Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2009

Mencintai Surga dan Mencintai Tuhan

Seandainya saja seorang manusia hanya mengharapkan surga, mungkin ia bisa meninggalkan keluarganya, meninggalkan persoalan dunia lalu mengembara ke seluruh pelosok dunia untuk menggali ilmu dan tak pernah putus bersujud. Namun ketika seseorang mencintai Tuhan, maka ia akan mencintai manusia, ia akan mencebur di tengah lautan manusia, berada di antara manusia. Dia senang melebur dengan persoalan-persoalan manusia . Berada di depan manusia-manusia yang tertindas dan berhadapan dengan manusia-manusia penindas. Pondok Aren, 1 Desember 09

Ketika 3 Buah Kakao Bernilai Lebih dari 6,7 Triliun

Ini adalah pengadilan dunia, dimana yang berdiri di ruang sidang adalah manusia-manusia yang jauh dari kesempurnaan. Apalagi produk yang dibuat oleh manusia, tentu saja tidak sempurna. Ya, hukum buatan manusia selalu ada saja cacatnya. Hukum buatan manusia yang tidak pernah sempurna, dijalankan oleh manusia-manusia yang tidak sempurna. Maka hanya di dunia inilah bisa terjadi 3 buah kakao nilainya lebih tinggi dari 6,7 triliun. Karena pencurian 3 buah kakao bisa dengan cepat masuk ke pengadilan, sedangkan kasus 6,7 triliun yang merugikan negara begitu sulitnya masuk ke pengadilan. Adalah Nenek Minah, nenek tua miskin yang mencuri 3 buah kakao dari sebuah perkebunan untuk dijadikan bibit diajukan ke pengadilan dan dihukum 1,5 bulan percobaan. Dan yang harus ditekankan di sini adalah Nenek Minah mencuri bukan untuk dimakan, bukan untuk dijual, tapi untuk dijadikan bibit. Artinya semiskin2nya Nenek Minah ia mencuri untuk mata pencahariannya, ia tetap mau bekerja. Masyarakat Indonesia me

Aku Tak Tahu Apa-apa Tentang-Nya

Ketika dulu aku membaca buku seri Tasawuf Modernnya Agus Mustafa: Bersatu dengan Allah dan Terpesona di Sidratul Muntaha, aku merasa bahwa aku bisa mengenal zat-Nya, bisa merasa dekat dengan-Nya, sekaligus merasa kecil, merasa bergetar, merasa terharu, merasa keagungan-Nya, ah, pokoknya perasaan yang campur aduk. Dengan perumpamaan Agus Mustafa dan ayahnya bahwa antara Manusia dan Allah seperti teh yang dicelupkan dengan air putih, aku merasa bisa mengenal-Nya. Yah, perumpamaan yang simple namun mendalam. Tetapi kemarin malam ketika aku membaca kembali Mutiara Nahjul Balaghah, Wacana dan Surat-surat Imam Ali r.a., (yang dulu semasa SMA pernah aku coba untuk membacanya) semua yang selama itu bercokol di pikiranku seperti dimentahkan, seperti terpinggirkan, hanya dengan satu alinea pembuka pidato Ali bin Abi Thalib tentang keimanan. Ya, satu alinea pembuka, belum.... belum masuk kepada isi pidato yang lebih menghanyutkan itu. Hanya satu alinea: “Segala puji bagi Allah yang tiada pembic

Nasihat Ali bin Abi Thalib

Berkata Kumail bin Ziyad An Nakha'iy: "Pada suatu hari, Amirul Mukiminin Ali bin Abi THalib menggandeng tanganku dan membawaku ke suatu tempat pekuburan. Sesampainya di sana, ia menarik napas panjang dan berkata kepadaku: Wahai Kumail, sesungguhnya kalbu manusia itu seperti wadah, yang terbaik darinya ialah yang paling rapi menjaga segala yang disimpan di dalamnya. Maka ingatlah apa yang kukatakan kepadamu: Manusia itu ada tiga macam: rabbaniy yang berilmu, atau orang yang senantiasa belajar dan selalu berusaha agar berada di jalan keselamatan; atau -selebihnya- orang-orang awam yang bodoh dan picik, yang mengikuti semua suara (yang benar maupun yang batil), bergoyang bersama setiap angin yang menghembus, tiada bersuluh dengan cahaya ilmu dan tiada melindungkan diri dengan "pegangan" yang kukuh-kuat. Wahai Kumail, ilmu adalah lebih utama daripada harta. Ilmu menjagamu, sedangkan kau harus menjaga hartamu. Harta akan berkurang bila kaunafkahkan, sedangkan ilmu bertamb

