Langsung ke konten utama

KOMODITI ITU BERNAMA AGAMA


Ya, ini Indonesia. Tempat Agama menjelma menjadi sebuah bentuk baru: komoditi.

Komoditi adalah barang dagangan yang menjadi subjek kontrak berjangka yang diperdagangkan.

Agama? menjadi komoditi?

Benarkah?

Agama sebuah sistem tatanan hidup yang suci. Sistem yang mengatur hubungan baik antara Manusia dengan Tuhan maupun antara Manusia dengan Manusia dan antara Manusia dengan alam semesta beserta lingkungannya. Namun bagaimana mungkin sistem yang demikian suci bisa menjadi sebuah komoditi?

Saya teringat ketika Alm. Soeharto bersama-sama dengan keluarga besarnya menunaikan ibadah haji menjelang akhir masa jabatan lima tahunannya. Bisik-bisik yang beredar di masyarakat menyebutnya 'haji politik'. Konon katanya itu dilakukan dalam rangka memperpanjang masa kekuasaannya. Maka sepulang dari Baitullah namanya pun diperpanjang menjadi H. Mohammad Soeharto. Sering disingkat menjadi HM Soeharto.

Ketika itu saya tidak mau ikut-ikutan berisik dengan isu tersebut. Saya tidak memiliki kapasitas dan kewenangan untuk menilai niatan seseorang, termasuk Soeharto dalam menunaikan ibadah haji. Bagaimana niatan tersebut, biarkan itu menjadi urusan Soeharto sekeluarga dengan Tuhannya, Allah.

Tetapi apakah predikat Haji bisa menjadi sebuah komoditi? Bisa. Ketika dirasakan predikat Haji menjadi 'syarat tak tertulis' untuk seseorang mencalonkan diri dalam sebuah ajang pemilihan kekuasaan. Entah itu pilkada, pemilu atau pemilihan anggota legislatif. Adakah yang seperti itu? silakan ditelaah lagi ada atau tidaknya, dibaca lagi sekelilingnya. Syukur jika ternyata jawabannya tidak ada. Saya lebih senang.

Dalam perebutan kekuasaan, agama juga bisa dihembuskan sebagai isu untuk memukul lawan-lawan politik. Jangan pilih si Anu karena agamanya X. Pilih yang ini karena dia agamanya Y.

Beberapa waktu yang lalu saya terlibat percakapan dengan seorang kawan.

Saya: ".. jadi beberapa warga XYZ itu terus menjelek2kan walikotanya supaya walikotanya gagal jadi gubernur di tempat lain. Soalnya wakil walikotanya agamanya X, jadi mereka ga mau dipimpin sama wakil walikotanya"

Kawanku kemudian berkata, "halah Ve.. nanti kayak di kota M lagi, ga mau pilih si 'itu' (jadi walikota) soalnya agamanya X. Sekarang dapat yang ini pada nyesel, 'tau kayak gini mending dulu kupilih si itu' kata mereka sekarang."

Apakah jika seperti itu agama menjadi sebuah komoditi? jawabannya adalah YA!

Disinilah agama dianggap sebagai selembar sertifikat untuk bisa mencapai kekuasaan. Meskipun tak ada syarat tertulis untuk itu.

Lalu cerita lain? Tentang ketika agama menjadi sebuah komoditi?

Bagaimana dengan ustadz yang menentukan tarif?

Sebenarnya ketika seorang ulama dibayar untuk memberikan ceramah, hal tersebut sangat wajar. Ustadz juga harus hidup. Ustadz juga punya keluarga. Di antara mereka ustadz juga punya santri yang harus dinafkahi. Dalam hal ini agama tidak menjadi sebuah komoditi.

Tetapi ketika seorang ustadz mematok harga tinggi dan menolak untuk membagikan ilmunya dalam sebuah ceramah di satu tempat karena tidak sesuai dengan patokan harga tersebut, maka agama sudah menjadi sebuah komoditi baginya. Apalagi tidak ada santri yang harus dinafkahinya.

Ustadz-ustadz seperti ini membutuhkan sorotan media dengan sensasi2 kehidupannya agar namanya semakin berkibar, dan tarifnya semakin mahal..

Adakah ustadz seperti ini?

Sekali lagi, entahlah.  Silakan diamati, ditelaah dan dipelajari sendiri lingkungan di sekitar kita. Yang jelas, bagi saya mereka hanyalah sekedar seorang penceramah, seorang penghibur bukan seorang ulama.

Yang menyakitkan adalah ketika agama dan nama Tuhan disebut, diteriakan, namun dengan mudah pula teriakan itu meredup ketika keuntungan sudah didapatkan. Begitu murahnya harga sebuah komoditi yang sebenarnya sangat suci, di tangan manusia.

