Langsung ke konten utama

Manusia Luar Biasa Yang Masih Bersedia Menyalakan Lilin Bagi Manusia-manusia yang Terbuang



Pada beberapa titik saya sering merasa kagum terhadap orang lain berdasarkan hal-hal yang mungkin remeh temeh bagi sebagian orang. Misalnya, ketika saya shalat di musholla sebuah mall saya begitu mengagumi orang-orang yang langsung menuju mushola untuk menjalankan shalat ketika adzan berkumandang di tengah-tengah kemewahan mall yang luar biasa luasnya. Karena ketika kita berhadapan dengan gemerlap materi yang disodorkan oleh peradaban mall, ternyata cukup banyak manusia-manusia yang mampu langsung split dari gemerlap duniawi ke gemerlap akhirat. Dan kekaguman saya bertambah ketika manusia-manusia yang saya lihat itu tidak menggunakan atribut yang digunakan oleh muslim 'taat' pada umumnya. Yang wanita cukup banyak yang tidak berjilbab, yang pria juga sebagian besar tak ada tanda hitam di keningnya.

Atau... kekaguman saya pada seorang guru SD yang bisa tetap sabar menghadapi kenakalan anak-anak kecil yang harus dihadapinya sehari-hari. Sampai kadang saya merasa khawatir jika kesabarannya akan habis :D

Dan tulisan saya ini juga akan menceritakan tentang kekaguman saya. Kekaguman pada sebuah profesi yang selama ini tidak pernah saya perhatikan: dokter spesialis kesehatan jiwa.

Saya sudah sering mendengar tentang istilah Schizophrenia. Tetapi saya mulai tertarik dengan topik tersebut setelah menonton film Beautiful Mind. Kisah tentang seorang ahli matematika penderita Schizophrenia yang berhasil menundukkan penyakitnya sampai kemudian mendapatkan penghargaan Nobel. Sangat inspiratif!

Ketertarikan saya bertambah ketika membaca sebuah artikel mengenai kampanye "Lighting of Hope" yang digaungkan oleh para dokter spesialis kesehatan jiwa. Tiba-tiba saya seperti merasa diri saya menciut menjadi mengecil.

Schizophrenia adalah sebuah penyakit gangguan kejiwaan. Dari level terendah sampai yang paling akut, penyakit ini bukan hanya menjadi masalah bagi si penderita, tetapi juga keluarga dan lingkungan di sekitarnya. Namun karena adat, kebiasaan dan persepsi masyarakat Indonesia, penderita Schizophrenia seringkali malah dibawa oleh pihak keluarga untuk berobat secara alternatif ke 'orang pintar'. Alih-alih mengobati, tindakan ini justru bisa membuahkan kondisi yang semakin buruk.

Jika sudah dirasakan sangat mengganggu, atau membahayakan orang lain, tidak jarang pihak keluarga mengambil tindakan memasung atau 'memenjarakan' penderita. Meskipun kita tahu bahwa berat sekali bagi keluarga melakukan tindakan tersebut. Tidak bisa kita begitu saja menunjuk hidung pada keluarga pasien dan memberikan cap "tidak manusiawi" kepada mereka.  Kalau keluarga tidak memiliki kasih sayang terhadap penderita, tentu sudah dibiarkan saja penderita pergi entah ke mana, terombang-ambing di jalanan... sampai kemudian ada kabar berita si penderita tinggal namanya saja :(

Coba kita lihat di sekeliling kita. Adakah penderita gangguan jiwa yang berkeliaran di jalanan? Berbicara sendiri, tertawa sendiri, melakukan tindakan dan hal-hal yang kita anggap aneh. Tapi apakah kita peduli? Paling-paling mereka hanya menjadi perhatian kita 1-2 detik. Setelah itu kita pergi begitu saja. Atau bahkan terkadang kita memilih menghindar dan cepat-cepat berlalu.

Saya akui bahwa saya seringkali bersikap seperti itu. Memang siapa yang peduli? Bahkan mungkin keluarganya saja tidak peduli. Apalagi orang lain? Maka dari itu saya merasa takjub ketika kemudian para dokter ahli kesehatan jiwa mengkampanyekan "Lighting of Hope for Schizophrenia". Siapakah penderita Schizophrenia ini bagi para ahli kesehatan jiwa tersebut sehingga mereka peduli untuk menyalakan lagi harapan untuk para penderita Schizophrenia?

