Langsung ke konten utama

Ali Syariati & Juhaiman, Dua Kisah Penantian Imam Mahdi



Lepas dari syiah yang banyak dinilai orang sebagai sarang bid’ah, aku secara pribadi mengagumi Iran. Revolusi Iran di tahun 1979 adalah revolusi Islam pertama dan satu-satunya (karena belum ada lagi) setelah Revolusi Islam di Mekkah yang dipimpin oleh Rasulullah SAW. Kemudian hampir 2 dekade setelah itu, Iran kembali melahirkan tokoh-tokoh yang berani secara lantang menentang arus kekuasaan global, salahsatunya Ahmadinejad. Kisah Iran selama setelah Revolusi adalah kisah-kisah yang tidak pernah surut menentang kekuasaan tersebut.

Adalah Ali Syariati, salah satu tokoh pemikir Islam yang berada di belakang Revolusi Iran tahun 1979. Lalu Juhaiman, tokoh yang pernah mengagetkan dunia Islam di tahun yang sama. Keduanya –Ali Syariati dan Juhaiman- memiliki beberapa kesamaan dan juga perbedaan yang mencolok. Keduanya berperan di zaman yang sama, periode akhir 70-an. Ali Syariati meninggal dibunuh di Inggris pada tahun 1977, beliau tidak pernah sempat merasakan hasil dari pemikiran-pemikirannya: revolusi. Sedangkan Juhaiman meninggal tahun 1979 dihukum setelah hasil kerja kerasnya, impiannya menggapai revolusi Islam gagal total. Keduanya sama-sama menjadi tokoh 2 buah gerakan Islam yang berbeda, yang satu di Iran, satunya lagi di Mekkah. Ali Syariati berjuang lewat pemikiran-pemikirannya, dan beberapa kali keluar masuk penjara Syah Iran. Sedangkan Juhaiman juga pernah masuk penjara karena gerakannya yang menentang sikap dan perilaku kerajaan Saud. Namun keduanya memiliki mazhab yang berbeda: Syariati menganut Syiah dan sangat mencintai Ali bin Abi Thalib. Sedangkan Juhaiman seorang Sunni yang membenci Syiah. Tetapi keduanya memiliki obsesi yang sama: Revolusi yang dipimpin oleh Imam Mahdi. Meskipun keduanya tidak pernah mengecap hasil kerja kerasnya, tapi usaha tersebut membuahkan hasil yang berbeda: Ali Syariati berhasil menjadi inspirator dalam Revolusi Iran (meskipun bukan revolusi yang dipimpin Imam Mahdi), dan Juhaiman berhasil menjadi inspirator bagi gerakan Al Qaeda.

Penantian dan obsesi Syariati dan Juhaiman dalam menantikan Imam Mahdi berada di kutub yang berbeda.
Ali Syariati sebagai pemikir yang memiliki mata hati yang tajam berusaha untuk menyingkirkan ‘penantian negatif’ dan mempropagandakan ‘penantian positif’. Manusia dalam konsep Syariati adalah makhluk yang menanti, memiliki naluri menanti. Menanti berarti memiliki harapan di masa depan yang lebih baik dari saat ini. Dengan demikian menanti membawa manusia untuk menolak kondisi yang ada saat ini. Sehingga selalu ada keinginan untuk membawa perubahan dari kondisi negative. Tentu saja hal ini dilatarbelakangi terhadap kondisi pemerintahan rezim Syah Iran ketika itu.
Ada sikap optimis di balik ‘penantian positif’ Syariati. Ketika menurut Syariati setiap budaya memiliki zaman keemasan, lalu pudarnya zaman keemasan itu diikuti zaman kegelapan, selalu ada revolusi besar di masa yang akan datang yang akan membawa budaya tersebut kembali ke zaman keemasannya. Pemikiran-pemikiran Syariati yang seperti ini, selalu membangkitkan semangat revolusi dipandang berbahaya oleh pemerintahan Syah Iran dan kemudian membawa Syariati ke balik jeruji besi.

Juhaiman al Utaibi, menantikan datangnya Imam Mahdi dengan sibuk mencari sosok Imam Mahdi itu sendiri di sekelilingnya. Perlawanan Juhaiman terutama kepada kerajaan Al Saud yang dinilai telah dipenuhi kemaksiatan. Gerakan yang dipimpin oleh Juhaiman sempat menjadi perhatian dan membawanya sebagai incaran intelijen. Meski kemudian dibebaskan atas saran gurunya, Ibn Baz yang juga sebagai penasihat Kerajaan.

