Satu kali saya telat menjemput si Bungsu pulang sekolah. Ketika Si Bungsu masuk ke mobil sambil merasa khawatir saya langsung berkata: "Maaf ya Dek telat jemputnya. Udah tinggal sendirian ya tadi di sekolah?" Si Bungsu mejawab: "Nggak apa-apa... masih ada (sebut saja namanya) Adli kok". Saya manggut-manggut lega. Sementara si Bungsu meneruskan ceritanya tentang Adli:
"Adli mah pulangnya jam 5... jam 6.."
Saya hanya menanggapi selintas: "Ah.. mosok??"
"Iyaaa.. dia dijemputnya jam segitu. Rumahnya di Bogor"
Saya masih menanggapi sekenanya, "Ih.. jauh banget.."
"Iyaaa... perginya jam 4 subuh naik kereta"
Ah.. Tentu saja saya hanya menganggap cerita si Bungsu itu khayalannya saja... namanya juga anak-anak.. banyak sekali fantasinya.
Lalu pada satu waktu saya mendapat tugas untuk memotret anak-anak kelas 3, termasuk kelasnya si Bungsu. Itu adalah pemotretan kedua kalinya.. setelah pemotretan pertama harus diulang karena ketika sesi foto bersama ada 2 anak yang tidak ikut berfoto. Anak-anak itu ternyata kelaparan dan malah makan di kantin... hadeuuuuuuuhhhh... Maka Korlas pun meminta saya untuk bersedia memotret ulang minggu depannya... hahahahaa... dasar anak-anak :D :D
Kali kedua pemotretan ulang itu saya terlebih dahulu mengatur posisi kursi-kursi dan tripod di halaman, sebelum anak-anak dipanggil. Melihat saya mengatur posisi kamera, Ibu Wali Kelas menghampiri dan menyalami saya. Berbincang sebentar, lalu Ibu Wali Kelas berkata: "Ibu... satu orang nggak masuk gimana ya...?"
"Siapa Bu?"
"Adli Bu.."
Saya sedikit merasa lega karena pada pemotretan pertama Adli ikut sesi foto bersama. Jadi saya tidak perlu mengulang lagi minggu depannya.. hahaha..
"Oh... Adli kan kemarin sudah ikut pemotretan pertama Bu, jadi nanti saya atur aja biar bisa diedit posisinya Adli." ucap saya.
"Oh... Adli kan kemarin sudah ikut pemotretan pertama Bu, jadi nanti saya atur aja biar bisa diedit posisinya Adli." ucap saya.
"Iya.. ya... bisa ya diedit.." Ibu Walas pun merasa lega
Saya mengangguk.
Saya mengangguk.
Beberapa saat kemudian Korlas datang dan menghampiri kami. Saya kembali mengatur kamera DSLR. Korlas dan Ibu Walas berbincang di samping saya.
"Hadir semua kan ya Bu?" Tanya Korlas
"Adli nggak masuk Bu... kemarin dia pulang jam berapa tuuh.. jam 6" Ibu Walas menjawab dengan mimik wajah merasa gemas.
"Haddduuuuh... saya sudah capek nasihati Ibunya.." Korlas menggeleng-gelengkan kepala, merasa prihatin.
Saya kaget,
"Jadi benar cerita anak saya kalau Adli suka pulang jam 5 atau jam 6?"
Ibu Walas menjawab: "Iyaa.. beneran. Rumahnya kan di Cilebut. Jadi pulang dan pergi sekolah pake kereta. Perginya subuh. Pulangnya jam 6"
Ternyata cerita si Bungsu itu benar. Adduh.. saya kok underestimate banget sih sama cerita si Bungsu itu.. Saya pikir cerita itu tidak mungkinlah.. ternyata benar ya..
Ternyata cerita si Bungsu itu benar. Adduh.. saya kok underestimate banget sih sama cerita si Bungsu itu.. Saya pikir cerita itu tidak mungkinlah.. ternyata benar ya..
"Ya Allah... kasihan sekali. Terus kenapa harus sekolah di sini? (Daerah Kebayoran)"
"Nah... itu yang sudah berkali-kali saya tanyakan ke ibunya: Apa sih yang kamu cari di sekolah ini?" Jawab Korlas
Ibu Walas menambahi: "Iya... saya juga gimana yaa... kan saya ada kuliah juga di Rawamangun. Jadi kadang-kadang saya tidak bisa nemani Adli. Jadi harus atur-atur dengan guru yang lain"
Anak-anak sudah berdatangan untuk pemotretan. Tapi pikiran saya terus ke Adli. Kasihan sekali.. pergi jam 4 ke sekolah naik kereta, pulang jam 6 sore. Sampai rumahnya mungkin jam 7-8 malam. Pasti sudah capek, besoknya harus bangun lagi jam 3.30. Kapan Adli belajar? Kapan Adli bermain? Duh..