"Together we help them to shape their future"!!! kedua tagline itu membuat saya merinding. Penderita schizophrenia adalah tetap manusia bagi para ahli kesehatan jiwa. Manusia yang memiliki harapan dan masa depan. Manusia yang tetap memiliki hak-haknya. Di saat orang lain tak peduli, menghindar... bahkan mungkin keluarganya sendiri sudah berputus asa, dan angkat tangan... para ahli kesehatan jiwa inilah yang tetap optimis untuk menyalakan harapan para penderita.

Maka dari itulah saya merasa kagum kepada mereka... para ahli kesehatan jiwa. Di sela rasa kagum dan takjub itu, saya mendoakan semoga kepedulian dan usaha mereka mengembalikan masa depan penderita schizophrenia menjadi ladang amal, amal jariyah yang terus tak berhenti membuahkan kebaikan. Aamiin...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hindari Berbohong dalam Berpolitik: INDEKS KORUPSI PARTAI POLITIK VERSI KPK WATCH: QUALIFIED ATAU ABAL-ABAL?

Akhir-akhir ini banyak beredar di dunia maya Indeks Korupsi Partai Politik yang dibuat oleh semacam lembaga (entah lembaga resmi, entah lembaga dadakan)dengan nama KPK Watch sebagai berikut di bawah. Bagaimana metode perhitungan Indeks Korupsi Partai Politik versi KPK Watch ini? KPK Watch mengambil data jumlah koruptor selama periode 2002-2014 dari laman ICW. Setelah diperoleh angka jumlah koruptor, KPK Watch membagi angka tersebut dengan jumlah suara yang diperoleh pada pemilu 2009. Maka didapatlah angka Indeks Korupsi Partai Politik yang kemudian dipublikasikan via social media. Tentu saja publikasi ini tidak melewati publikasi media cetak dan media elektronik. Mengapa? Entahlah.. kita tidak akan membahas itu. Kita hanya akan membahas bagaimana metoda perhitungan KPK Watch ini dan apa pengaruhnya pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 ini. Tapi mungkin dari pembahasan ini kita akan paham kenapa Indeks Korupsi Partai Politik yang dikeluarkan KPK Watch ti

JIKA AKU SHOLAT, SEHARUSNYA AKU JADI SEORANG MUSLIM YANG SEPERTI APA? (II)

Pada tulisan sebelumnya sudah dijelaskan bahwa 3 ritual awal sholat: wudhu, takbiratul ihram dan iftitah jika dilakukan dengan menyelami maknanya maka akan mengantarkan kita ke dalam 2 kondisi:  1. Pengendalian ketergantungan diri pada kemelekatan duniawi 2. Pengendalian ego Jika setelah berwudhu kita bisa melepaskan diri dari kemelekatan duniawi, lalu setelah takbiratul ihram dan membaca doa iftitah kita sudah bisa menihilkan ego, maka itu berarti kita siap untuk masuk ke tahap selanjutnya dalam sholat: berdialog dengan Allah lewat surat Al Fatiha. Tanpa masuk ke dalam 2 kondisi di atas, kita tidak akan bisa berdalog dengan Allah. Bacaan-bacaan Al Fatiha kita menjadi meaningless... tanpa makna, dan tidak akan membekas apa-apa dalam kehidupan kita.  Jika kita sudah siap, mari kita mencoba masuk dalam tahap berdialog dengan Allah. Bagi sebagian orang, bisa berdialog dengan Allah adalah sesuatu yang sangat didambakan. Bagaimana tidak.. Sebagian kita berharap bisa berdialog da

Halloooo Indaah :)

Hallo Indah dan semua kawan yang bertanya tentang ulasan saya mengenai Data KPK Watch di Kompasiana ( http://politik.kompasiana.com/2014/04/03/analisa-sederhana-kejanggalan-data-kpkwatch-644252.html ). Sebetulnya saya merasa sangat tidak perlu membuat tulisan ini lagi. Karena jawaban atas tulisan Indah sudah sangat jelas di ulasan saya tersebut. Tapi mungkin Indah dan beberapa kawan yang lain belum bisa memahami kalau saya tidak menerangkannya secara grafis serta dengan contoh-contoh sederhana lainnya. Juga karena saran beberapa kawan ya pada akhirnya saya buat juga. Karena saya bukan anggota Kompasiana, maka saya tidak bisa memberikan komentar di tulisan Indah tsb. Mohon maaf kalau saya menjelaskannya dengan soal cerita matematika sederhana kelas 6 SD. Tidak bermaksud merendahkan dan menyamakan taraf pemahaman dengan anak kelas 6 SD, tapi memang ilmu statistik yang saya gunakan bukan ilmu statistik yang rumit, hanya ilmu statistik sederhana dan perbandingan sederhana yang ada di pel