Ketika Sapi Mengkudeta Manusia (I)

Mengamati anak kambing yang sedang asyik menyusu pada induknya sore itu membuat aku jadi berpikir: apa jadinya ya... kalau tiba-tiba induk kambing itu dikudeta oleh seekor kucing?.... maksudnya kalau tiba-tiba yang menyusui anak kambing itu adalah seekor kucing, atau harimau, atau sapi, atau bahkan serigala?? Dari pengamatan dan pemikiran itu, ada sesuatu yang ingin aku ceritakan di sini, fakta-fakta yang aku temui tentang susu sapi yang telah menggantikan peran ASI. Terus terang fakta-fakta ini sempat membuat aku terkejut dan merasa sedih. Mungkin karena tadinya aku berpikir bahwa promosi ASI eksklusif yang lumayan gencar ketika Nisa dan Maula masih bayi, aku jadi mengira Indonesia adalah negara yang paling besar cakupan ASI Eksklusifnya. Ternyata aku salah. Setelah diberikan referensi oleh temanku Rien, aku baru tahu bahwa cakupan ASI eksklusif di Indonesia jauh di bawah rata2 dunia: 38%. Berapa cakupan ASI Eksklusif di Indonesia? Hanya berada di kisaran 7%!!! Dan itu semakin menur

Ketika Sapi Mengkudeta Manusia (II)

Jadi apa yang menyebabkan Cakupan ASI Eksklusif di Indonesia begitu rendah? Jika pada kenyataannya ASI adalah yang terbaik, berarti ada 3 hal yang menghalangi seorang Ibu untuk memberikan ASI Eksklusif: 1. Ketidaktahuan/kurangnya kesadaran Ibu mengenai pentingnya ASI Eksklusif dan bagaimana pelaksanaannya. 2. Faktor lingkungan Ibu Ketidaktahuan/kurangnya kesadaran Ibu mengenai pentingnya ASI Eksklusif dan bagaimana pelaksanaannya, adalah tanggung jawab pemerintah untuk mensosialisasikan program ini. Selama 2 kali mengandung dan melahirkan terus terang tidak ada dorongan atau advice dari dokter kandungan untuk memberikan ASI Eksklusif bagi bayiku. Informasi yang kudapat harus aku cari sendiri lewat media massa dan majalah. Bahkan pernah dokter anakku mendorongku untuk memberikan susu formula untuk Maula. Faktor lingkungan Ibu, salah satunya bahkan dari Rumah Sakit tempat si Ibu melahirkan. Pemberian ASI Eksklusif sedari dini memberikan pengaruh yang besar terhadap keberhasilan ASI Eks

GERHANA

GERHANA Biarkan siang dan malam menjadi jarak pemisah antara bulan dan matahari. Namun dalam diam matahari tetap setia mengantarkan cahaya rindunya menyeberangi malam. Dan biarkan semua mengira mereka tak mungkin bersama, karena ketika bulan datang kepada matahari, seluruh alam akan terpesona menyebut namaNya. Pondok Aren 26 Oktober 2009

Perbedaan Yang Mencerdaskan

Temukanlah keindahan dalam pelangi karena warnanya yang beragam. Lalu, apakah kau akan menemukan keindahan yang sama, apabila ia hanya memiliki satu warna? Beberapa hari yang lalu ketika menuju Trisakti aku mendengarkan Radio,( seperti biasa )Delta FM. Tepat ketika Garin Nugroho berbicara. Ada satu kalimat yang –kalau bahasa gaulnya – menimbulkan chemistry hehehehe… (gaul dikit). Garin berkata: “saya percaya ketika orang memiliki banyak pilihan maka dia akan lebih cerdas”…. Ah ya…. Banyaknya pilihan membuat orang menjadi cerdas. Ya, tentu saja Garin mengatakan hal tersebut dalam hubungannya dengan dunia perfilman. Semakin banyaknya film yang diproduksi maka masyarakat tersebut akan lebih cerdas. Pasti dong, tentunya masyarakat akan mengumpulkan data lalu mensintesanya dalam proses penyaringan untuk menentukan pilihan mana yang akan ia tonton. Itu dari sisi masyarakat. Dari sisi produser film sendiri ia akan meningkatkan kualitas film yang diproduksinya karena timbulnya persaingan.