Sungguh saya merasa sedih, merasa terpuruk, jika benar Agama ~di negeri ini, negeri yg sangat saya cintai~ berubah menjadi sebuah komoditi. Sebegitu sucinya sebuah agama, sebegitu beratnya perjuangan para Nabi dan Rasul untuk menegakkan agama. Harta dan nyawa menjadi korban. Sekarang, di tangan kita manusia-manusia yang jahil ini, agama menjadi hanya sekedar sebuah komoditi. Demi uang, demi kekuasaan, demi kehormatan.

Agama terlalu suci dari sekedar teriakan dan lip service. Agama adalah rahmat, anugerah bagi semesta alam.

Di sini, di negeri ini saya melihat agama saya telah pergi. Tak ada nyawanya, tak ada semangatnya. Yang terlihat hanyalah sebuah komoditi. Sebuah komoditi bernama agama.

~Sungguh saya merindu~

Published with Blogger-droid v2.0.4

Komentar

  1. Setuju, Novi. Di negeri ini agama jadi komoditi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aih Anne.. sungguh ketika menulis ini, saya sangat berharap bahwa pandangan saya ini salah :(

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hindari Berbohong dalam Berpolitik: INDEKS KORUPSI PARTAI POLITIK VERSI KPK WATCH: QUALIFIED ATAU ABAL-ABAL?

Akhir-akhir ini banyak beredar di dunia maya Indeks Korupsi Partai Politik yang dibuat oleh semacam lembaga (entah lembaga resmi, entah lembaga dadakan)dengan nama KPK Watch sebagai berikut di bawah. Bagaimana metode perhitungan Indeks Korupsi Partai Politik versi KPK Watch ini? KPK Watch mengambil data jumlah koruptor selama periode 2002-2014 dari laman ICW. Setelah diperoleh angka jumlah koruptor, KPK Watch membagi angka tersebut dengan jumlah suara yang diperoleh pada pemilu 2009. Maka didapatlah angka Indeks Korupsi Partai Politik yang kemudian dipublikasikan via social media. Tentu saja publikasi ini tidak melewati publikasi media cetak dan media elektronik. Mengapa? Entahlah.. kita tidak akan membahas itu. Kita hanya akan membahas bagaimana metoda perhitungan KPK Watch ini dan apa pengaruhnya pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 ini. Tapi mungkin dari pembahasan ini kita akan paham kenapa Indeks Korupsi Partai Politik yang dikeluarkan KPK Watch ti

Halloooo Indaah :)

Hallo Indah dan semua kawan yang bertanya tentang ulasan saya mengenai Data KPK Watch di Kompasiana ( http://politik.kompasiana.com/2014/04/03/analisa-sederhana-kejanggalan-data-kpkwatch-644252.html ). Sebetulnya saya merasa sangat tidak perlu membuat tulisan ini lagi. Karena jawaban atas tulisan Indah sudah sangat jelas di ulasan saya tersebut. Tapi mungkin Indah dan beberapa kawan yang lain belum bisa memahami kalau saya tidak menerangkannya secara grafis serta dengan contoh-contoh sederhana lainnya. Juga karena saran beberapa kawan ya pada akhirnya saya buat juga. Karena saya bukan anggota Kompasiana, maka saya tidak bisa memberikan komentar di tulisan Indah tsb. Mohon maaf kalau saya menjelaskannya dengan soal cerita matematika sederhana kelas 6 SD. Tidak bermaksud merendahkan dan menyamakan taraf pemahaman dengan anak kelas 6 SD, tapi memang ilmu statistik yang saya gunakan bukan ilmu statistik yang rumit, hanya ilmu statistik sederhana dan perbandingan sederhana yang ada di pel

SEBUAH PABRIK BERNAMA UJIAN NASIONAL

Pagi itu saya sangat terkejut membaca sebuah berita di dunia maya. Wawancara Wakil Menteri Pendidikan mengenai Ujian Nasional yang saya baca di sini membuat saya terpukul: "Percayalah, kalau tidak diberi ujian, yakin saya sekolah itu tidak akan menerapkan proses belajar. Coba bayangkan Indonesia tidak ada semangat untuk belajar. Untung ada UN, mereka jadi belajar." Pernyataan ini membuat saya bertanya-tanya. Bagaimana bisa seorang Wakil Menteri Pendidikan berbicara seperti ini? Apakah ini didasari pengalaman pribadi Sang Profesor? Sehingga Wamen merasa sangat pesimis dengan berlangsungnya proses belajar di sekolah? Mungkin banyak pertanyaan di masyarakat: "apa sih yang salah dengan UN?" atau "perasaan jaman dulu Ujian nggak ribut-ribut seperti ini". Sungguh pada awalnya saya juga merasa heran, apa yang salah dengan UN? toh jaman dulu ini tidak ada masalah? Pada awalnya saya pernah menyatakan: Tidak ada yang salah dengan UN dan saya mendukung ad