Ketika saya jemput si Bungsu sepulang sekolah, saya minta dia untuk bercerita tentang Adli.
"Dek.. Adli gimana anaknya?" Tanya saya.
"Yaaa.. gitu aja.. kenapa memangnya, Bunda?"
"Nggak.. Bunda pingin tau aja. Baik anaknya?"
Si Bungsu menjawab sambil mulutnya sedikit nyinyir, "Nyebelin... suka marah, suka ngejek... blablablabla..."
Dalam hati saya membenarkan.. dengan ritme hidup seperti itu, anak sekecil itu, wajar kalau dia merasa tertekan dan jadi sering marah-marah.
Dalam hati saya membenarkan.. dengan ritme hidup seperti itu, anak sekecil itu, wajar kalau dia merasa tertekan dan jadi sering marah-marah.
Malamnya saya menceritakan soal Adli ke suami. Tentu saja Si Abang kaget bukan main . Seperti sudah saya duga.. Si Abang aduh-aduhan mendengar cerita saya dan terus bertanya tentang Adli sambil memegang kepalanya.. langsung pening rupanya kepalanya.
"Addduuuh... memangnya tidak ada sekolah di dekat rumahnya?"
"Pasti adalah... tapi mungkin kalau negeri nggak sebagus sekolah Adek kali yaa.." jawabku
"Bapak Ibunya kerja apa? Masalah biaya mungkin?"
Saya tidak dapat menjawab dengan pasti karena memang belum sempat mendapatkan info lebih detail lagi.
"Ya sepertinya sih begitu. Nggak sanggup sekolah di swasta di sana jadi ambil yang negeri di Jakarta, mungkin."
"Ya sepertinya sih begitu. Nggak sanggup sekolah di swasta di sana jadi ambil yang negeri di Jakarta, mungkin."
Mata Abang menerawang, mencoba membayangkan dan menempatkan diri pada posisi orang tua Adli,
"Berarti memang Ibu Bapaknya ingin sekolah yang bagus buat anaknya."
"Berarti memang Ibu Bapaknya ingin sekolah yang bagus buat anaknya."
"Ini mah dugaanku aja ya.. mungkin.. mungkin ini mah.. Ibunya kerja di Jakarta, nggak ada yang ngurusin Adli kalau di rumah sendiri. Jadi pergi sekolah sekalian sama Adli, terus pulangnya juga barengan sama Ibunya." Saya mencoba sedikit menduga-duga.
"Yaaa... yaaa.. yaaa... mungkin begitu. Tapi addduuuuh... (aduh lagi)... kasian kan anak itu... addddduuuh..." Si Abang kembali mengaduh
Dia diam sebentar. Akhirnya kami berkesimpulan untuk mengajukan ke orang tua Adli.. (seandainya ceritanya benar begitu) agar Adli tinggal di rumah kami dulu, bersama2 si Bungsu selama hari-hari sekolah. Pergi dan pulang sekolah dengan si Bungsu. Nanti hari Jumat baru bersama orang tuanya. Rasanya itu yang terbaik, karena dengan begitu Adli tidak kelelahan sekolah, sementara si Bungsu juga jadi punya teman main dan belajar.
Tapiiiiii.... Si Abang minta saya untuk mendapatkan informasi yang benar dulu tentang masalah ini. Khawatir kalau menyinggung atau jadi mencampuri urusan rumah tangga orang tuanya.. Dan berkali-kali pula Si Abang menanyakan kesanggupanku untuk mengurus Adli. Saya menyanggupi. Saya katakan juga padanya kalau saya akan minta informasi mengenai Adli terlebih dulu ke Korlas, sebelum bicara dengan Orang tua Adli.
Si Abang terus menerus menekankan agar jangan sampai urusan rumah tangga keluarganya Adli dicampuri. Pokoknya posisi kami hanya menyampaikan usulan tentang Adli thok, bukan mencampuri urusan keluarganya. Si Abang memang sangat tidak ikut campur dalam urusan rumah tangga dan keluarga orang lain, karena yang mengetahui kondisi sebenarnya ya mereka sendiri.
"Pintar-pintar ya Bunda bicaranya" Sekali lagi Abang menekankan.
Tapiiiiii.... Si Abang minta saya untuk mendapatkan informasi yang benar dulu tentang masalah ini. Khawatir kalau menyinggung atau jadi mencampuri urusan rumah tangga orang tuanya.. Dan berkali-kali pula Si Abang menanyakan kesanggupanku untuk mengurus Adli. Saya menyanggupi. Saya katakan juga padanya kalau saya akan minta informasi mengenai Adli terlebih dulu ke Korlas, sebelum bicara dengan Orang tua Adli.
