Test PISA (Programme International Student Assessment) adalah sebuah test internasional yang diadakan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) untuk mengukur kemampuan matematika, sains dan literasi anak-anak di sebuah negara. Soal-soal dalam test ini pada dasarnya adalah soal-soal yang sederhana. Jika pemecahan soal dirumuskan dalam sebuah kalimat matematika, maka rumusan kalimat matematikanya sangat sederhana. Untuk level awal, rumusan matematika tersebut bisa seperti penjumlahan dan pengurangan sederhana serta perkalian dan pembagian sederhana namun itu semua disajikan dalam sebuah soal cerita yang kontekstual.
Banyak pihak yang mengkritik metode penilaian PISA. Namun kita juga tidak bisa mengabaikan sebuah penilaian yang bermaksud untuk memberikan masukan bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan sistem pendidikan.
Indonesia selama ini selalu menduduki peringkat
akhir dalam pemeringkatan PISA. Tahun 2012 Indonesia berada di peringkat 64 dari 65 negara. Satu tingkat di atas Peru. Menanggapi hal ini Kemendikbud menyatakan tidak akan tinggal diam. Namun sayangnya tindakan yang dilakukan oleh Kemendikbud untuk meningkatkan kemampuan siswa Indonesia berdasarkan standard PISA tersebut hanya dengan memasukkan soal-soal PISA dalam soal UN tahun 2014. Ada beberapa soal yang diambil dari test PISA (UN SMA Memuat Soal Standar Internasional).
Tentu saja apa yang dilakukan oleh Kemendikbud tidak akan mendongkrak rangking Indonesia dalam pemeringkatan PISA. Bagaimana bisa peringkat Indonesia naik hanya dengan mencantumkan soal2 PISA dalam UN SMA dan SMP?
Jika dilihat dari soal-soalnya, bisa kita simpulkan bahwa yang diukur dalam test PISA adalah seberapa kuat logika anak-anak Indonesia. Bagaimana mereka bisa menangkap sebuah permasalahan kemudian merumuskan pemecahannya. Hasil test yang rendah tersebut memperlihatkan kepada kita bahwa anak2 kita yang telah diajarkan membaca, menulis dan berhitung sejak TK tidak mampu untuk menangkap sebuah persoalan.
Anak-anak kita sudah bisa berhitung sejak TK. Mereka sudah diajarkan 5+6=11, dan mereka pun bisa menjawab dengan benar jika disodorkan rumusan matematika seperti itu. Tetapi mereka gelagapan ketika disodorkan soal:
"Doni berbelanja ke pasar bersama-sama Jaka. Mereka membeli buah di sebuah kios. Doni membeli 5 buah jambu dan Jaka membeli 6 buah jambu serta 3 buah sawo. Sesampainya di rumah mereka memasukkan semua buah yang mereka beli ke dalam kulkas. Berapa buah jambu yang ada di dalam kulkas?"
Padahal kalimat/rumusan matematika yang benar dari soal cerita tersebut sama: 5+6=... Tapi mereka tidak mampu untuk merumuskan kalimat matematikanya. Kenapa? karena mereka tidak mampu untuk menangkap apa inti permasalahan dalam soal cerita di atas. Nah inilah yang terjadi dalam pembelajaran anak-anak kita: Ketidakmampuan dalam melihat dan menangkap sebuah persoalan. Jika langsung disodorkan rumusan matematikanya 5+6=...? mereka langsung bisa menjawab dalam tempo hitungan detik. Tapi ketika disodorkan soal cerita kontekstual, mereka kebingungan. Menghapal rumus mereka sangat bisa. Tapi menerapkan rumus tersebut dalam sebuah soal cerita kontekstual, mereka kelimpungan.
