Di dalam masjid besar di pusat kota, sebuah Sajadah sedang mencurahkan isi hatinya pada seuntai Tasbih.
"Wahai Tasbih, aku adalah Sajadah. Lihatlah aku. Ketebalan dan kelembutanku membuat kaki-kaki yang menginjakku akan merasakan sebuah kenyamanan."
Sang Tasbih memperhatikan Sajadah dengan seksama. Ya.. Sajadah itu terlihat sangat lembut dan tebal. Motif-motif yang tergambar pada permukaannya sangat indah. Terlihat sangat mewah. Pasti ia datang ke negeri ini melewati sebuah perjalanan yang sangat jauh. Dan biaya yang tidak sedikit. Pasti dia dimiliki oleh orang berkecukupan.
"Dari mana asalmu?" Tanya si biji Tasbih
"Aku berasal dari sebuah negeri, nun jauh di ujung sana"
"Wah.. Kau beruntung sekali. Tentulah Kau adalah Sajadah yang istimewa bagi Tuanmu."
Sajadah itu menunduk sedih. Terdiam. Biji Tasbih tampak heran.
"Ya, aku sangat istimewa bagi Tuanku. Bahkan katanya aku sangat istimewa"
Sajadah kembali terdiam. Gerak tubuhnya memperlihatkan sebuah kegelisahan dan kesedihan yang dipendamnya.
"Dan mungkin karena begitu istimewanya aku selalu tersimpan di dalam lemari khusus yang digunakan tuanku untuk menyimpan barang-barang istimewanya"
"Berarti itu karena kau terlalu istimewa bagi tuanmu" Si biji tasbih masih terheran-heran dengan kesedihan sajadah istinewa itu.
"Ya.. Mungkin. Karena istimewa aku disimpan dalam lemari khusus. Hanya pada waktu-waktu tertentu seperti sekarang ini aku digunakan oleh tuanku. Saat-saat shalat bersama dengan pembesar-pembesar negeri ini. Atau ketika tamu-tamu agung datang ke rumah tuanku, barulah aku digelar sebagai alas shalat tamu agung itu."
Si Biji Tasbih terdiam menyimak cerita Sajadah. Sedikit demi sedikit ia mulai bisa memahami kesedihan Sajadah istimewa itu.
"Lalu apa gunaku jika hanya untuk berdiam teronggok di dalam lemari?
Lalu kapan aku bisa menjadi alas kaki tuanku dan mengantarkan langkahnya menuju Tuhannya? Akulah yang seharusnya mengeringkan telapak kakinya dari sisa-sisa air wudhu, juga di kening dan telapak tangannya ketika ia bersujud di atasku. Karena hanya ketika itulah aku bisa membantu Tuanku untuk menghapus khilaf di kaki, tangan dan kepalanya itu."
Si Biji Tasbih merasa terkejut. Sungguh sangat terkejut. Betapa beruntungnya Si Biji Tasbih. Meski ia terbuat dari plastik-plastik yang ada di tempat sampah, Ia selalu digenggam oleh Tuannya. Jari jemari Tuannya selalu mengusap permukaannya. Hingga meskipun ia terbuat dari sampah, kini Ia terlihat sangat halus dan bercahaya. Setiap usapan jemari memberikannya satu kekuatan untuk mengantarkan wirid-wirid yang diucapkan masuk ke dalam hati Tuannya. Maka semakin hari semakin erat genggaman jemari, dan semakin sering jemari itu mengusap permukaan dirinya, semakin kuat pula ia mengantarkan wirid menyelusupi ruang-ruang di hati Tuannya, memenuhi setiap udara di dalamnya dengan nama Tuhannya.
Maka si Biji Tasbih pun memperhatikan bahwa dari hari ke hari kepala Tuannya semakin tertunduk begitu pula dengan hatinya, sedangkan suaranya semakin melembut.
Renungan si Biji Tasbih berhenti seketika saat Sajadah Istimewa di sebelahnya pergi secara tiba-tiba. Ia yang disandang di pundak Tuannya tetap terlihat kuyu meskipun masih tampak jelas kemewahannya.
Sajadah Istimewa itu pergi meninggalkan si Biji Tasbih yang masih digenggam dan diusap oleh Tuannya.
Komentar
Posting Komentar