Si Abang terus menerus menekankan agar jangan sampai urusan rumah tangga keluarganya Adli dicampuri. Pokoknya posisi kami hanya menyampaikan usulan tentang Adli thok, bukan mencampuri urusan keluarganya. Si Abang memang sangat tidak ikut campur dalam urusan rumah tangga dan keluarga orang lain, karena yang mengetahui kondisi sebenarnya ya mereka sendiri.
"Pintar-pintar ya Bunda bicaranya" Sekali lagi Abang menekankan.
Maka saya pun menghubungi Korlas, dan bertanya-tanya tentang Adli.
Korlas bercerita panjang lebar
"Duh... Mbak.. persoalan Adli itu sebenarnya sudah lama (walaaaah... saya merasa kecolongan). Adli itu sebenarnya korban Mbak. Orang tuanya sudah berpisah. Adli tinggal sama Ibu dan kakaknya di Cilebut. Saya juga sudah berkali-kali mempertanyakan ke Ibunya.. apa sih yang dia cari sampai harus menyekolahkan anaknya di Jakarta. Kan kasian Adli."
"Duh... Mbak.. persoalan Adli itu sebenarnya sudah lama (walaaaah... saya merasa kecolongan). Adli itu sebenarnya korban Mbak. Orang tuanya sudah berpisah. Adli tinggal sama Ibu dan kakaknya di Cilebut. Saya juga sudah berkali-kali mempertanyakan ke Ibunya.. apa sih yang dia cari sampai harus menyekolahkan anaknya di Jakarta. Kan kasian Adli."
Maka saya pun menjelaskan maksud saya dan suami, "Oh.. begitu.. Apa mungkin karena Ibunya bekerja di Jakarta dan tidak ada lagi yang menjaga Adli di rumah, jadi pergi dan pulang sekolah Adli sekalian sama Ibunya? Kalau begitu, kemarin ayahnya Maula mengusulkan agar Adli tinggal dengan kami saja di hari-hari sekolah, Mbak. Nanti hari Jumat dia pulang sama Ibunya. Jadi Adli tidak terlalu kelelahan."
"Ibunya Adli kerjanya jualan di Stasiun Cilebut, Mbak.." Jawab Korlas.
Nahloh... Saya kaget... sangaattt... sangaaat kaget... luar biasa kagetnya. Gantian jadi saya yang pening... Whaaattt????
"Lho... dagangnya di Stasiun Cilebut? Rumahnya di Cilebut? Trus kenapa sekolahin anaknya di Jakarta?"
"Iya itu yang saya tanyakan berkali-kali ke Ibunya. Dulu juga waktu kelas 1 Bu Leny sudah menawarkan Adli untuk ikut dia dulu. Tapi ibunya nggak mau." Terdengar nada prihatin dalam jawaban yang dikemukakan Korlas.
"Trus ditanya kenapa sekolahin anaknya di Jakarta, Ibunya menjawab apa?" Saya penasaran
"Ibunya diam saja. Tidak menjawab. Dia tertutup sekali. Ibunya juga ada sakit jantung kalau nggak salah."
Saya tambah nelangsa, "Apalagi kalau Ibunya sakit begitu. Kan Ibunya juga capek harus antar jemput anaknya naik kereta sejauh itu."
Dan saya pun tiba-tiba merasa gelap untuk masalah ini... Tak punya solusi. Bagaimana mau mengusulkan sebuah solusi kalau apa masalahnya pun tidak bisa kami rumuskan. Usul yang akan kami ajukan sepertinya belum tepat dengan kondisi seperti itu. Maksud Sang Ibu untuk menyekolahkan anaknya di Jakarta disimpannya rapat-rapat. Dan kami tidak bisa membacanya. No clues.
"Kalau seandainya Mbak mau berbicara sama Ibunya Adli, nanti kita coba atur waktunya deh. Tapi tolong jangan katakan informasinya dari saya." Saran Korlas.
"Ok Mbak.. nanti saya coba bicarakan dulu dengan suami saya."
Tiba-tiba Korlas menambahi, "Alhamdulillah sih Mbak... KJP-nya Adli kemarin sudah disetujui"
Di situ saya merasa mendapatkan sedikit titik terang. Tapi yah.. masih spekulasi...
Dan sudah bisa ditebak dong, ketika saya ceritakan semua ini ke si Abang, dia kembali aduh-aduhan... merasa pening sambil terus memegang keningnya. Pikiran kami tidak bisa menjangkau, kenapa harus sekolah sejauh itu di Jakarta kalau seandainya Ibunya berdagang di Stasiun Cilebut? Apa mungkin agar anaknya dapat memperoleh KJP di Jakarta? Sebegitunyakah pengorbanan yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan KJP? Tapi ya mungkin bagi keluarga seperti Keluarga Adli, KJP itu sangat besar artinya.
Entahlah.. Rasanya gelap sekali untuk persoalan ini. Yang jelas pada akhirnya kesimpulan kami: Ibunya sangat ingin Adli maju dan berhasil.
Komentar
Posting Komentar