Langsung ke konten utama

Siapa Yang Mau Punya Anak Macam Dilan?

Iyaaa.. siapa coba yg mau punya anak macam Dilan?
Panglima tempur genk motor...
Suka berantem..
Dikeluarkan dari sekolah..?

Coba.. siapa yang mau punya anak macam Dilan?
Mencintai keluarganya..
Menghormati perempuan..
Menghormati gurunya..
Suka membaca.. bahkan di usianya yg remaja itu minta dibelikan dan melahap habis Tafsir Al Azhar yg 30 buku itu.. dan buku2 sastra lainnya?
Bersedia bertanggung jawab terhadap perbuatannya..
Jujur bicara apa adanya.. juga jujur perilakunya.. bahkan gelisah ketika menerima hadiah barang curian..

Eh.. ada juga ya sisi positifnya Dilan? Ya namanya manusia pastilah ada positif negatifnya dooong aaahhh.. 😆

Ga bisa milih ya?? Pingin anak kayak Dilan yg positifnya aja..
Hihihiiii... itulah realitanya anak2... Ya jangankan anak2 laaaah... org dewasa saja ada yg keliatannya baiiik bangeet.. alim.. tapi trus korupsi.. atau membohongi istri bertahun2.. tau2 nikah lagi.. 😝 Nah ada positif negatifnya kan??

Percayalah... Manusia yg sempurna cuman ada di film... film Ayat2 Cinta #eh
😂😂

Ahahaha... sebenarnya saya memahami kekhawatiran Mamak2 degan sosok Dilan.. pasti mereka takut anaknya begini begitu.. Padahal coba aja dilist perilaku positif dan negatif anaknya.. dan bandingkan dengan Dilan.. di beberapa bagian pasti ada aja keunggulan Dilan. Ya... di mana2 pasti seperti itu dooong..

Lalu bagaimana dengan saya sendiri? Apakah saya juga merasa khawatir?


                                                    *ilustrasi


Sejak si Sulung SD.. saya ga pernah melarang dia untuk bergaul dengan siapapun. Teman sebangkunya di kelas 4 (cowok) suka merokok.. suka tawuran.. Kelas 4 SD loh ituuuu... Dan anak itu mencoba mempengaruhi si Sulung..
*Nis.. kamu boleh merokok ga?
**Ga suka..
*Boleh tawuran ga?
**Ya nggak dong..
*Boleh bolos nggak?
**Boro2..
*Ga enak banget yaa.. hidup kayak kamu.. ga bebas"

😂😂😂😂
Anak SD tuh...
Tapi saya ga khawatir dan ga melarang Si Sulung berteman dengannya. Toh si Sulung udah menceritakan semua pada saya.. Apalagi yg harus saya khawatirkan? Kan lebih baik dia memutuskan mana yg benar dan salah dengan pikirannya sendiri... bukan dengan doktrin ataupun pemaksaan dari saya. Satu hari nanti.. apa yg dia lihat dr teman2nya akan sangat mempengaruhi cara dia berpikir. Maka input seluas2nya harus dia dapatkan agar pandangannya lebih kaya. Dan dengan demikian jadi bisa memutuskan dengan tepat apa yang baik dan tidak baik untuk dirinya sendiri.

Pada kenyataannya.. meskipun berteman dan dipengaruhi oleh teman sebangkunya itu, kelas 6 SD Si Sulung malah memutuskan memakai jilbab sendiri. Sebenarnya saya merasa senang.. pasti dong.. tapi ketika dia memutuskan berjilbab, saya dan Budhenya yg seorang guru malah meracuni niatnya, "Nanti kamu ga bisa bersenang2 dulu loh.. ga bisa gaya2an dulu.. ga bisa pake baju bagus macam2 dulu.. blablabla..." Pokoknya kami berdua (ditambah dengan Uwak Godangnya) malah meracuni niatnya untuk berjilbab... 😊 (Orang tua macam apa kamiii 😅😅)
Tapi dia bersikukuh... ya silakan.. Bahkan menjelang SMA sempat berkeinginan untuk memakai niqab meskipun kemudian niatnya kendur setelah mencoba (Suwer kami tidak meracuni apa-apa seperti sebelumnya... hahhahahaa...)