AKU ADALAH PELANGI

Aku adalah pelangi, dengan sekian banyak warna. Ketika kau memandangku kau akan mencintaiku. Meskipun ada juga warnaku yang kaubenci. Tapi tak mengapa. Karena kau mencintaiku: Si Pelangi dengan sekian banyak warna Pondok Aren, 22 Oktober 2009

SESUNGGUHNYA IA HENDAK MENGHANTARKAN HUJAN

Si Hawa Panas sangat mengerti mengapa banyak yang mengeluh padanya. Ia tidak marah kepada seorang wanita yang merengut karena bedaknya luntur oleh keringat si Hawa Panas. Ia kasihan kepada seekor cacing yang menggelepar di tanah karena hembusan si Hawa Panas. Menerima keluhan dan cacian di sepanjang jalan si Hawa Panas tetap berjalan diam. Karena ia sedang membawa tugas: Mengantarkan hujan. Mengantarkan hujan harapan petani, mengantarkan hujan yang membuat katak menari, dan bocah-bocah berlarian dengan gembira diantara rintiknya. Maka si Hawa Panas tetap menerima keluhan dan cacian, karena ia membawa kebahagian: Hujan. Dan ketika hujan turun disambut sukacita, si Hawa Panas berlalu membawa caci maki itu. Tidak ada yang peduli dengannya. Semua sibuk menyambut hujan. Si Hawa Panas terus berjalan menyambut keluhan dan caci maki, sambil menggandeng hujan di belakangnya. Pondok Aren, 18 Oktober 2009 (Ketika terbangun di tengah malam dan menulis puisi ini aku jadi teringat kepada seseorang.

Si Rumput Liar

Hari Minggu yang cerah, diawali dengan membuka jendela. Membiarkan matahari menyelisipkan cahayanya di antara tirai-tirai jendela, membiarkan udara memenuhi ruang di antara paru-paru kita, membiarkan mata memandang hijaunya rerumputan yang masih dibasahi embun. Tapi... o..o... lihat halaman rumah kita. Rumput-rumput liar sudah mulai tumbuh. Ya, mereka tumbuh lebih tinggi di antara rumput gajah mini yang sengaja kita tanam. Huh... kita tidak berharap rumput-rumput liar itu ada di sini. Sama sekali tidak indah. Adduuuh... tanganku sudah gatal ingin mencabut rumput-rumput liar itu. Setelah urusan-urusan di awal pagi selesai, sekarang..... ayoo anak-anak kita menuju halaman untuk mencabut rumput-rumput liar itu, agar halaman kita menjadi indah kembali. Nah... lihat ini anak-anak, rumput liar selalu lebih cepat tumbuh diantara rumput-rumput gajah mini yang indah ini. Maka kita harus mencabut rumput liar ini beserta akarnya. Karena kalau akarnya kita tinggalkan maka dia akan tumbuh lagi, t

TANAH KUSIR, SEPTEMBER 2009

Wajahmu begitu cantik dengan mata indah bercahaya Sempurna Namun ketika Dia memanggilmu dirimu hanyalah seonggok daging yang tertanam di dalam tanah yang diinjak-injak dalam gelap Rupamu begitu tampan dengan rahang yang tegas Sempurna Namun ketika Dia memanggilmu dirimu hanyalah santapan bagi cacing-cacing yang kelaparan di dalam tanah. Tanah Kusir, 15 September 2009

UNTUK ANAK-ANAKKU

Malam tak pernah datang tiba-tiba Senja menjadi perantaranya Langit tak pernah gelap tiba-tiba Sandyakala menjadi isyaratnya Pondok Aren, 10 September 09

HILANG TERTIUP ANGIN GURUN

Seperti jejak-jejak kaki di padang pasir yang tertiup angin gurun Menghilang tanpa bekas Tapi aku tahu dengan pasti bahwa di sini seseorang pernah melangkahkan kakinya Aku tahu dengan pasti, di tempat ini Tak mungkin salah Di sinilah tempatnya Bahkan kedalamannya pun aku masih ingat Seperti jejak-jejak kaki di padang pasir yang tertiup angin gurun Menghilang tanpa bekas Tapi aku masih mengingatnya seolah jejak-jejak kaki itu tak pernah menghilang tertiup angin gurun Pondok Aren, 8 September 2009

