Langsung ke konten utama

Mbah Maridjan dan Sebuah Kearifan



Peti mati bertabur harum melati itu perlahan bergerak dikawal oleh para Abdi Dalem yang sangat berduka. Rakyat menyemut di kedua sisi jalan, ikut berduka dengan kepergian Sang Raja, di sekitar tahun 1988.

Aku selalu kagum dengan pengabdian para Abdi Dalem. Mengabdi dan menghormati Sang Raja. Orang-orang yang sebagian tidak sekolah seperti halnya Mbah Maridjan ini bagiku bagaikan dongeng-dongeng kesetiaan para shogun kepada tuannya di Jepang sana. Sungguh, kesetiaan ini, kesetiaan Abdi Dalem sangat langka di jaman seperti ini, dan mungkin hanya dimiliki orang-orang tua jaman dahulu (jadi teringat alm. pengasuhku yang sangat setia mengasuh ibuku, paman-bibiku, aku sampai adikku, tanpa pernah mengeluh, menganggap anak2 yg diasuhnya seperti anaknya sendiri)

Aku memang bukan Jawa, aku Sunda. Hanya sedikit yang aku pahami dari falsafah Jawa. Namun secara umum falsafah yang dianut dalam budaya asli Indonesia hampir sama. Pada dasarnya adat istiadat asli Indonesia mengambil simbol hubungan antara manusia-alam-Tuhan. Bahwa manusia adalah bagian dari alam ciptaan Tuhan. Maka segala sesuatunya harus selalu diselaraskan dengan alam. Hanya saja simbol-simbolnya yang terkadang berbeda.

Yang aku tangkap, begitu pulalah nilai2 yang diambil oleh Keraton Yogyakarta. Terlepas dari apa yang sering disebut orang2 dengan klenik, mistik, kejawen dll, ada sebuah kearifan yang luhur dalam falsafah tersebut.

Bahwa keraton merupakan bagian dari mikrokosmos. Hubungan Tuhan-manusia-alam semesta. Tuhan menciptakan bumi ini bagi manusia. Maka manusia harus mengolah dan menjaga alam lingkungannya dengan sebaik-baiknya. Hal itulah yang disadari oleh masyarakat tradisional bangsa kita terdahulu, termasuk Keraton Yogyakarta. Merapi di utara dan Laut Selatan jika ditarik garis lurus menempatkan Keraton di tengah-tengah. Gunung yang tinggi di atas – keraton di tengah – dan laut di bawah memberikan makna filosofis hubungan antara Tuhan-manusia-alam lingkungan. Maka Gunung Merapi dan Laut Selatan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Keraton Yogyakarta.

Berangkat dari kesadaran tersebut pihak Keraton dahulu kemudian mengutus orang-orang kepercayaan yang dianggap mampu mengemban tugas untuk menjadi juru kunci atau penjaga bagi kedua bagian ‘tubuh’ Keraton tersebut: Gunung Merapi dan Laut Selatan. Menjaga di sini tentu sebenarnya bukan memperkirakan atau meramal kapan Merapi meletus (karena Mbah Maridjan sendiri menyatakan kalau Beliau tidak bisa memperkirakan, tidak bisa meramal) atau kapan Tsunami dan gempa menerjang di Laut Selatan. Bukan pula hanya menjalankan upacara2 ritual. Tapi pada makna sebenarnya: menjaga. Sesuai dengan falsafah awal hubungan manusia dan alam yang sudah diamanatkan Tuhan. Maka pengutusan para juru kunci tersebut pada dasarnya adalah sebuah perwujudan dan peranserta Keraton dalam menjaga keseimbangan dan keharmonisan hubungan manusia dengan alam.

Namun kemudian di kepalaku ini berputar banyak pertanyaan. Ketika alam Merapi dan Laut Selatan mulai rusak tanpa sanggup dicegah oleh Sang Juru Kunci, karena kedudukannya sekarang ini sudah bergeser dari ‘menjaga’ menjadi hanya makna ‘ritual’ thok. Apalah daya seorang Mbah Maridjan yang mengaku orang bodoh dan tak sekolah ini melawan alat-alat berat pengusaha yang merambah lereng Merapi?

P. Sunu Hardiyanto SJ (Basis, No.11-12. Tahun ke 58, November- Desember 2009), mengatakan bahwa areal hutan rakyat seluar 1.729 hektar di kawasan Gunung Merapi di Kabupaten Magelang, kini berada dalam kondisi kritis. Kerusakan lingkungan ini terjadi akibat kegiatan penambangan pasir dan batu yang sudah berlangsung selama lebih dari 20 tahun. Ini disebabkan karena kegiatan penambangan tidak lagi dilakukan di aluralur sungai, melainkan melebar ke kawasan hutan dan lahan milik warga.

Tidak hanya hutan rakyat. Hutan negara berupa hutan lindung (Tanam Nasional Gunung Merapi) seluas 300 hektar pun rusak karena penambangan pasir. Kegiatan penambangan pasir tersebut juga menumbangkan puluhan pohon pinus yang tumbuh di kawasan tersebut. Situasi menjadi sangat kritis, ketika mesin menggaruk back hoe ikut mengobrak-abrik wilayah itu.

