Langsung ke konten utama

Jujur Itu Bukan Hebat


"Target UN bukan lagi 100% lulus tetapi 100% jujur. Ke depan jujur bukan lagi hebat. Tetapi, jujur itu normal..."
~Anies Baswedan

Sesungguhnya saya tidak pernah ngefans dengan Anies. Tapi pernyataan di atas itu makjleb banget.
Good bye lomba pasang spanduk: "100% lulus" di sekolah2. Dan saya berharap mereka sekarang berlomba2 untuk 'memasang spanduk': "100% jujur"... meskipun kita sebagai manusia tidak pernah bisa mengukur kejujuran seseorang toh? :D

Intinya adalah... inilah titik balik dunia pendidikan Indonesia. Ketika bangsa ini kembali kepada khittah pendidikan yang sesungguhnya.
Ketika...:
~ Dulu angka nilai yg menjadi tolok ukur tingkat keberhasilan pendidikan, sekarang berbalik: PROSES yg menjadi tolok ukur keberhasilan pendidikan. Karena pendidikan itu sendiri pada hakekatnya adalah sebuah proses. Selama ini kita telah keluar jalur dari hakikat dan khittah pendidikan itu sendiri. Semua..  baik murid, guru & orang tua berlomba2 meraih angka nilai. Apapun dilakukan demi nilai.. dari menyontek, menyogok, bayar joki, sampai klenik juga dilakukan oleh murid, guru dan orang tua. Karena apa?? Karena prosesnya tidak dilihat... tidak dinilai. Hanya angka nilai yang dijadikan faktor penentu.

~ Dulu kelulusan yg menjadi tolok ukur.. sekarang berbalik: kejujuran. Kalimat: "jujur itu bukan hebat.. jujur itu normal" yang dikemukakan seorang penentu kebijakan pendidikan di Indonesia ini menampar... berarti selama ini kita memang tidak normal. Karena menyonteklah selama ini yg normal. Saya sendiri pernah ada dalam situasi seperti itu... ketika hampir 80% teman2 menyontek.. dan nilainya bagus2 semua. Saya yg ketika itu masih kecil dan mendapat nilai jelek...bukannya tidak terguncang.. bertahan untuk tidak menyontek dlm kondisi seperti itu sungguh berat. Sampai akhirnya SMP kelas 1... selama 1 semester pertahanan saya jebol. Saya menyontek parah. Parah sekali. Perasaan dan otak saya resah.. saya kemudian berproses merasa dan berpikir. Kelas 1 SMP semester 2 di Bandung saya taubat nasuha :P .. bahwa menyontek itu adalah perbuatan pengecut dan lari dari tanggung jawab.. lari dari konsekuensi: "kalau elu mau nilai bagus ya belajar.. kalau ga belajar ya terima dong akibatnya: nilai jelek.. bukannya lari dr konsekuensi dengan nyontek."

Mengingat beratnya berada di tengah2 kondisi seperti itu.. dari dulu saya bermimpi ketika anak2 saya sekolah mereka tidak akan menghadapi seperti yg saya hadapi.. tapi itu dulu cuman mimpi. Keadaan malah lebih parah dengan adanya 'teror': ketidaklulusan. Tidak lulus menjadi momok yang menakutkan. Secara nasional tingkat kelulusan kemudian diukur setiap daerah. Bukan lagi sekolah yang berlomba2 memasang spanduk: "100% lulus".. tapi berkembang menjadi setiap daerah dan propinsi. Di media-media nasional akan dijadikan headline besar-besar: "Ini 10 Provinsi Peserta Lulus Ujian Nasional Tertinggi"  Perkembangan selanjutnya... semua yang terlibat dalam pendidikan pun pada akhirnya menempuh berbagai cara untuk mencapai target kelulusan tersebut.. baik murid, guru, dan orang tua. Bisa dibayangkan... bagaimana seorang anak kecil yang dituntut untuk jujur menghadapi arus ketidakjujuran yang begitu kuat seperti itu?

