Langsung ke konten utama

Sampai Kapanpun, Kita Masih Butuh Anak-Anak Yang Jago Menghapal


Sudah lama sebenarnya saya ingin menulis soal ini. Waktu isunya sedang heboh-hebohnya. Tapi… kemudian saya undurkan niat saya. Biasalah… di Indonesia kalau isu sedang panas2nya.. sulit untuk berdiskusi dengan objektif. Karena sekarang semua ada kubu-kubunya… semua bisa dikaitkan dengan politik. Maka diskusinya bukan untuk mencari yang terbaik… tapi berkutat pada soal menang-kalah dan polarisasi politik.

Sekarang ketika orang sedang beralih pada isu corona, saya pikir inilah saatnya untuk menulis tentang isu ini.

Dimulai dengan pernyataan Mendiknas Nadiem Makarim saat rapat bersama Komisi X DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan pada Kamis, 12 Desember 2019, "Ini yang Indonesia butuhkan di masa depan. Mohon maaf, dunia tidak membutuhkan anak-anak yang jago menghafal."
Saya menilai pernyataan tersebut adalah pernyataan yang gegabah dan tidak elok dilontarkan oleh seorang menteri pendidikan.

Saya sendiri ketika mengajar Matematika, Fisika dan Kimia kepada anak-anak saya selalu menekankan bahwa sebaiknya rumus-rumus dan konsepnya dimengerti dan dipahami, jangan dihapalkan. Tapi saya sama sekali tidak merekomendasikan anak-anak untuk mengabaikan proses menghapal. Saya tetap menyadari bahwa menghapal itu adalah bagian yang sangat penting dan tidak terpisahkan dari proses belajar.

Ketika bersama anak-anak saya mendengarkan kisah-kisah ilmuwan muslim dahulu seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Al Kindi, Muhammad Iqbal dan masih banyak lagi, mereka semua menghapal 30 juz Al Quran ketika masih kanak-kanak. Bahkan ada yang di usia 8 tahun. Tetapi kemudian, pemikiran-pemikiran merekalah yang menjadi kiblat ilmu pengetahuan modern barat. Sampai saat ini buah dari pemikiran-pemikiran mereka pun masih dipakai. Bahkan ilmu kedokteran Ibnu Sina menjadi dasar ilmu kedokteran modern. Jadi sebagai bagian dari proses belajar, menghapal tidak bisa dianggap remeh. Menghapal menjadi bagian dari pendidikan dasar para ilmuwan yang di masa merekalah ilmu pengetahuan menjadi maju.

Di sisi lain, beberapa kawan menggunakan taksonomi Bloom untuk membenarkan pernyataan Nadiem Makarim. Bahwa menurut taksonomi Bloom, menghapal ada di level terendah dalam level berpikir manusia.


Namun sesungguhnya alur berpikir manusia tidak sesederhana hierarki Taksonomi Bloom, yang hanya berupa hierarki linier satu arah. Pada kenyataannya, alur berpikir manusia lebih kompleks lagi dan tidak linier satu arah. Alur berpikir manusia bisa digambarkan sebagai alur flow chart, ada timbal balik, bahkan terkadang ada looping.


Misalnya dari pengetahuan, kemudian menjadi pemahaman, menganalisa, bisa kembali lagi ke pengetahuan lain, lalu baru ke tahap pemahaman, menganalisa, bahkan mungkin kembali lagi kepada pengetahuan baru.




Ketika dalam proses menganalisa, mungkin manusia mendapatkan pemahaman baru, atau bahkan mungkin menghasilkan informasi baru, fakta baru, yang harus dipahami kembali. Sehingga alur pemikirannya kembali ke alur semula seperti dalam diagram di atas.

Kita mengenal bahwa dalam dialektika Hegel ada teori bahwa tesis jika bertemu dengan antitesisnya, maka dia akan menghasilkan sebuah sintesa atau tesis yang lebih baru. Maka, sintesis dalam teori dialektika akan masuk ke dalam pengetahuan baru dalam diagram alur berpikir manusia di atas.


Jika dialektika Hegel disubstitusikan ke dalam diagram tersebut akan menghasilkan flow chart yang lebih kompleks lagi:



Kita ambil contoh dari kata kerja ”menghapal” yang masuk ke dalam level paling rendah di taksonomi Bloom. Dalam kehidupan sehari-hari, proses menghapal itu tidak selalu dilahirkan dengan cara mengulang-ulang informasi yang ada. Jika memang menghapal dijalani dari proses mengulang-ulang informasi baru, mungkin dia bisa dimasukkan ke dalam level terendah dari Taksonomi Bloom yaitu PENGETAHUAN. Tetapi adakalanya proses menghapal diperoleh dengan strategi dari level PEMAHAMAN atau bahkan dari level ANALISA.


Misalnya, seorang siswa memperoleh pengetahuan baru yaitu sebuah rumus fisika. Siswa tersebut baru bisa menghapalkan rumusnya jika dia mengaplikasikan rumus tersebut dalam satu soal atau masalah. Jika dia hanya mengulang-ulang rumus tanpa memahami bagaimana proses penemuan rumus tersebut, atau jika dia hanya mengulang-ulang rumus tanpa bisa mengaplikasikannya dalam soal, dia akan kesulitan untuk menghapalkan rumusnya. Dari sini kita melihat bahwa kata kerja “menghapal” yang dilakukan anak tersebut tidak lagi ada di level pertama, tetapi sudah melampaui level PENGETAHUAN dalam Taksonomi Bloom. Bahkan sudah masuk ke dalam Level APLIKASI.
Contoh lain. Ada individu yang dengan mudah menghapalkan nomor telepon seseorang ketika info tersebut diulang 2 kali. Tapi ada juga individu yang kesulitan untuk menghapalkan meskipun telah mengulang-ulang menyebutkan nomor tersebut berkali-kali. Lalu ia menggunakan strategi dalam bayangannya untuk membentuk pola urutan angka-angka nomor telepon di tuts telepon umum. Di sini orang tersebut menghapal dengan cara-cara yang terdapat di level terakhir Taksonomi Bloom: KREASI.