Beberapa wargapun rela menjual lahan persawahan atau ladangnya untuk dikeruk pasirnya. Sunu Hardiyanto melaporkan perbandingan demikian. Bila ladang 1 hektar ditanami palawija, maka dalam setahun pemilik mendapat hasil Rp.25-30 juta. Lebih untung, bila satu hektar itu dilepas. Sebab dengan itu orang mendapat Rp. 1 miliar rupiah, walau dengan risiko lahannya rusak karena dikeruk pasirnya. Wajar, bila beberapa warga, tergiur oleh tawaran yang menggoda itu. Mereka tidak sadar, bahwa back hoe mempunyai daya rusak 200 kali lipat lebih kuat dan cepat darpada penggalian manual.

Bisa dibayangkan, betapa lingkungan Merapi rusak berat karena keserakahan itu. Misalnya, dua puluh empat jam, truk lalu lalang tanpa henti di desa Sumber. Semula 400 truk per hari, namun dalam tiga bulan terakhir bisa sampai 600 truk lewat setiap hari.

Lebih parah lagi, banyak mata air mengering karena ulah back hoe yang membabibuta itu. Dulu Gunung Merapi kaya dengan sumbersumber air. Mata air Merapi merupakan sumber kehidupan bagi hampir 4 juta jiwa yang tersebar di Kabupaten Sleman, Klaten, Boyolali dan Magelang. Sekarang sekurangkurangnya di wilayah barat, sumber-sumber air itu menjadi makin langka, dan yang masih ada terancam kering.

Ya.. apalah daya seorang tua yang tidak sekolah seperti Mbah Maridjan mencegah semua kerusakan yang terjadi di lereng Merapi? Meskipun hanya mencegah sebuah backhoe dan selembar surat ijin, meskipun beliau mendapat mandat dari Raja Jawa terdahulu. Hanya kesetiaan seorang abdi dalem dan keteguhan menjaga amanat yang dapat dipertahankannya hingga akhir hayatnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hindari Berbohong dalam Berpolitik: INDEKS KORUPSI PARTAI POLITIK VERSI KPK WATCH: QUALIFIED ATAU ABAL-ABAL?

Akhir-akhir ini banyak beredar di dunia maya Indeks Korupsi Partai Politik yang dibuat oleh semacam lembaga (entah lembaga resmi, entah lembaga dadakan)dengan nama KPK Watch sebagai berikut di bawah. Bagaimana metode perhitungan Indeks Korupsi Partai Politik versi KPK Watch ini? KPK Watch mengambil data jumlah koruptor selama periode 2002-2014 dari laman ICW. Setelah diperoleh angka jumlah koruptor, KPK Watch membagi angka tersebut dengan jumlah suara yang diperoleh pada pemilu 2009. Maka didapatlah angka Indeks Korupsi Partai Politik yang kemudian dipublikasikan via social media. Tentu saja publikasi ini tidak melewati publikasi media cetak dan media elektronik. Mengapa? Entahlah.. kita tidak akan membahas itu. Kita hanya akan membahas bagaimana metoda perhitungan KPK Watch ini dan apa pengaruhnya pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 ini. Tapi mungkin dari pembahasan ini kita akan paham kenapa Indeks Korupsi Partai Politik yang dikeluarkan KPK Watch ti

JIKA AKU SHOLAT, SEHARUSNYA AKU JADI SEORANG MUSLIM YANG SEPERTI APA? (II)

Pada tulisan sebelumnya sudah dijelaskan bahwa 3 ritual awal sholat: wudhu, takbiratul ihram dan iftitah jika dilakukan dengan menyelami maknanya maka akan mengantarkan kita ke dalam 2 kondisi:  1. Pengendalian ketergantungan diri pada kemelekatan duniawi 2. Pengendalian ego Jika setelah berwudhu kita bisa melepaskan diri dari kemelekatan duniawi, lalu setelah takbiratul ihram dan membaca doa iftitah kita sudah bisa menihilkan ego, maka itu berarti kita siap untuk masuk ke tahap selanjutnya dalam sholat: berdialog dengan Allah lewat surat Al Fatiha. Tanpa masuk ke dalam 2 kondisi di atas, kita tidak akan bisa berdalog dengan Allah. Bacaan-bacaan Al Fatiha kita menjadi meaningless... tanpa makna, dan tidak akan membekas apa-apa dalam kehidupan kita.  Jika kita sudah siap, mari kita mencoba masuk dalam tahap berdialog dengan Allah. Bagi sebagian orang, bisa berdialog dengan Allah adalah sesuatu yang sangat didambakan. Bagaimana tidak.. Sebagian kita berharap bisa berdialog da

Halloooo Indaah :)

Hallo Indah dan semua kawan yang bertanya tentang ulasan saya mengenai Data KPK Watch di Kompasiana ( http://politik.kompasiana.com/2014/04/03/analisa-sederhana-kejanggalan-data-kpkwatch-644252.html ). Sebetulnya saya merasa sangat tidak perlu membuat tulisan ini lagi. Karena jawaban atas tulisan Indah sudah sangat jelas di ulasan saya tersebut. Tapi mungkin Indah dan beberapa kawan yang lain belum bisa memahami kalau saya tidak menerangkannya secara grafis serta dengan contoh-contoh sederhana lainnya. Juga karena saran beberapa kawan ya pada akhirnya saya buat juga. Karena saya bukan anggota Kompasiana, maka saya tidak bisa memberikan komentar di tulisan Indah tsb. Mohon maaf kalau saya menjelaskannya dengan soal cerita matematika sederhana kelas 6 SD. Tidak bermaksud merendahkan dan menyamakan taraf pemahaman dengan anak kelas 6 SD, tapi memang ilmu statistik yang saya gunakan bukan ilmu statistik yang rumit, hanya ilmu statistik sederhana dan perbandingan sederhana yang ada di pel