Langsung ke konten utama

How would it be if you were standing in my shoes?




How would it be if you were standing in my shoes?
Can't you see that it's impossible to choose?”

Petikan lirik di atas adalah penggalan lagu Too Much Love Will Kill You-nya Queen. Pernah juga dinyanyikan solo oleh Brian May. Lagu ini bagi saya merupakan penutup yang teramat sangat manis atas debut Freddie Mercury semasa hidupnya.

Nah... akhir-akhir ini kalimat dalam petikan lagu itu selalu menempel di kepalaku. How would it be if you were standing in my shoes? Sebuah kalimat yang rasa-rasanya telah abai dan hilang dalam benak kita sekarang. Dalam benak masyarakat kita yang katanya adalah bagian dari sebuah bangsa yang besar, yang bhineka, yang heterogen (jikasanya kata plural sudah menjadi alergen bagi sebagian masyarakat kita). Dan sekarang masyarakat kita tengah gemar-gemarnya men-judge, menunjuk hidung kepada orang lain. Bagaimana jika kita berdiri di atas sepatu orang lain? Bagaimana jika kita memandang sesuatu dengan kacamata orang lain? Pernahkah kita mencoba hal ini?

Kemudian ada pertanyaan ‘bodoh’ lain yang juga berkeliaran di kepalaku: Kalau seandainya Allah SWT adalah Maha Kuasa dan berkehendak menjadikan Islam sebagai agama satu-satunya yang diridhai-Nya, mengapa Ia mentakdirkan makhluk mulia yang sangat Ia cintai: Muhammad SAW bertahun-tahun menderita kesulitan, kesusahan, penghinaan, penindasan sebelum Islam tegak di Mekkah? Padahal Allah SWT sangat berkuasa untuk mempermudah dan menjadikan Islam tegak di Mekkah dengan langsung kun-fayakun tanpa harus ‘membuat’ manusia yang dicintaiNya itu menderita?
Jawaban yang tentunya semua orang sudah tau adalah: Untuk menjadi ujian bagi Rasulullah.. bahwa mencintai Rasulullah berarti adalah mengujinya sehingga akan menjadikan Beliau sosok pemimpin yang kuat, teruji dsb.. dsb.. dsb..

Tapi ada satu sisi lain yang harusnya kita pelajari juga dari “pesan Allah” kepada umat manusia dengan memberikan ujian berat bertahun-tahun kepada Rasulullah dan para sahabat ketika itu.

Jika seseorang mengalami penderitaan, penindasan dan cobaan selama bertahun-tahun, ada 2 macam karakter yang bisa lahir dari proses tersebut: 1. Terbentuknya karakter yang positif, tidak mau menindas orang lain, mengasihi orang lain dan menjadi lebih kuat. Karakter kedua yang mungkin bisa terbentuk adalah karakter negatif, meneruskan menindas orang lain, bahkan mungkin lebih daripada perlakuan yang ia terima sebelumnya.

Kedua karakter itu terbentuk bergantung dari bagaimana basic karakter orang itu sendiri sebelumnya. Sebagaimana kita ketahui selama ini, sebelum diangkat menjadi rasul Muhammad SAW memang sudah memiliki budi pekerti luhur. Bahkan dipercaya oleh tokoh2 di Mekkah. Bisa digambarkan ketika itu Rasulullah juga ditokohkan oleh masyarakat Mekkah. Mapan dari sisi ekonomi (Beliau bersama istrinya adalah pengusaha yang cukup sukses) dan sosial. 
Tiba2 semua kondisi tersebut dibalik oleh Allah SWT. Rasulullah harus melawan arus kepercayaan dan tradisi di lingkungan sekitarnya, harus menanggung hidup para umatnya yang terusir dari lingkungan dan pekerjaan karena mengikuti Rasulullah. Rasulullah juga harus mengalami penindasan dan terusir dari kampung halaman yang dicintainya.

Tapi satu hal yang harus kita catat besar-besar di dalam kepala kita: meskipun Rasulullah dan para sahabat mengalami penindasan, penghinaan dan pengusiran yang luar biasa kejamnya, itu semua TIDAK MENJADIKAN mereka melakukan hal yang sama kepada umat lain ketika mereka mengambil alih Mekkah dan Islam berada di puncak kejayaannya. Bahkan kepada orang-orang yang dulu melakukan kekejaman kepada mereka, kaum muslimin ketika itu tidak pernah melakukan tindakan yang sama (balas dendam). Rasulullah tidak mengusir dan menindas mereka, sebaliknya.. Beliau melindungi orang-orang yang berbeda dengannya, Cobaan, hinaan, pengusiran dan penindasan yang mereka alami selama bertahun-tahun itu justru membuat mereka bisa merasakan bagaimana berdiri di atas sepatu orang-orang yang ditindas, dihina dan diusir. Maka mereka tidak akan melakukan hal yang sama pada mereka. Dengan demikian... di masa Rasulullah Islam menjadi rahmatan lil alamin. Menjadi rahmat dan anugerah bagi semua umat manusia.

