Siang yang panas. Aku dan Maula mengambil tempat duduk plastik di atas trotoar dan mulai memesan makanan. Satu mangkok mie ayam untukku dan satu piring siomay dengan saus kacang di pinggir piring untuk Maula. Tentunya 2 teh botol dingin sebagai penyeimbang udara dan makanan yang panas.
Makanan belum datang, seorang ibu berpakaian lusuh dan menggendong bayi yang ditutupi kain menghampiri kami sambil menengadahkan tangannya. Maula berbisik:
"Bun... kasih Bun, kasian."
"Adek aja yang kasih." jawabku.
Maula mengambil uang 2000 rupiah yang kupegang dan memberikannya pada Ibu itu. Dia lalu mengamati si Ibu sampai menghilang dari pandangan.
Piring siomay Maula datang. Sebelum memasukkan suapan pertama ke mulutnya Maula bertanya:
"Bun, mengemis itu pekerjaan yang hina ya?"
"Maksud Adek mengemis kayak Ibu itu?"
Maula mengangguk.
"Tergantung, Dek. Kalau dia sebenarnya mampu bekerja tapi lebih senang mengemis karena malas ya itu tidak baik."
"Kalau dia tidak mampu bekerja tidak apa-apa mengemis?"
"Ya kalau dia tidak punya pilihan lain selain mengemis ya nggak apa-apa. Asal jangan berbohong dan menipu."
Maula manggut-manggut. sementara aku bergulat pada pikiranku. Aku ingin bercerita pada Maula tentang pekerjaan paling hina. Tapi aku tidak mau memberikan input negatif padanya. Maka pikiranku pun bergulat sendiri.
Pekerjaan paling hina di jaman teknologi. Orang yang melakukan pekerjaan ini tidak berpakaian lusuh seperti pengemis, tidak berwajah kusut. Bahkan mungkin dia berpakaian rapi dan memakai parfum mahal. Mungkin dia ke mana-mana membawa gadget yang canggih dan handphone yang terbaru. Mereka bukan orang-orang yang bodoh. Bahkan mungkin lulusan pendidikan tinggi. Namun pekerjaan yang dilakukannya jauh lebih hina daripada mengemis dengan cara berbohong. Jauh lebih hina daripada para wanita panggilan yang menjajakan tubuhnya. Mereka yang melakukan pekerjaan hina itu adalah mereka yang mendapatkan uang dari menjual dan menyebarkan fitnah.
Fitnah itu sendiri sangat keji. Bahkan konon lebih keji daripada pembunuhan. Fitnah bukan hanya berdampak pada korban yang difitnah. Tapi juga orang-orang dekat korban. Mereka yang melakukan pekerjaan ini menjual diri, intelektual dan kemanusiaannya. Maka pekerjaan yang menghasilkan uang dari menjual fitnah adalah pekerjaan yang paling hina. Sebagaimana Rasulullah mengibaratkan bergunjing dengan memakan bangkai saudara sendiri, lalu bagaimanakah mengibaratkan mencari uang dengan menjual fitnah?
Makanan belum datang, seorang ibu berpakaian lusuh dan menggendong bayi yang ditutupi kain menghampiri kami sambil menengadahkan tangannya. Maula berbisik:
"Bun... kasih Bun, kasian."
"Adek aja yang kasih." jawabku.
Maula mengambil uang 2000 rupiah yang kupegang dan memberikannya pada Ibu itu. Dia lalu mengamati si Ibu sampai menghilang dari pandangan.
Piring siomay Maula datang. Sebelum memasukkan suapan pertama ke mulutnya Maula bertanya:
"Bun, mengemis itu pekerjaan yang hina ya?"
"Maksud Adek mengemis kayak Ibu itu?"
Maula mengangguk.
"Tergantung, Dek. Kalau dia sebenarnya mampu bekerja tapi lebih senang mengemis karena malas ya itu tidak baik."
"Kalau dia tidak mampu bekerja tidak apa-apa mengemis?"
"Ya kalau dia tidak punya pilihan lain selain mengemis ya nggak apa-apa. Asal jangan berbohong dan menipu."
Maula manggut-manggut. sementara aku bergulat pada pikiranku. Aku ingin bercerita pada Maula tentang pekerjaan paling hina. Tapi aku tidak mau memberikan input negatif padanya. Maka pikiranku pun bergulat sendiri.
Pekerjaan paling hina di jaman teknologi. Orang yang melakukan pekerjaan ini tidak berpakaian lusuh seperti pengemis, tidak berwajah kusut. Bahkan mungkin dia berpakaian rapi dan memakai parfum mahal. Mungkin dia ke mana-mana membawa gadget yang canggih dan handphone yang terbaru. Mereka bukan orang-orang yang bodoh. Bahkan mungkin lulusan pendidikan tinggi. Namun pekerjaan yang dilakukannya jauh lebih hina daripada mengemis dengan cara berbohong. Jauh lebih hina daripada para wanita panggilan yang menjajakan tubuhnya. Mereka yang melakukan pekerjaan hina itu adalah mereka yang mendapatkan uang dari menjual dan menyebarkan fitnah.
Fitnah itu sendiri sangat keji. Bahkan konon lebih keji daripada pembunuhan. Fitnah bukan hanya berdampak pada korban yang difitnah. Tapi juga orang-orang dekat korban. Mereka yang melakukan pekerjaan ini menjual diri, intelektual dan kemanusiaannya. Maka pekerjaan yang menghasilkan uang dari menjual fitnah adalah pekerjaan yang paling hina. Sebagaimana Rasulullah mengibaratkan bergunjing dengan memakan bangkai saudara sendiri, lalu bagaimanakah mengibaratkan mencari uang dengan menjual fitnah?
Komentar
Posting Komentar