Yang harus disadari oleh para orang tua, para pengajar dan pemerintah, tujuan anak-anak kita belajar bukan agar mereka bisa menyelesaikan soal-soal di kertas ujian atau ulangan saja. Mereka belajar agar mereka bisa memecahkan persoalan-persoalan yang akan mereka hadapi kelak, dalam kehidupannya dan dalam pekerjaan sehari-hari yang akan mereka geluti nanti. Jadi yang terpenting dalam belajar adalah bagaimana agar anak-anak kita mampu untuk menangkap dan merumuskan sebuah permasalahan. Nalar, logika itulah yang harus diasah. Jangan terlalu senang jika anak-anak kita sudah bisa berhitung 5+6=11 sejak TK, tapi ketika SMP disodori soal cerita sederhana, bingung.
Kalau kita melihat dalam buku matematika anak-anak kita, soal-soal latihan berupa rumusan matematika langsung, porsinya jauh lebih banyak daripada soal cerita kontekstual. Padahal dari soal ceritalah pola pikir anak-anak akan terbentuk. Ada 3 tahap yang harus dilalui seorang anak dalam memecahkan soal cerita: bagaimana alur berpikir dalam menangkap sebuah persoalan, lalu membuat rumusan matematikanya, baru menghitung hasilnya. Sangat berbeda dengan soal latihan berupa rumusan matematika, di mana anak-anak langsung menghitung hasilnya, tanpa melalui tahapan pertama dan kedua: menangkap sebuah persoalan, dan membuat rumusan matematikanya. Jadi anak-anak tidak terlatih untuk kedua tahapan tersebut. Pola pikir mereka tidak terlatih untuk menangkap sebuah persoalan. Sehingga nalarnya juga tidak terbentuk. Padahal pola pikir ini sangat berguna bagi mereka, bukan hanya untuk memecahkan soal-soal matematika, tapi juga untuk memecahkan persoalan sehari-hari yang ada dalam kehidupan di sekitar kita.
Dari sini mungkin bisa dimengerti mengapa dalam kehidupan masyarakat kita sekarang banyak terlahir pemikiran-pemikiran dan gagasan-gagasan dengan logika yang ajaib. Karena masyarakat kita memang tidak terlatih untuk dapat melihat apa inti persoalan dari sebuah permasalahan. Tidak paham persoalannya apa, maka solusi, ide, gagasan yang ditawarkan juga ajaib, tidak menyentuh dan memecahkan inti persoalannya itu sendiri. Alur logika, nalar masyarakat kita memang tidak terbentuk dengan baik sejak di bangku sekolah.
Contoh nyata dan jelas yang kita lihat sekarang adalah: permasalahan peringkat PISA anak-anak yang jeblok diatasi dengan memasukkan soal-soal test PISA ke dalam tahapan akhir proses belajar anak-anak: UN. Apa inti masalah yang menjadi penyebab rendahnya peringkat PISA itu sendiri tidak didalami.. langsung instant: masukkan test PISA ke dalam UN. Ajaib bukan? :)
Tentu saja apa yang dilakukan oleh Kemendikbud tidak akan mendongkrak rangking Indonesia dalam pemeringkatan PISA. Bagaimana bisa peringkat Indonesia naik hanya dengan mencantumkan soal2 PISA dalam UN SMA dan SMP?
Jika dilihat dari soal-soalnya, bisa kita simpulkan bahwa yang diukur dalam test PISA adalah seberapa kuat logika anak-anak Indonesia. Bagaimana mereka bisa menangkap sebuah permasalahan kemudian merumuskan pemecahannya. Hasil test yang rendah tersebut memperlihatkan kepada kita bahwa anak2 kita yang telah diajarkan membaca, menulis dan berhitung sejak TK tidak mampu untuk menangkap sebuah persoalan.
Anak-anak kita sudah bisa berhitung sejak TK. Mereka sudah diajarkan 5+6=11, dan mereka pun bisa menjawab dengan benar jika disodorkan rumusan matematika seperti itu. Tetapi mereka gelagapan ketika disodorkan soal:
"Doni berbelanja ke pasar bersama-sama Jaka. Mereka membeli buah di sebuah kios. Doni membeli 5 buah jambu dan Jaka membeli 6 buah jambu serta 3 buah sawo. Sesampainya di rumah mereka memasukkan semua buah yang mereka beli ke dalam kulkas. Berapa buah jambu yang ada di dalam kulkas?"