Itulah pesan yang saya tangkap mengapa Allah memberikan ujian yang begitu berat kepada Rasulullah dan para pengikutnya: agar mereka bisa merasakan bagaimana berdiri di atas sepatu orang-orang yang tertindas, sehingga ketika kelak mereka menjadi pemimpin di muka bumi, mereka tidak akan menjadi pemimpin yang menindas, mengusir, menghina manusia-manusia lain yang dianggap berbeda dan berseberangan dengan mereka.


Sebaliknya dari Rasulullah dan para sahabat.... ada juga orang-orang yang mengalami perlakuan penindasan, namun setelah mereka bisa berdiri tegak.. mereka akan melakukan hal yang sama pada orang lain.

Menurutmu... mengapa senioritas di SMP/SMA berlangsung dari tahun ke tahun? Dulu ketika SMP di Bandung ada istilah "gencet". Kalau di Jakarta istilahnya "labrak". Siswa kelas 1 & 2 diberlakukan berbagai peraturan oleh kelas 3, kalau melanggar mereka akan digencet/dilabrak. Setelah siswa kelas 1 & 2 naik ke kelas 3, mereka akan melakukan hal yang sama pada adik kelasnya. Tapi tidak semua siswa melakukan hal itu. Ada anak-anak yang bisa mengambil hikmah dan sisi posistif dari apa yang mereka alami sebelumnya: mereka tidak ingin melakukan hal yang sama pada adik kelasnya. Karena mereka sudah pernah merasakan bahwa diperlakukan seperti itu rasanya menyakitkan. Sayangnya anak-anak yang bisa berdiri di atas sepatu orang lain ini jumlahnya tidak banyak. Karena jumlahnya kecil inilah maka senioritas bisa berlangsung bertahun-tahun. Kalau anak-anak positif itu lebih banyak jumlahnya tentu saja senioritas tersebut sudah hilang dari dulu-dulu bukan?

Yah.. kita bisa memahami bahwa mereka itu hanya anak-anak.. yang mereka lakukan hanya kenakalan2 masa remaja saja. Pikiran dan mentalnya belum matang. Pengalaman dan pengetahuannya masih belum banyak. Masih sangat mudah terpengaruh orang lain dan lingkungan.

Tapi.... jangan salah... lihat di sekeliling kita. Betapa banyaknya orang-orang dewasa yang bermental seperti anak-anak itu. Melakukan penindasan, pengusiran, kekerasan pada orang lain yang dianggap berbeda.
Yang menyedihkan dari mereka, ada juga yang mengatasnamakan agama dan keyakinan yang saya anut. Mereka membaca, namun tidak belajar dari sejarah Rasulullah.

Berdiri di atas sepatu orang lain..
Sedemikian sulit kita melakukannya karena ego kita sangat besar. Kita selalu memandang satu persoalan dari kacamata kita sendiri.

Beberapa waktu yang lalu masyarakat kita ribut dengan diperbolehkannya mengosongkan kolom agama di KTP. Karena kita tidak bisa berdiri di atas sepatu orang-orang yang agama dan kepercayaannya tidak diakui negara... maka kita mencemooh pengosongan kolom agama di KTP. Cobalah berdiri di atas sepatu mereka. Bagaimana jika agama kita Sunda Wiwitan yang tidak diakui negara, namun kita harus menulis agama kita dengan memilih: Islam, Kristen, Protestan, Hindu atau Budha? Apa yang kita rasakan? sakit?

“Ah... daripada dikosongkan lebih baik mereka disadarkan bahwa kepercayaan mereka itu salah dan memilih satu di antara agama2 yang diakui negara itu” ~> nah... ini karena kita tidak bisa berdiri di atas sepatu mereka dan hanya mau berdiri di atas sepatu kita sendiri. Mencoba berdiri di atas sepatu orang lain itu tidak sama dengan membenarkan apa kepercayaan mereka. Dengan mencoba berdiri di atas sepatu orang lain kita mengasah kemanusiaan dan tepa selira kita. Jika kita merasa sakit saat berdiri atas sepatu mereka... maka jangan lakukan hal yang sama pada orang lain.
Jujur.. saya juga pernah menjadi orang yang sangat egois dan tidak bersedia berdiri di atas sepatu orang lain. Ketika dengan mudahnya saya menjudge Ibu-Ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif kepada anaknya dengan berbagai tuduhan: malas, kurang pendidikan, kurang membaca dsb.. dsb.. Atau ketika saya memandang sinis pada kawan2 yang tidak mengenakan jilbab, atau pada kawan yang berjilbab tapi tidak berkaus kaki. Atau pada kawan2 yang memilih duduk di kelas mengikuti kuliah ketika saya di jalanan berdemo dan berhadapan dengan polisi anti huru hara.. saya menjudge kawan-kawan saya itu apatis, tidak peduli pada kesulitan rakyat kecil.