Saya sendiri tidak terlalu menargetkan bahwa jika dia berjilbab lalu harus drastis benar2 agamis.. Tidak... dia masih buka jilbab ketika berenang.. saya jg tidak masalah.. Silakan aja.. keyakinan saya.. selama niatnya itu tidak berdasarkan pemaksaan, (apalagi sekedar doktrin) tapi berdasarkan pemikiran dan keputusannya sendiri Insya Allah itu akan lebih baik untuknya. (Di bagian yang akan datang, saya akan ceritakan bagaimana sahabatnya dipaksa untuk menggunakan jilbab)

Di SMP dan SMA dia juga banyak berteman dengan anak-anak genk baik cowok maupun cewek. Anak-anak yang suka mabuk dan tawuran. Bahkan ada temannya yang dikeluarkan dari sekolah. Dia merasa sedih sekali ketika itu.
Sama ketika di SD, Saya tidak pernah membatasi pertemanannya. Silakan...

Satu waktu dia cerita kepada saya tentang sahabatnya. Kita sebut saja namanya Nina. Nina dipaksa menggunakan jilbab oleh Ibunya yang selalu menggunakan Khimar. Entah bagaimana hubungan Nina dan Ibunya sehari-hari.. tapi Nina menggunakan jilbab hanya jika ada Ibunya atau teman Ibunya. Nina sering pulang malam... memakai baju2 yang terbuka, merokok, mabuk-mabukan.. dan beberapa perilaku yang .... yaaa... begitulah.. Tapi yang membuat saya kaget adalah.. jika Nina bertengkar dengan ibunya, atau merasa banyak masalah,.. dia akan melakukan cutting. Cutting adalah istilah mereka untuk "melukai tangannya sendiri dengan cutter". Seringkali Nina berkata pada Si Sulung, "Gue capek hidup.. masalah gue itu banyak sekali".
Sungguh.. kalau bukan karena berusaha untuk menghargai posisi Ibunya, saya pasti sudah minta Si Sulung untuk mempertemukan saya dengan Nina dan bicara dengannya. Jadi ya saya biarkan saja dulu. Saya hanya menunjukkan kepada Si Sulung apa yang harus dilakukan dan dikatakan kalau Nina curhat atau mulai cutting lagi.

Si Sulung sangat dekat dengan Nina. Selalu menjadi tempat curhat. Dan saya yakin.. bukan sekali dua kali pastinya Nina mempengaruhi Si Sulung untuk merokok atau minum minuman keras. Ada kekhawatiran tidak dalam hati saya? Jujur.. pasti ada.. Saya pernah gelisah ketika Si Sulung mengerjakan tugas kelompok bersama Nina.. 😁 Wajar kan? Tapi saya tidak menghalangi Si Sulung untuk berteman dengan Nina. Biarkan saja. Kenapa?? Gile lo Noooov... 😩

Heheee... aku yakin dan percaya Nina bisa menjadi guru untuk Si Sulung. Maksudnya.. dari semua perilaku Nina dan permasalahan-permasalahannya, Si Sulung pasti bisa memetik hikmahnya dan menjadikan pelajaran baginya. Toh Si Sulung selalu menceritakan hari-hari yang dilaluinya setiap pulang sekolah. Jadi sebenarnya tidak ada alasan bagi saya untuk merasa khawatir... Tapi yaaa... tetap saja adalah secuil-cuil perasaan itu.... setitiiiiiiik saja.. Dan kemudian saya buang jauh-jauh kekhawatiran itu. Lebih baik bicara sajalah.. hosip-hosip aja dengan Si Sulung.