AKU, KAU, DAN KEKASIHKU YANG LAIN

Kau mengundangku malam ini Ya, hanya kita berdua saja. Dan aku datang tanpa membawa bingkisan Perjamuan ini untukku, Kau memberikannya untukku. Dan aku datang tanpa membawa bingkisan Sudah lama aku nyatakan cintaku padaMu, Dan sekarang, Aku datang tanpa membawa bingkisan Di sini sekarang hanya kita berdua, Seharusnya kita bisa lebih dekat, Kuminum anggur cintaMu Kumakan hidangan rahmatMu Tapi di sini aku bersamaMu, Aku memikirkan kekasihku yang lain.. Pondok Aren, Setelah tarawih pertama di tahun 2009.

NAMAMU ADA DALAM SEPOTONG TERONG

NamaMu ada dalam sepotong terong, namaMu ada di antara awan-awan, namaMu ada di atas pasir pantai, di sayap kupu-kupu, di kulit seekor ikan, pada sebongkah batu. Tapi dimana namaMu di hatiku? Pondok Aren, 19 Agustus Tiga hari menjelang bulan Suci Ramadhan

POHON BESAR DAN ILALANG

Ayah, Bunda, Coba lihat pohon besar itu Tinggi menjulang, Besar dan kokoh Tangan manusia tak kan kuasa mencabutnya Tapi lihatlah, Pohon itu rapuh oleh angin dan badai Dan cobalah tebang pohon itu Maka ia tak akan tumbuh lagi. Ayah, Bunda Coba lihat ilalang kecil ini Daunnya yang lemah Terinjak karena tak terlihat Sekali hentak tangan manusia Ia akan tercerabut. Tapi lihatlah Kapan ilalang terbawa angin? Kapan ilalang kalah oleh badai? Terpenggal pisau tajampun Ia akan tumbuh lagi Pondok Aren, 5 April 2009 (Ayah dan Bunda, bayimu seperti lemah tak berdaya, tapi ia sekuat ilalang. Terus berjuang Ayah, Bunda, Khayla)

Diskusi Gender dengan Tuhan

Tahun 2000, beberapa bulan setelah menikah, aku divonis mengidap Sistemic Lupus Erithromasis. Waktu itu di sebuah rumah sakit di Bandung, dokter yang mengabari aku tentang penyakit ini agak kemayu, dan dia menyampaikan vonis dengan amat sangat ringannya: “Hallooo… udah ketemu ya penyakitnya…. SLE, Lupus… Byeeee…” Udah?? Begitu saja? Dokter itu meninggalkan aku dan aku terbengong-bengong sendirian. “SLE??? Lupus?? Penyakit apa itu??” lalu aku menelepon ibuku, minta tolong untuk dicarikan informasi mengenai Lupus. Aku juga bertanya-tanya kepada suster, tapi sepertinya mereka sedikit menutupi, mungkin khawatir dengan reaksiku. Ibuku juga dengan terus terang tidak mau menyampaikan informasi yang sudah dia dapatkan, “Nanti Novi stress katanya”… ah apa sih penyakit ini? Apakah sebegitu menakutkannya hingga semuanya berusaha menutupinya dariku? Maka akupun berkeras pada ibuku: “Mana infonya? Justru kalau nggak tau itu penyakit apa malah jadi stress.” Sejak itu aku banyak mendapatkan info men

PERGI BERSAMA MATAHARI

Satu butiran embun jatuh di pucuk rerumputan berkilau, bening dan utuh. Namun ketika kusentuh ia tak lagi seperti mutiara Dirimu adalah embun di ujung helai rumput Maka aku lebih senang membiarkanmu di sana Sampai matahari membawamu pergi. Ya, kehangatannyalah yang berhak membawamu, Bukan aku. Pondok Aren, 25 Februari 09

Seandainya MUI....