Padahal kalimat/rumusan matematika yang benar dari soal cerita tersebut sama: 5+6=... Tapi mereka tidak mampu untuk merumuskan kalimat matematikanya. Kenapa? karena mereka tidak mampu untuk menangkap apa inti permasalahan dalam soal cerita di atas. Nah inilah yang terjadi dalam pembelajaran anak-anak kita: Ketidakmampuan dalam melihat dan menangkap sebuah persoalan. Jika langsung disodorkan rumusan matematikanya 5+6=...? mereka langsung bisa menjawab dalam tempo hitungan detik. Tapi ketika disodorkan soal cerita kontekstual, mereka kebingungan. Menghapal rumus mereka sangat bisa. Tapi menerapkan rumus tersebut dalam sebuah soal cerita kontekstual, mereka kelimpungan.
Yang harus disadari oleh para orang tua, para pengajar dan pemerintah, tujuan anak-anak kita belajar bukan agar mereka bisa menyelesaikan soal-soal di kertas ujian atau ulangan saja. Mereka belajar agar mereka bisa memecahkan persoalan-persoalan yang akan mereka hadapi kelak, dalam kehidupannya dan dalam pekerjaan sehari-hari yang akan mereka geluti nanti. Jadi yang terpenting dalam belajar adalah bagaimana agar anak-anak kita mampu untuk menangkap dan merumuskan sebuah permasalahan. Nalar, logika itulah yang harus diasah. Jangan terlalu senang jika anak-anak kita sudah bisa berhitung 5+6=11 sejak TK, tapi ketika SMP disodori soal cerita sederhana, bingung.
Kalau kita melihat dalam buku matematika anak-anak kita, soal-soal latihan berupa rumusan matematika langsung, porsinya jauh lebih banyak daripada soal cerita kontekstual. Padahal dari soal ceritalah pola pikir anak-anak akan terbentuk. Ada 3 tahap yang harus dilalui seorang anak dalam memecahkan soal cerita: bagaimana alur berpikir dalam menangkap sebuah persoalan, lalu membuat rumusan matematikanya, baru menghitung hasilnya. Sangat berbeda dengan soal latihan berupa rumusan matematika, di mana anak-anak langsung menghitung hasilnya, tanpa melalui tahapan pertama dan kedua: menangkap sebuah persoalan, dan membuat rumusan matematikanya. Jadi anak-anak tidak terlatih untuk kedua tahapan tersebut. Pola pikir mereka tidak terlatih untuk menangkap sebuah persoalan. Sehingga nalarnya juga tidak terbentuk. Padahal pola pikir ini sangat berguna bagi mereka, bukan hanya untuk memecahkan soal-soal matematika, tapi juga untuk memecahkan persoalan sehari-hari yang ada dalam kehidupan di sekitar kita.
Dari sini mungkin bisa dimengerti mengapa dalam kehidupan masyarakat kita sekarang banyak terlahir pemikiran-pemikiran dan gagasan-gagasan dengan logika yang ajaib. Karena masyarakat kita memang tidak terlatih untuk dapat melihat apa inti persoalan dari sebuah permasalahan. Tidak paham persoalannya apa, maka solusi, ide, gagasan yang ditawarkan juga ajaib, tidak menyentuh dan memecahkan inti persoalannya itu sendiri. Alur logika, nalar masyarakat kita memang tidak terbentuk dengan baik sejak di bangku sekolah.
Contoh nyata dan jelas yang kita lihat sekarang adalah: permasalahan peringkat PISA anak-anak yang jeblok diatasi dengan memasukkan soal-soal test PISA ke dalam tahapan akhir proses belajar anak-anak: UN. Apa inti masalah yang menjadi penyebab rendahnya peringkat PISA itu sendiri tidak didalami.. langsung instant: masukkan test PISA ke dalam UN. Ajaib bukan? :)
Komentar
Posting Komentar