Pada akhirnya saya selalu bilang pada Si Sulung mengenai teman-temannya yang ikut genk entah hapa-hapa: "Bunda dulu juga dekat anak-anak genk. Dekat sekali. Mereka merokok, mabuk-mabukan, tawuran, ngeganja. Hanya saja Bunda nggak ikut-ikutan melakukan yang mereka lakukan. Kalau kamu dekat dengan orang-orang seperti itu kamu harus selalu berpikir pengaruh positif apa yang bisa kamu berikan ke mereka. Bukan sebaliknya. Kalau ga bisa memberikan pengaruh positif ke mereka mah buat apa.. malah bikin mereka jadi tambah susah nantinya. Kalau kamu bisa memberikan pengaruh positif,.. nantinya mereka dan pengalaman kamu berteman dengan mereka akan menjadi guru yang baik buat kamu. Dan kamu pasti merasa senang sudah mengalaminya. Coba bayangkan dan bandingkan kalau sebaliknya yang terjadi. Coba bayangkan dan bandingkan kalau kamu kayak Nina.. bayangkan perasaan kamu sendiri. Hepi atau tidak?"

Dan beberapa kali, omongan-omongan yang saya sampaikan ke Si Sulung biasanya nyampe juga ke telinga teman-temannya itu 😊
Jadi sebenarnya kalau buat saya pribadi, tidak ada alasan bagi saya untuk merasa khawatir dengan pertemanannya. Apakah dia berteman dengan anak-anak genk atau apalah namanya yang sejenis...

Teman-teman saya yang dulu bhuandel2 itu juga sekarang bisa dibilang 180 derajat sikap dan perilakunya. Banyak yang berhasil dan jadi family man. Eh... ini bukan relasi otomatis jika maka loh yaaa... Bukan "JIKA ketika remaja bhuandel2, MAKA setelah dewasa jadi berhasil dan family man" Bukan itu... hahahahaaa... tetap saja itu tergantung anak-anak itu sendiri. Mereka yang berhasil adalah mereka yang bisa menjadikan masa-masa gelap yang mereka alami sebagai bagian dan bekal pelajaran hidup ke arah yang lebih baik. Kalau yang tidak bisa belajar dari situ mah tetep aja di situ-situ aja..

Posisi seseorang jika ada di lingkungan seperti itu biasanya hanya ada 2: Yang pertama dia ikut melakukan hal-hal yang dilakukan teman-temannya.. dalam arti ikut terpapar hal negatif... atau sebaliknya.. memberikan pengaruh positif bagi teman-temannya. (Tidak usah berpikir memberi pengaruh positif ini berarti menceramahi.. berdakwah etc.. Mendengarkan jadi tempat bercerita dan memahami anak-anak itu pun sudah bisa dikategorikan memberikan pengaruh positif). Saya sendiri yakin Si Sulung pasti akan lebih merasa berharga, lebih merasa berarti jika dia bisa memberikan sesuatu yang positif buat teman-temannya. Itu saja yang saya tekankan bagi Si Sulung.

Nah... dari sini saya melihat bahwa kebanyakan dari orang tua lebih senang anaknya mendapatkan hal-hal yang positif dari lingkungan pergaulan anak-anaknya. Jadi mereka akan membatasi pergaulan dan pertemanan anak-anaknya. Seperti banyak yang tersebar di sosmed "Waspada virus Dilan" Hahahhahahaaa... Ya wajar sih .. kan...
Tapi kalau saya pribadi lebih senang kalau Si Sulung yang memberikan dampak positif kepada teman-temannya... siapa pun teman-temannya. Jika itu terjadi, nanti otomatis Si Sulung juga akan mendapatkan berbagai hal positif dari situ. Percayalah... 😊 Memberi itu lebih membahagiakan dari hanya menerima..

Maka tidak ada alasan bagi saya untuk khawatir dengan pertemanan Si Sulung.