Jadi hierarki dalam taksonomi Bloom tidak bisa digeneralisir berlaku unuk semua manusia. Karena setiap individu itu adalah unik. Seseorang ada yang bisa dengan mudah menghapal angka-angka begitu saja, tapi ada juga yang kesulitan untuk menghapalkan tanpa menggunakan strategi yang bersifat analitik, aplikatif bahkan kreatif.

Jadi, tidaklah tepat jika taksonomi Bloom dijadikan dasar untuk menguatkan pernyataan bahwa “menghapal” tidak lagi diperlukan di masa depan. Karena taksonomi Bloom bukan ditujukan untuk menggambarkan hierarki alur berpikir manusia. Taksonomi Bloom digunakan untuk menentukan kompetensi dasar siswa yang diharapkan dalam penyusunan kurikulum. Terlalu sederhana alurnya yang hanya linier satu arah, jika diterapkan untuk menggambarkan alur berpikir manusia yang sangat kompleks..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hindari Berbohong dalam Berpolitik: INDEKS KORUPSI PARTAI POLITIK VERSI KPK WATCH: QUALIFIED ATAU ABAL-ABAL?

Akhir-akhir ini banyak beredar di dunia maya Indeks Korupsi Partai Politik yang dibuat oleh semacam lembaga (entah lembaga resmi, entah lembaga dadakan)dengan nama KPK Watch sebagai berikut di bawah. Bagaimana metode perhitungan Indeks Korupsi Partai Politik versi KPK Watch ini? KPK Watch mengambil data jumlah koruptor selama periode 2002-2014 dari laman ICW. Setelah diperoleh angka jumlah koruptor, KPK Watch membagi angka tersebut dengan jumlah suara yang diperoleh pada pemilu 2009. Maka didapatlah angka Indeks Korupsi Partai Politik yang kemudian dipublikasikan via social media. Tentu saja publikasi ini tidak melewati publikasi media cetak dan media elektronik. Mengapa? Entahlah.. kita tidak akan membahas itu. Kita hanya akan membahas bagaimana metoda perhitungan KPK Watch ini dan apa pengaruhnya pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 ini. Tapi mungkin dari pembahasan ini kita akan paham kenapa Indeks Korupsi Partai Politik yang dikeluarkan KPK Watch ti

JIKA AKU SHOLAT, SEHARUSNYA AKU JADI SEORANG MUSLIM YANG SEPERTI APA? (II)

Pada tulisan sebelumnya sudah dijelaskan bahwa 3 ritual awal sholat: wudhu, takbiratul ihram dan iftitah jika dilakukan dengan menyelami maknanya maka akan mengantarkan kita ke dalam 2 kondisi:  1. Pengendalian ketergantungan diri pada kemelekatan duniawi 2. Pengendalian ego Jika setelah berwudhu kita bisa melepaskan diri dari kemelekatan duniawi, lalu setelah takbiratul ihram dan membaca doa iftitah kita sudah bisa menihilkan ego, maka itu berarti kita siap untuk masuk ke tahap selanjutnya dalam sholat: berdialog dengan Allah lewat surat Al Fatiha. Tanpa masuk ke dalam 2 kondisi di atas, kita tidak akan bisa berdalog dengan Allah. Bacaan-bacaan Al Fatiha kita menjadi meaningless... tanpa makna, dan tidak akan membekas apa-apa dalam kehidupan kita.  Jika kita sudah siap, mari kita mencoba masuk dalam tahap berdialog dengan Allah. Bagi sebagian orang, bisa berdialog dengan Allah adalah sesuatu yang sangat didambakan. Bagaimana tidak.. Sebagian kita berharap bisa berdialog da

Halloooo Indaah :)

Hallo Indah dan semua kawan yang bertanya tentang ulasan saya mengenai Data KPK Watch di Kompasiana ( http://politik.kompasiana.com/2014/04/03/analisa-sederhana-kejanggalan-data-kpkwatch-644252.html ). Sebetulnya saya merasa sangat tidak perlu membuat tulisan ini lagi. Karena jawaban atas tulisan Indah sudah sangat jelas di ulasan saya tersebut. Tapi mungkin Indah dan beberapa kawan yang lain belum bisa memahami kalau saya tidak menerangkannya secara grafis serta dengan contoh-contoh sederhana lainnya. Juga karena saran beberapa kawan ya pada akhirnya saya buat juga. Karena saya bukan anggota Kompasiana, maka saya tidak bisa memberikan komentar di tulisan Indah tsb. Mohon maaf kalau saya menjelaskannya dengan soal cerita matematika sederhana kelas 6 SD. Tidak bermaksud merendahkan dan menyamakan taraf pemahaman dengan anak kelas 6 SD, tapi memang ilmu statistik yang saya gunakan bukan ilmu statistik yang rumit, hanya ilmu statistik sederhana dan perbandingan sederhana yang ada di pel