Saya mencoba melawan arus. Setiap anak2 menyodorkan nilai ulangan.. saya tidak mau melihat hasilnya sebelum mereka menjawab pertanyaan saya: "itu hasil jerih payah Nisa/Maula sendiri atau hasil kerja sama teman2?" Lanjutannya adalah: "Kalau hasil kerja sama teman2.. Bunda ga perlu lihat. Apapun hasilnya kan percuma: itu bukan hasil kerja kamu sendiri. Tapi kl hasil kerja kamu sendiri.. baru Bunda mau lihat.. apapun hasilnya Bunda senang. Kl jelek juga ga pa pa.. tinggal kita perbaiki CARA BELAJARNYA... ingat ya.. yg diperbaiki itu CARA BELAJAR.. bukan nilainya"

Ketika ngobrol dengan orang tua murid yg lain... mereka bangga dengan nilai anaknya yang bagus2.. alhamdulillah aku ikut senang...
Nilai anakku? Tidak memuaskan! Tapi saya merasa bahagia ketika ada seorang ibu yg cerita: "aku udah bilang ke Almer: 'kenapa ga kasih tau jawabannya ke Maula?' Anakku bilang.. kan ga boleh sama Bunda-nya"
Alhamdulillah... saya senang luar biasa mendengarnya... bangga meskipun nilainya tidak memuaskan! Itu berarti si Bungsu pernah menolak untuk diberitahu. PERNAH yaaaa.... hahahaha... karena pernah satu kali saya bertanya: "Bagus nilainya... hasil sendiri?" Jawaban Maula: "Iya... hasil sendiri.. eh.. ada ding satu yang Maula nanya ke temen" :D Ok... saya hargai kejujurannya untuk berterus terang. Maka saya bilang: "kalau begitu harusnya nilai Adek dikurangi 1 dooong". Saya tekankan lagi untuk jangan takut mendapat nilai jelek. Lebih baik mendapat nilai jelek tapi hasil sendiri daripada mendapat nilai bagus dari hasil menyontek dengan teman. Karena kalau menyontek, kita tidak bisa tau bagaimana cara belajar Maula, apa sudah benar atau tidak cara belajarnya. Kita juga tidak tau materi bagian mana yang belum dimengerti. Menyontek juga membuat kita menjadi malas belajar.. merasa santai karena merasa kalau kita tidak bisa toh kita bisa menyontek. Yang lebih saya tekankan lagi adalah bahwa menyontek itu adalah bibit korupsi. Karena kita mendapatkan sesuatu yang bukan hasil usaha sendiri. Sifat-sifat yang menjadi dasar menyontek dan korupsi itu sama. Maka jangan heran kalau di negara kita korupsi sudah menjadi budaya. Karena menyontek juga dijadikan budaya. (penjelasan bagian ini tentunya untuk konsumsi kakaknya :D ) Jadi kita harus jujur mulai dari hal kecil.

Ya... jujur itu harusnya normal.. bukan hebat! Kita sering mendengar bagaimana kesulitan org2 jujur berada di tengah2 lingkungan yg abnormal: lingkungan yg korup...
Bagaimana kita berharap korupsi bisa hilang dr bumi Indonesia kl kita tidak menanamkan kejujuran sedari dini pada anak2 kita?
Bagaimana kita berharap anak2 kita bisa jujur jika yang normal di lingkungan anak2 kita adalah ketidakjujuran? Berat sekali perjuangan mereka untuk jujur jika kita para orangtuanya dan pengambil kebijakan negeri ini tidak membangun lingkungan yg kondusif untuk itu.

Pemerintah harus mulai membangun lingkungan yg jujur bagi anak2 kita... utamakan kejujuran... bukan nilai atau kelulusan.
Sedangkan kita para orang tua harus mendorong anak2 kita untuk selalu jujur... dengan cara merubah pandangan kita terhadap tolok ukur keberhasilan belajar. Tekankanlah kejujuran ketika menjalani evaluasi belajarnya.. bukan menekankan pada nilainya. Ujian harus dilihat sebagai hakikatnya: untuk mengevaluasi proses belajar. Untuk mengetahui penguasaan siswa terhadap materi pelajaran dan mengetahui bagaimana proses belajar berjalan. Sekali lagi... tekankanlah pada: PROSESnya... bukan NILAInya..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hindari Berbohong dalam Berpolitik: INDEKS KORUPSI PARTAI POLITIK VERSI KPK WATCH: QUALIFIED ATAU ABAL-ABAL?

