Ini adalah pengadilan dunia, dimana yang berdiri di ruang sidang adalah manusia-manusia yang jauh dari kesempurnaan. Apalagi produk yang dibuat oleh manusia, tentu saja tidak sempurna. Ya, hukum buatan manusia selalu ada saja cacatnya. Hukum buatan manusia yang tidak pernah sempurna, dijalankan oleh manusia-manusia yang tidak sempurna. Maka hanya di dunia inilah bisa terjadi 3 buah kakao nilainya lebih tinggi dari 6,7 triliun. Karena pencurian 3 buah kakao bisa dengan cepat masuk ke pengadilan, sedangkan kasus 6,7 triliun yang merugikan negara begitu sulitnya masuk ke pengadilan.
Adalah Nenek Minah, nenek tua miskin yang mencuri 3 buah kakao dari sebuah perkebunan untuk dijadikan bibit diajukan ke pengadilan dan dihukum 1,5 bulan percobaan. Dan yang harus ditekankan di sini adalah Nenek Minah mencuri bukan untuk dimakan, bukan untuk dijual, tapi untuk dijadikan bibit. Artinya semiskin2nya Nenek Minah ia mencuri untuk mata pencahariannya, ia tetap mau bekerja.
Masyarakat Indonesia merasa prihatin dan marah atas kasus Nenek Minah yang terjadi di tengah2 perasaan keadilan rakyat yang dikoyak2 dengan kasus Bibit-Chandra dan Century. Ada perasaan ketidak adilan di sini, ketika nenek tua yang miskin dan hanya mengambil 3 buah kakao bisa dengan mudahnya diseret ke pengadilan, sedangkan kasus2 besar yang merugikan negara yang telah jelas di depan mata begitu sulitnya di sentuh.
Namun, kawan-kawan, kita tidak boleh lupa, bahwa setiap orang sama kedudukannya di mata hukum. Kaya-miskin, tua-muda, pria-wanita, tidak ada perbedaan. Setiap kesalahan harus mendapatkan hukuman. Hanya saja hukuman itu harus adil dari berbagai sisi. Dan Hukuman tidak harus selalu berhadapan dengan tembok penjara.
Meskipun sebenarnya bisa diselesaikan di luar pengadilan, Hakim dalam kasus Nenek Minah telah memberikan keputusan yang sangat adil untuk Nenek Minah. Dengan suara bergetar dan tercekat karena menahan tangis, hakim membacakan putusan untuk menghukum Nenek Minah 1.5 bulan percobaan. Nenek Minah tidak perlu merasakan dinginnya lantai penjara yang bisa membangunkan nyeri rematiknya. Namun Nenek Minah bisa belajar dari kasus yang menimpanya. Bahwa sekecil apapun mencuri adalah tetap mencuri. Masyarakat sekitarpun bisa memperoleh efek jera.
Ya, untuk kasus Nenek Minah telah selesai dengan adil. Nenek Minah yang selama ini harus mondar mandir ke pengadilan dengan diongkosi oleh Jaksa bisa pulang kembali ke rumahnya. Insya Allah dengan hukuman tersebut, Nenek Minah akan dimudahkan di alam akhirat nanti.
Namun sekarang kita bertanya-tanya: apabila kasus pencurian 3 buah kakao bisa dengan mudah berakhir dengan pembacaan vonis di pengadilan, tentunya kasus-kasus yang lebih besar bahkan merugikan rakyat seharusnya bisa lebih mudah untuk masuk ke ruang pengadilan. Artinya, kasus yang menimpa Nenek Minah ini seharusnya dijadikan pemerintah sebagai cermin untuk bersikap adil terhadap kasus-kasus yang lebih besar. Jadi janganlah kita membalik logikanya dengan pernyataan: kasus korupsi triliunan saja bisa bebas, kok kasus 3 buah kakao masuk ke pengadilan. Pernyataan kita seharusnya: mencuri 3 buah kakao saja divonis di pengadilan, seharusnya pencurian uang negara harus dihukum lebih berat.
Adalah Aqil bin Abi Thalib kakak kandung Ali bin Abi Thalib yang pernah meminta bantuan kepada adiknya. Aqil meminta Ali untuk meminjam kas negara agar Aqil bisa memenuhi keperluan keluarganya. Apa yang dilakukan Ali? Ali mengambil sepotong besi panas dan mendekatkannya ke wajah Aqil agar Aqil bisa teringat kembali dengan panasnya bara api neraka. Ali menceritakan tentang peristiwa tersebut:
“Demi Allah, aku lebih menyukai tidur beralaskan duri-duri pohon sa’dan atau diseret dalam kungkungan belenggu daripada berjumpa dengan Allah dan RasulNya pada hari kiamat sebagai seorang yang telah berbuat zalim terhadap sebagian hambaNya, atau telah merampas sesuatu yang bukan haknya di dunia ini. Dan betapa aku akan melakukan kezaliman atas seseorang hanya demi kepentingan diriku yang akan cepat sekali menuju kepanaan dan akan lama sekali berdiam di dalam tanah.
Demi Allah, pernah kulihat Aqil sangat menderita karena kepapaan, sehingga ia minta kepadaku agar diberi satu Sha (sekitar 3 L gandum) dari gandum milik kalian semua (dari Bayt Al Mal). Dan kulihat anak-anaknya berambut kusut dan berwajah kusam disebabkan kemiskinan yang sangat. Ia datang kepadaku beberapa kali demi meyakinkanku, dan mengulang-ulang permohonannya mengharapkan iba hatiku. Aku pun mendengarkan dengan saksama, sehingga dikiranya aku bersedia menjual agamaku kepadanya atau menyimpang dari cara hidupku dengan mengikuti keinginannya. Lalu kupanaskan sepotong besi dan kudekatkan kea rah tubuhnya agar ia mendapatkan pelajaran darinya. Ia pun berteriak ribut karena kesakitan digigit panasnya, dan hampir saja ia terbakar terkena sentuhannya.”
Seandainya saja bangsa ini –mulai dari rakyat kecil hingga pemimpin bangsa- bisa belajar dari kisah di atas. Bagaimana seorang pemimpin mampu menjaga amanat rakyatnya, dan di sisi lain rakyat menyadari bahwa penderitaan dan kemiskinan tidak dapat dijadikan pembenaran untuk berbuat tidak adil. Ya, seandainya saja kita semua bisa belajar, tentunya tidak akan pernah terjadi dalam sejarah bangsa ini 3 buah kakao bisa bernilai lebih dari 6,7 triliun.
Komentar
Posting Komentar