Beberapa hari yang lalu saya berdiskusi dengan B' Sawal mengenai MUI. B' Sawal menyatakan bahwa MUI masih dibutuhkan di Indonesia karena masyarakat Indonesia sangat heterogen. Hmmm... lalu aku kemudian malah merasa khawatir.. khawatir dengan keberadaan MUI sekarang ini. Justru karena MUI masih sangat dibutuhkan di Indonesia,.. Aku khawatir terhadap sikap sebagian masyarakat Indonesia terhadap MUI yang merupakan reaksi dari fatwa2 MUI. Aku khawatir apabila masyarakat sudah tidak memandang MUI lagi sebagai sebuah lembaga yang penting. Sudah sejak zaman pemerintahan Soeharto masyarakat memandang MUI dengan hambar. MUI yang seharusnya berperan sebagai 'penasihat' pemerintah dalam hal keagamaan malah cenderung menjadi perpanjangan tangan pemerintah. MUI yang diharapkan masyarakat untuk mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan kaidah ke-Islaman malah dengan senang hati didikte pemerintah. Fatwa-fatwa yang dikeluarkan MUI seolah-olah dikeluarkan untuk memulus

Ameera, Maafkan..

Seperti angin yang menerpa pucuk pinus Bisikan itu nyaris tak terdengar “mengapa anak-anak di belahan dunia lain boleh hidup dengan damai, Sedangkan kami tidak?” Lalu Isak tangis itu tenggelam diantara gelegar senapan Di sini, Suara kemarahan dimana-mana Begitu kerasnya teriakan itu.. Namun tak juga terdengar.. Maka Ameera masih bertanya-tanya, “Adikku tak tahu apa itu perang, Tapi mengapa ia dibunuh?” Di sini, Suara kemarahan lagi-lagi tertelan Oleh suara kemenangan yang bukan milik kami Ameera pun lagi-lagi bertanya, “Kami minum air kotor, menyuap roti basi, Kemana dunia internasional??” Di sini, Sebuah suara berbisik, “Ameera.. maaf...tunggulah sejenak, Kami sedang kenduri..” Pondok Aren, 27 Januari '09

History of Tomorrow

"History of Tomorrow" pertama kali digelontorkan oleh Tibor Mende. Ali Syariati terpesona oleh istilah ini. Maka dia pun merumuskannya dengan sebuah kerucut. Kerucut tersebut dibagi menjadi 3. Yang paling atas –bagian yang paling sedikit- adalah tempat dimana para genius, penemu, pemikir berada. Dibawahnya, bagian pertengahan adalah tempat kaum terpelajar. Sedangkan yang paling bawah, bagian yang paling banyak adalah masyarakat pada umumnya. Di mana-mana kaum superior (pemikir, penemu dan para genius) selalu menjadi bagian masyarakat yang paling sedikit. Ali Syariati menggunakan kerucut ini untuk menganalisa setiap zaman. Pada abad pertengahan, agama menempati puncak superior. Kaum ini selalu berjuang yang bahkan dapat mengorbankan nyawanya agar diterima oleh kaum terpelajar. Sebelumnya pandangan terhadap agama masih terasing. Lalu para pendeta memperjuangkan agar agama diterima di masyarakat. Dan ketika para pendeta tersebut mulai berhasil, kerucut itu bergeser. Agama kemud

Ali Syariati & Juhaiman, Dua Kisah Penantian Imam Mahdi

Lepas dari syiah yang banyak dinilai orang sebagai sarang bid’ah, aku secara pribadi mengagumi Iran. Revolusi Iran di tahun 1979 adalah revolusi Islam pertama dan satu-satunya (karena belum ada lagi) setelah Revolusi Islam di Mekkah yang dipimpin oleh Rasulullah SAW. Kemudian hampir 2 dekade setelah itu, Iran kembali melahirkan tokoh-tokoh yang berani secara lantang menentang arus kekuasaan global, salahsatunya Ahmadinejad. Kisah Iran selama setelah Revolusi adalah kisah-kisah yang tidak pernah surut menentang kekuasaan tersebut. Adalah Ali Syariati, salah satu tokoh pemikir Islam yang berada di belakang Revolusi Iran tahun 1979. Lalu Juhaiman, tokoh yang pernah mengagetkan dunia Islam di tahun yang sama. Keduanya –Ali Syariati dan Juhaiman- memiliki beberapa kesamaan dan juga perbedaan yang mencolok. Keduanya berperan di zaman yang sama, periode akhir 70-an. Ali Syariati meninggal dibunuh di Inggris pada tahun 1977, beliau tidak pernah sempat merasakan hasil dari pemikiran-pemikiranny