Si Hawa Panas sangat mengerti
mengapa banyak yang mengeluh padanya.
Ia tidak marah kepada seorang wanita
yang merengut karena bedaknya luntur
oleh keringat si Hawa Panas.
Ia kasihan kepada seekor cacing
yang menggelepar di tanah
karena hembusan si Hawa Panas.
Menerima keluhan dan cacian di sepanjang jalan
si Hawa Panas tetap berjalan diam.
Karena ia sedang membawa tugas: Mengantarkan hujan.
Mengantarkan hujan harapan petani,
mengantarkan hujan yang membuat katak menari,
dan bocah-bocah berlarian dengan gembira
diantara rintiknya.
Maka si Hawa Panas tetap menerima keluhan dan cacian,
karena ia membawa kebahagian: Hujan.
Dan ketika hujan turun disambut sukacita,
si Hawa Panas berlalu membawa caci maki itu.
Tidak ada yang peduli dengannya.
Semua sibuk menyambut hujan.
Si Hawa Panas terus berjalan menyambut keluhan dan caci maki,
sambil menggandeng hujan di belakangnya.
Pondok Aren, 18 Oktober 2009
(Ketika terbangun di tengah malam dan menulis puisi ini aku jadi teringat kepada seseorang. Semoga Allah SWT membalas amal baiknya selama ini)
SESUNGGUHNYA IA HENDAK MENGANTARKAN HUJAN II
kemarin mereka mengeluh tentangmu.
Dan saat ini mereka sedang menyambut hujan.
Apakah mereka tak menyadari bahwa engkaulah yang mengantarkan hujan,
wahai Si Hawa Panas?
Pondok Aren, 20 Oktober 2009
(melihatmu berjalan perlahan keluar dari ingatan mereka)
mengapa banyak yang mengeluh padanya.
Ia tidak marah kepada seorang wanita
yang merengut karena bedaknya luntur
oleh keringat si Hawa Panas.
Ia kasihan kepada seekor cacing
yang menggelepar di tanah
karena hembusan si Hawa Panas.
Menerima keluhan dan cacian di sepanjang jalan
si Hawa Panas tetap berjalan diam.
Karena ia sedang membawa tugas: Mengantarkan hujan.
Mengantarkan hujan harapan petani,
mengantarkan hujan yang membuat katak menari,
dan bocah-bocah berlarian dengan gembira
diantara rintiknya.
Maka si Hawa Panas tetap menerima keluhan dan cacian,
karena ia membawa kebahagian: Hujan.
Dan ketika hujan turun disambut sukacita,
si Hawa Panas berlalu membawa caci maki itu.
Tidak ada yang peduli dengannya.
Semua sibuk menyambut hujan.
Si Hawa Panas terus berjalan menyambut keluhan dan caci maki,
sambil menggandeng hujan di belakangnya.
Pondok Aren, 18 Oktober 2009
(Ketika terbangun di tengah malam dan menulis puisi ini aku jadi teringat kepada seseorang. Semoga Allah SWT membalas amal baiknya selama ini)
SESUNGGUHNYA IA HENDAK MENGANTARKAN HUJAN II
kemarin mereka mengeluh tentangmu.
Dan saat ini mereka sedang menyambut hujan.
Apakah mereka tak menyadari bahwa engkaulah yang mengantarkan hujan,
wahai Si Hawa Panas?
Pondok Aren, 20 Oktober 2009
(melihatmu berjalan perlahan keluar dari ingatan mereka)
Komentar
Posting Komentar