Ketika dulu aku membaca buku seri Tasawuf Modernnya Agus Mustafa: Bersatu dengan Allah dan Terpesona di Sidratul Muntaha, aku merasa bahwa aku bisa mengenal zat-Nya, bisa merasa dekat dengan-Nya, sekaligus merasa kecil, merasa bergetar, merasa terharu, merasa keagungan-Nya, ah, pokoknya perasaan yang campur aduk. Dengan perumpamaan Agus Mustafa dan ayahnya bahwa antara Manusia dan Allah seperti teh yang dicelupkan dengan air putih, aku merasa bisa mengenal-Nya. Yah, perumpamaan yang simple namun mendalam.
Tetapi kemarin malam ketika aku membaca kembali Mutiara Nahjul Balaghah, Wacana dan Surat-surat Imam Ali r.a., (yang dulu semasa SMA pernah aku coba untuk membacanya) semua yang selama itu bercokol di pikiranku seperti dimentahkan, seperti terpinggirkan, hanya dengan satu alinea pembuka pidato Ali bin Abi Thalib tentang keimanan. Ya, satu alinea pembuka, belum.... belum masuk kepada isi pidato yang lebih menghanyutkan itu. Hanya satu alinea:
“Segala puji bagi Allah yang tiada pembicara mana pun mampu meliputi segala pujian bagi-Nya. Tiada penghitung mana pun mampu mencakup bilangan nikmat karunia-Nya. Tiada daya upaya bagaimanapun mampu memenuhi kewajiban pengabdian kepada-Nya. Tiada pikiran sejauh apa pun mampu mencapai-Nya, dan tiada kearifan sedalam apa pun mampu menyelami hakikat-Nya.”
Dan perasaanku pun kembali bergejolak membaca kelanjutannya.. Maka aku merasa sedang di dalam zat yang aku coba untuk merasakanNya, aku coba untuk mengenaliNya, untuk menjangkauNya, untuk memikirkanNya, untuk mengejarNya, tapi aku tidak akan pernah tahu dan mengerti sedikitpun tentangNya, padahal zat itu tengah memelukku....
Pondok Aren, 25 November 09
Tetapi kemarin malam ketika aku membaca kembali Mutiara Nahjul Balaghah, Wacana dan Surat-surat Imam Ali r.a., (yang dulu semasa SMA pernah aku coba untuk membacanya) semua yang selama itu bercokol di pikiranku seperti dimentahkan, seperti terpinggirkan, hanya dengan satu alinea pembuka pidato Ali bin Abi Thalib tentang keimanan. Ya, satu alinea pembuka, belum.... belum masuk kepada isi pidato yang lebih menghanyutkan itu. Hanya satu alinea:
“Segala puji bagi Allah yang tiada pembicara mana pun mampu meliputi segala pujian bagi-Nya. Tiada penghitung mana pun mampu mencakup bilangan nikmat karunia-Nya. Tiada daya upaya bagaimanapun mampu memenuhi kewajiban pengabdian kepada-Nya. Tiada pikiran sejauh apa pun mampu mencapai-Nya, dan tiada kearifan sedalam apa pun mampu menyelami hakikat-Nya.”
Dan perasaanku pun kembali bergejolak membaca kelanjutannya.. Maka aku merasa sedang di dalam zat yang aku coba untuk merasakanNya, aku coba untuk mengenaliNya, untuk menjangkauNya, untuk memikirkanNya, untuk mengejarNya, tapi aku tidak akan pernah tahu dan mengerti sedikitpun tentangNya, padahal zat itu tengah memelukku....
Pondok Aren, 25 November 09
Komentar
Posting Komentar