Akhir-akhir ini banyak beredar di dunia maya Indeks Korupsi Partai Politik yang dibuat oleh semacam lembaga (entah lembaga resmi, entah lembaga dadakan)dengan nama KPK Watch sebagai berikut di bawah. Bagaimana metode perhitungan Indeks Korupsi Partai Politik versi KPK Watch ini? KPK Watch mengambil data jumlah koruptor selama periode 2002-2014 dari laman ICW. Setelah diperoleh angka jumlah koruptor, KPK Watch membagi angka tersebut dengan jumlah suara yang diperoleh pada pemilu 2009. Maka didapatlah angka Indeks Korupsi Partai Politik yang kemudian dipublikasikan via social media. Tentu saja publikasi ini tidak melewati publikasi media cetak dan media elektronik. Mengapa? Entahlah.. kita tidak akan membahas itu. Kita hanya akan membahas bagaimana metoda perhitungan KPK Watch ini dan apa pengaruhnya pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 ini. Tapi mungkin dari pembahasan ini kita akan paham kenapa Indeks Korupsi Partai Politik yang dikeluarkan KPK Watch ti

JIKA AKU SHOLAT, SEHARUSNYA AKU JADI SEORANG MUSLIM YANG SEPERTI APA? (II)

Pada tulisan sebelumnya sudah dijelaskan bahwa 3 ritual awal sholat: wudhu, takbiratul ihram dan iftitah jika dilakukan dengan menyelami maknanya maka akan mengantarkan kita ke dalam 2 kondisi:  1. Pengendalian ketergantungan diri pada kemelekatan duniawi 2. Pengendalian ego Jika setelah berwudhu kita bisa melepaskan diri dari kemelekatan duniawi, lalu setelah takbiratul ihram dan membaca doa iftitah kita sudah bisa menihilkan ego, maka itu berarti kita siap untuk masuk ke tahap selanjutnya dalam sholat: berdialog dengan Allah lewat surat Al Fatiha. Tanpa masuk ke dalam 2 kondisi di atas, kita tidak akan bisa berdalog dengan Allah. Bacaan-bacaan Al Fatiha kita menjadi meaningless... tanpa makna, dan tidak akan membekas apa-apa dalam kehidupan kita.  Jika kita sudah siap, mari kita mencoba masuk dalam tahap berdialog dengan Allah. Bagi sebagian orang, bisa berdialog dengan Allah adalah sesuatu yang sangat didambakan. Bagaimana tidak.. Sebagian kita berharap bisa berdialog da

Halloooo Indaah :)

Hallo Indah dan semua kawan yang bertanya tentang ulasan saya mengenai Data KPK Watch di Kompasiana ( http://politik.kompasiana.com/2014/04/03/analisa-sederhana-kejanggalan-data-kpkwatch-644252.html ). Sebetulnya saya merasa sangat tidak perlu membuat tulisan ini lagi. Karena jawaban atas tulisan Indah sudah sangat jelas di ulasan saya tersebut. Tapi mungkin Indah dan beberapa kawan yang lain belum bisa memahami kalau saya tidak menerangkannya secara grafis serta dengan contoh-contoh sederhana lainnya. Juga karena saran beberapa kawan ya pada akhirnya saya buat juga. Karena saya bukan anggota Kompasiana, maka saya tidak bisa memberikan komentar di tulisan Indah tsb. Mohon maaf kalau saya menjelaskannya dengan soal cerita matematika sederhana kelas 6 SD. Tidak bermaksud merendahkan dan menyamakan taraf pemahaman dengan anak kelas 6 SD, tapi memang ilmu statistik yang saya gunakan bukan ilmu statistik yang rumit, hanya ilmu statistik sederhana dan perbandingan sederhana yang ada di pel