Anak genk model Dilan itu langka.. sisi positifnya kereeeen sekalii... hahahhaa...
Jadi... kalau berteman dengan anak genk model teman-temannya Si Sulung saja saya tidak perlu merasa khawatir.. konon lagi berteman dengan anak genk model Dilan... Bersyukur malah kalau ada. Si Sulung pasti banyak belajar darinya.. hahahhaaa... 😊



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hindari Berbohong dalam Berpolitik: INDEKS KORUPSI PARTAI POLITIK VERSI KPK WATCH: QUALIFIED ATAU ABAL-ABAL?

Akhir-akhir ini banyak beredar di dunia maya Indeks Korupsi Partai Politik yang dibuat oleh semacam lembaga (entah lembaga resmi, entah lembaga dadakan)dengan nama KPK Watch sebagai berikut di bawah. Bagaimana metode perhitungan Indeks Korupsi Partai Politik versi KPK Watch ini? KPK Watch mengambil data jumlah koruptor selama periode 2002-2014 dari laman ICW. Setelah diperoleh angka jumlah koruptor, KPK Watch membagi angka tersebut dengan jumlah suara yang diperoleh pada pemilu 2009. Maka didapatlah angka Indeks Korupsi Partai Politik yang kemudian dipublikasikan via social media. Tentu saja publikasi ini tidak melewati publikasi media cetak dan media elektronik. Mengapa? Entahlah.. kita tidak akan membahas itu. Kita hanya akan membahas bagaimana metoda perhitungan KPK Watch ini dan apa pengaruhnya pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 ini. Tapi mungkin dari pembahasan ini kita akan paham kenapa Indeks Korupsi Partai Politik yang dikeluarkan KPK Watch ti

Halloooo Indaah :)

Hallo Indah dan semua kawan yang bertanya tentang ulasan saya mengenai Data KPK Watch di Kompasiana ( http://politik.kompasiana.com/2014/04/03/analisa-sederhana-kejanggalan-data-kpkwatch-644252.html ). Sebetulnya saya merasa sangat tidak perlu membuat tulisan ini lagi. Karena jawaban atas tulisan Indah sudah sangat jelas di ulasan saya tersebut. Tapi mungkin Indah dan beberapa kawan yang lain belum bisa memahami kalau saya tidak menerangkannya secara grafis serta dengan contoh-contoh sederhana lainnya. Juga karena saran beberapa kawan ya pada akhirnya saya buat juga. Karena saya bukan anggota Kompasiana, maka saya tidak bisa memberikan komentar di tulisan Indah tsb. Mohon maaf kalau saya menjelaskannya dengan soal cerita matematika sederhana kelas 6 SD. Tidak bermaksud merendahkan dan menyamakan taraf pemahaman dengan anak kelas 6 SD, tapi memang ilmu statistik yang saya gunakan bukan ilmu statistik yang rumit, hanya ilmu statistik sederhana dan perbandingan sederhana yang ada di pel

SEBUAH PABRIK BERNAMA UJIAN NASIONAL

Pagi itu saya sangat terkejut membaca sebuah berita di dunia maya. Wawancara Wakil Menteri Pendidikan mengenai Ujian Nasional yang saya baca di sini membuat saya terpukul: "Percayalah, kalau tidak diberi ujian, yakin saya sekolah itu tidak akan menerapkan proses belajar. Coba bayangkan Indonesia tidak ada semangat untuk belajar. Untung ada UN, mereka jadi belajar." Pernyataan ini membuat saya bertanya-tanya. Bagaimana bisa seorang Wakil Menteri Pendidikan berbicara seperti ini? Apakah ini didasari pengalaman pribadi Sang Profesor? Sehingga Wamen merasa sangat pesimis dengan berlangsungnya proses belajar di sekolah? Mungkin banyak pertanyaan di masyarakat: "apa sih yang salah dengan UN?" atau "perasaan jaman dulu Ujian nggak ribut-ribut seperti ini". Sungguh pada awalnya saya juga merasa heran, apa yang salah dengan UN? toh jaman dulu ini tidak ada masalah? Pada awalnya saya pernah menyatakan: Tidak ada yang salah dengan UN dan saya mendukung ad