Pada akhirnya Juhaiman merasa menemukan sosok yang memiliki cirri-ciri yang sama dengan Imam Mahdi pada Muhammad bin Abdullah, maka skenario yang disebutkan di berbagai hadist pun dijalankan. Juhaiman membawa ‘sang Imam Mahdi’ ke sisi Ka’bah untuk dibaiat. Sayang sekali Juhaiman lebih memilih sesuatu yang belum pasti pada tanda-tanda Imam Mahdi tersebut dibandingkan dengan sesuatu yang jelas-jelas dilarang Allah SWT: menodai Masjidil Haram dengan pertumpahan darah. Ya, apa yang dilakukan oleh Juhaiman itu telah menghasilkan pertumpahan darah. Dan ketika Juhaiman menyadari bahwa Muhammad bin Abdullah bukanlah sosok Imam Mahdi yang selama ini ia cari, Juhaiman hanya bisa menyesali karena ia telah menodai Masjidil Haram.

Apa yang telah dilakukan Syariati dan Juhaiman telah menghasilkan 2 hal. Pertama: Al Qaeda dan Revolusi Iran (yang menghasilkan Negara) yang sama-sama menentang kekuasaan global (Amerika dan sekutunya). Kedua: Kematian bagi diri mereka berdua.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hindari Berbohong dalam Berpolitik: INDEKS KORUPSI PARTAI POLITIK VERSI KPK WATCH: QUALIFIED ATAU ABAL-ABAL?

Akhir-akhir ini banyak beredar di dunia maya Indeks Korupsi Partai Politik yang dibuat oleh semacam lembaga (entah lembaga resmi, entah lembaga dadakan)dengan nama KPK Watch sebagai berikut di bawah. Bagaimana metode perhitungan Indeks Korupsi Partai Politik versi KPK Watch ini? KPK Watch mengambil data jumlah koruptor selama periode 2002-2014 dari laman ICW. Setelah diperoleh angka jumlah koruptor, KPK Watch membagi angka tersebut dengan jumlah suara yang diperoleh pada pemilu 2009. Maka didapatlah angka Indeks Korupsi Partai Politik yang kemudian dipublikasikan via social media. Tentu saja publikasi ini tidak melewati publikasi media cetak dan media elektronik. Mengapa? Entahlah.. kita tidak akan membahas itu. Kita hanya akan membahas bagaimana metoda perhitungan KPK Watch ini dan apa pengaruhnya pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 ini. Tapi mungkin dari pembahasan ini kita akan paham kenapa Indeks Korupsi Partai Politik yang dikeluarkan KPK Watch ti

SEBUAH PABRIK BERNAMA UJIAN NASIONAL

Pagi itu saya sangat terkejut membaca sebuah berita di dunia maya. Wawancara Wakil Menteri Pendidikan mengenai Ujian Nasional yang saya baca di sini membuat saya terpukul: "Percayalah, kalau tidak diberi ujian, yakin saya sekolah itu tidak akan menerapkan proses belajar. Coba bayangkan Indonesia tidak ada semangat untuk belajar. Untung ada UN, mereka jadi belajar." Pernyataan ini membuat saya bertanya-tanya. Bagaimana bisa seorang Wakil Menteri Pendidikan berbicara seperti ini? Apakah ini didasari pengalaman pribadi Sang Profesor? Sehingga Wamen merasa sangat pesimis dengan berlangsungnya proses belajar di sekolah? Mungkin banyak pertanyaan di masyarakat: "apa sih yang salah dengan UN?" atau "perasaan jaman dulu Ujian nggak ribut-ribut seperti ini". Sungguh pada awalnya saya juga merasa heran, apa yang salah dengan UN? toh jaman dulu ini tidak ada masalah? Pada awalnya saya pernah menyatakan: Tidak ada yang salah dengan UN dan saya mendukung ad

JIKA AKU SHOLAT, SEHARUSNYA AKU JADI SEORANG MUSLIM YANG SEPERTI APA? (II)

Pada tulisan sebelumnya sudah dijelaskan bahwa 3 ritual awal sholat: wudhu, takbiratul ihram dan iftitah jika dilakukan dengan menyelami maknanya maka akan mengantarkan kita ke dalam 2 kondisi:  1. Pengendalian ketergantungan diri pada kemelekatan duniawi 2. Pengendalian ego Jika setelah berwudhu kita bisa melepaskan diri dari kemelekatan duniawi, lalu setelah takbiratul ihram dan membaca doa iftitah kita sudah bisa menihilkan ego, maka itu berarti kita siap untuk masuk ke tahap selanjutnya dalam sholat: berdialog dengan Allah lewat surat Al Fatiha. Tanpa masuk ke dalam 2 kondisi di atas, kita tidak akan bisa berdalog dengan Allah. Bacaan-bacaan Al Fatiha kita menjadi meaningless... tanpa makna, dan tidak akan membekas apa-apa dalam kehidupan kita.  Jika kita sudah siap, mari kita mencoba masuk dalam tahap berdialog dengan Allah. Bagi sebagian orang, bisa berdialog dengan Allah adalah sesuatu yang sangat didambakan. Bagaimana tidak.. Sebagian kita berharap bisa berdialog da