftitah kita sudah bisa menihilkan ego, maka itu berarti kita siap untuk masuk ke tahap selanjutnya dalam sholat: berdialog dengan Allah lewat surat Al Fatiha. Tanpa masuk ke dalam 2 kondisi di atas, kita tidak akan bisa berdalog dengan Allah. Bacaan-bacaan Al Fatiha kita menjadi meaningless... tanpa makna, dan tidak akan membekas apa-apa dalam kehidupan kita.  Jika kita sudah siap, mari kita mencoba masuk dalam tahap berdialog dengan Allah. Bagi sebagian orang, bisa berdialog dengan Allah adalah sesuatu yang sangat didambakan. Bagaimana tidak.. Sebagian kita berharap bisa berdialog da

Halloooo Indaah :)

Hallo Indah dan semua kawan yang bertanya tentang ulasan saya mengenai Data KPK Watch di Kompasiana ( http://politik.kompasiana.com/2014/04/03/analisa-sederhana-kejanggalan-data-kpkwatch-644252.html ). Sebetulnya saya merasa sangat tidak perlu membuat tulisan ini lagi. Karena jawaban atas tulisan Indah sudah sangat jelas di ulasan saya tersebut. Tapi mungkin Indah dan beberapa kawan yang lain belum bisa memahami kalau saya tidak menerangkannya secara grafis serta dengan contoh-contoh sederhana lainnya. Juga karena saran beberapa kawan ya pada akhirnya saya buat juga. Karena saya bukan anggota Kompasiana, maka saya tidak bisa memberikan komentar di tulisan Indah tsb. Mohon maaf kalau saya menjelaskannya dengan soal cerita matematika sederhana kelas 6 SD. Tidak bermaksud merendahkan dan menyamakan taraf pemahaman dengan anak kelas 6 SD, tapi memang ilmu statistik yang saya gunakan bukan ilmu statistik yang rumit, hanya ilmu statistik sederhana dan perbandingan sederhana yang ada di pel