Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2009

Seandainya MUI....

Beberapa hari yang lalu saya berdiskusi dengan B' Sawal mengenai MUI. B' Sawal menyatakan bahwa MUI masih dibutuhkan di Indonesia karena masyarakat Indonesia sangat heterogen. Hmmm... lalu aku kemudian malah merasa khawatir.. khawatir dengan keberadaan MUI sekarang ini. Justru karena MUI masih sangat dibutuhkan di Indonesia,.. Aku khawatir terhadap sikap sebagian masyarakat Indonesia terhadap MUI yang merupakan reaksi dari fatwa2 MUI. Aku khawatir apabila masyarakat sudah tidak memandang MUI lagi sebagai sebuah lembaga yang penting. Sudah sejak zaman pemerintahan Soeharto masyarakat memandang MUI dengan hambar. MUI yang seharusnya berperan sebagai 'penasihat' pemerintah dalam hal keagamaan malah cenderung menjadi perpanjangan tangan pemerintah. MUI yang diharapkan masyarakat untuk mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan kaidah ke-Islaman malah dengan senang hati didikte pemerintah. Fatwa-fatwa yang dikeluarkan MUI seolah-olah dikeluarkan untuk memulus

Ameera, Maafkan..

Seperti angin yang menerpa pucuk pinus Bisikan itu nyaris tak terdengar “mengapa anak-anak di belahan dunia lain boleh hidup dengan damai, Sedangkan kami tidak?” Lalu Isak tangis itu tenggelam diantara gelegar senapan Di sini, Suara kemarahan dimana-mana Begitu kerasnya teriakan itu.. Namun tak juga terdengar.. Maka Ameera masih bertanya-tanya, “Adikku tak tahu apa itu perang, Tapi mengapa ia dibunuh?” Di sini, Suara kemarahan lagi-lagi tertelan Oleh suara kemenangan yang bukan milik kami Ameera pun lagi-lagi bertanya, “Kami minum air kotor, menyuap roti basi, Kemana dunia internasional??” Di sini, Sebuah suara berbisik, “Ameera.. maaf...tunggulah sejenak, Kami sedang kenduri..” Pondok Aren, 27 Januari '09

History of Tomorrow

"History of Tomorrow" pertama kali digelontorkan oleh Tibor Mende. Ali Syariati terpesona oleh istilah ini. Maka dia pun merumuskannya dengan sebuah kerucut. Kerucut tersebut dibagi menjadi 3. Yang paling atas –bagian yang paling sedikit- adalah tempat dimana para genius, penemu, pemikir berada. Dibawahnya, bagian pertengahan adalah tempat kaum terpelajar. Sedangkan yang paling bawah, bagian yang paling banyak adalah masyarakat pada umumnya. Di mana-mana kaum superior (pemikir, penemu dan para genius) selalu menjadi bagian masyarakat yang paling sedikit. Ali Syariati menggunakan kerucut ini untuk menganalisa setiap zaman. Pada abad pertengahan, agama menempati puncak superior. Kaum ini selalu berjuang yang bahkan dapat mengorbankan nyawanya agar diterima oleh kaum terpelajar. Sebelumnya pandangan terhadap agama masih terasing. Lalu para pendeta memperjuangkan agar agama diterima di masyarakat. Dan ketika para pendeta tersebut mulai berhasil, kerucut itu bergeser. Agama kemud

Ali Syariati & Juhaiman, Dua Kisah Penantian Imam Mahdi

Lepas dari syiah yang banyak dinilai orang sebagai sarang bid’ah, aku secara pribadi mengagumi Iran. Revolusi Iran di tahun 1979 adalah revolusi Islam pertama dan satu-satunya (karena belum ada lagi) setelah Revolusi Islam di Mekkah yang dipimpin oleh Rasulullah SAW. Kemudian hampir 2 dekade setelah itu, Iran kembali melahirkan tokoh-tokoh yang berani secara lantang menentang arus kekuasaan global, salahsatunya Ahmadinejad. Kisah Iran selama setelah Revolusi adalah kisah-kisah yang tidak pernah surut menentang kekuasaan tersebut. Adalah Ali Syariati, salah satu tokoh pemikir Islam yang berada di belakang Revolusi Iran tahun 1979. Lalu Juhaiman, tokoh yang pernah mengagetkan dunia Islam di tahun yang sama. Keduanya –Ali Syariati dan Juhaiman- memiliki beberapa kesamaan dan juga perbedaan yang mencolok. Keduanya berperan di zaman yang sama, periode akhir 70-an. Ali Syariati meninggal dibunuh di Inggris pada tahun 1977, beliau tidak pernah sempat merasakan hasil dari pemikiran-pemikiranny