Pada akhirnya Allah membukakan mata saya. 
Memperlihatkan pada saya bagaimana penuhnya musholla di awal masuk waktu sholat oleh wanita-wanita yang tidak berjilbab, padahal saya yang berjilbab ini sering kali menunda-nunda waktu sholat. 
Atau ketika Allah memperlihatkan kepada saya bagaimana seorang Ibu yang sangat ingin sekali menyusui anaknya, namun secara fisik tidak memungkinkan meskipun telah berusaha dengan berbagai cara. Sehingga ada kesedihan dan rasa bersalah si Ibu ini... terluka oleh pandangan orang lain yang menuduhnya kurang mencintai bayinya. 
Juga ketika Allah memperlihatkan kepada saya bahwa kawan saya yang lebih memilih duduk di kelas mengikuti kuliah dulu (ketika saya berdemo di jalanan), saat ini jauh lebih banyak menolong orang-orang tidak mampu dengan menggunakan ilmunya. Jauh lebih bermanfaat bagi rakyat kecil daripada saya.

Maka... cobalah kita semua belajar untuk berdiri di atas sepatu orang lain. Agar kita bisa merasakan bagaimana jika ada di posisi orang tersebut dan kita tidak akan mudah menjudge orang lain.
Atau seperti kata Rano Karno dulu: “Bukalah kacamatamu...” (nyanyi) :P :P ;)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hindari Berbohong dalam Berpolitik: INDEKS KORUPSI PARTAI POLITIK VERSI KPK WATCH: QUALIFIED ATAU ABAL-ABAL?

Akhir-akhir ini banyak beredar di dunia maya Indeks Korupsi Partai Politik yang dibuat oleh semacam lembaga (entah lembaga resmi, entah lembaga dadakan)dengan nama KPK Watch sebagai berikut di bawah. Bagaimana metode perhitungan Indeks Korupsi Partai Politik versi KPK Watch ini? KPK Watch mengambil data jumlah koruptor selama periode 2002-2014 dari laman ICW. Setelah diperoleh angka jumlah koruptor, KPK Watch membagi angka tersebut dengan jumlah suara yang diperoleh pada pemilu 2009. Maka didapatlah angka Indeks Korupsi Partai Politik yang kemudian dipublikasikan via social media. Tentu saja publikasi ini tidak melewati publikasi media cetak dan media elektronik. Mengapa? Entahlah.. kita tidak akan membahas itu. Kita hanya akan membahas bagaimana metoda perhitungan KPK Watch ini dan apa pengaruhnya pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 ini. Tapi mungkin dari pembahasan ini kita akan paham kenapa Indeks Korupsi Partai Politik yang dikeluarkan KPK Watch ti

JIKA AKU SHOLAT, SEHARUSNYA AKU JADI SEORANG MUSLIM YANG SEPERTI APA? (II)

Pada tulisan sebelumnya sudah dijelaskan bahwa 3 ritual awal sholat: wudhu, takbiratul ihram dan iftitah jika dilakukan dengan menyelami maknanya maka akan mengantarkan kita ke dalam 2 kondisi:  1. Pengendalian ketergantungan diri pada kemelekatan duniawi 2. Pengendalian ego Jika setelah berwudhu kita bisa melepaskan diri dari kemelekatan duniawi, lalu setelah takbiratul ihram dan membaca doa iftitah kita sudah bisa menihilkan ego, maka itu berarti kita siap untuk masuk ke tahap selanjutnya dalam sholat: berdialog dengan Allah lewat surat Al Fatiha. Tanpa masuk ke dalam 2 kondisi di atas, kita tidak akan bisa berdalog dengan Allah. Bacaan-bacaan Al Fatiha kita menjadi meaningless... tanpa makna, dan tidak akan membekas apa-apa dalam kehidupan kita.  Jika kita sudah siap, mari kita mencoba masuk dalam tahap berdialog dengan Allah. Bagi sebagian orang, bisa berdialog dengan Allah adalah sesuatu yang sangat didambakan. Bagaimana tidak.. Sebagian kita berharap bisa berdialog da

Halloooo Indaah :)

Hallo Indah dan semua kawan yang bertanya tentang ulasan saya mengenai Data KPK Watch di Kompasiana ( http://politik.kompasiana.com/2014/04/03/analisa-sederhana-kejanggalan-data-kpkwatch-644252.html ). Sebetulnya saya merasa sangat tidak perlu membuat tulisan ini lagi. Karena jawaban atas tulisan Indah sudah sangat jelas di ulasan saya tersebut. Tapi mungkin Indah dan beberapa kawan yang lain belum bisa memahami kalau saya tidak menerangkannya secara grafis serta dengan contoh-contoh sederhana lainnya. Juga karena saran beberapa kawan ya pada akhirnya saya buat juga. Karena saya bukan anggota Kompasiana, maka saya tidak bisa memberikan komentar di tulisan Indah tsb. Mohon maaf kalau saya menjelaskannya dengan soal cerita matematika sederhana kelas 6 SD. Tidak bermaksud merendahkan dan menyamakan taraf pemahaman dengan anak kelas 6 SD, tapi memang ilmu statistik yang saya gunakan bukan ilmu statistik yang rumit, hanya ilmu statistik sederhana dan perbandingan sederhana yang ada di pel