Langsung ke konten utama

Aku Berlindung Kepada Allah dari Godaan Syaithan Yang Terkutuk



Allah Maha Mengetahui, ilmunya begitu luas namun anugerahnya tak terbatas. Ia memberikan petunjuk kepada manusia agar manusia selalu berpikir, berpikir dan berpikir.
"Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran." (QS. Shaad, 38: 29)
Ayat-ayat Allah tersebar di seluruh jagad raya. Semua petunjuk itu adalah anugerah agar kita manusia berpikir dan merenung lalu mengambil pelajaran darinya.

Sedikit mengambil pelajaran dari alam raya ini, mari kita belajar mengenai kehidupan dari bagaimana pergantian siang dan malam. 10 September 2009, saya pernah menulis puisi ini (Untuk Anak-anakku):
Malam tak pernah datang tiba-tiba

Senja menjadi perantaranya


Langit tak pernah gelap tiba-tiba

Sandyakala menjadi isyaratnya
Puisi itu saya persembahkan untuk anak-anakku agar mereka bisa melihat bahwa Allah merancang sistem yang berjalan di alam raya ini dengan sedemikian sempurnanya. Allah tidak pernah mengganti siang ke malam, terang ke gelap secara tiba-tiba. Ada proses antara yang menyertai perpindahan tersebut. dari siang ke malam Allah menyelipkan senja. Dari malam ke siang Allah menyelipkan subuh. Ini semua adalah mekanisme yang sangat sempurna.

Bagaimana jika Allah mengganti siang ke malam atau malam ke siang secara tiba-tiba? Ketika kondisi gelap gulita lalu tiba-tiba kita menyalakan lampu, maka mata kita tiba-tiba 'buta sesaat' karena silaunya cahaya. Kita sulit untuk melihat keadaan di sekeliling kita. Bahkan seringkali mata kita secara reflek tertutup, menghindari cahaya yang datang dengan terangnya secara tiba-tiba. Begitu juga ketika di malam hari kita menyalakan lampu yang sangat terang, tiba-tiba lampu itu padam. Mata kita mendadak 'buta' karena gelap yang sangat tiba-tiba itu. Namun seiring dengan berjalannya waktu, mata kita bisa menyesuaikan diri dalam gelap. Samar-samar kita bisa tetap melihat bayangan-bayangan di sekitar kita meskipun gelap.

Allah membuat sistem penerima cahaya dengan sangat sempurna pada mata manusia. Retina mata kita memiliki sel bacillus (batang) dan sel conus (kerucut). Sel batang mengandung pigmen  rodopsin (warna jingga). Sel inilah yang berperan untuk melihat waktu gelap. Pigmen ini terurai pada saat cahaya terang sehingga apabila ada perubahan  dari terang ke redup maka akan terjadi buta sesaat karena dibutuhkan waktu agar rodopsin yang terurai berkumpul kembali.

Demikianlah halnya dengan kehidupan kita. Dalam setiap pergantian fase kehidupan, kita selalu butuh penyesuaian. Perubahan yang tiba-tiba akan menimbulkan reaksi 'buta sesaat'. Dari bahagia tiba-tiba berubah duka. Ataupun sebaliknya, dari duka tiba-tiba menjadi sangat bahagia..

Saat menuntut ilmu, buta sesaat ini juga seringkali terjadi. Saya pernah mengalaminya ketika pertama kali belajar agama dan memakai jilbab, kelas 1 SMA. Waktu itu belum banyak yang menggunakan jilbab. Saya termasuk angkatan pertama sejak peraturan yang melarang anak sekolah menggunakan jilbab dicabut. Karena masih sedikit, (satu angkatan hanya 11 anak), jadi rasanya eksklusif sekali. Yang sedikit ini pulalah yang kemudian menjadi harapan para teteh mentor di DKM untuk menjalankan misi dakwah. Merasa mendapatkan misi, merasa eksklusif, merasa sebagai orang2 terpilih, merasa kawan2 yang lain tidak mendapatkan ilmu seperti saya, merasa yang lain tidak memiliki militansi seperti saya, ini semua membuat saya merasa lebih baik daripada kawan-kawan yang lain, terutama yang tidak memakai jilbab. Lalu saya bisa memandang sebelah mata pada kawan2 yang lain yang tidak memakai jilbab. Saya merasa agama saya lebih baik dari mereka. Saya merasa Allah pasti lebih sayang kepada saya daripada kepada  kawan-kawan saya yang tidak berjilbab.

Inilah 'buta sesaat' yang saya alami. Kondisi saya sebelumnya yang awam soal agama, lalu tiba-tiba belajar agama yang selama ini tidak pernah saya dapatkan. Menerima sesuatu yang baru, materi-materi ilmu yang membuat saya berkata dalam hati: "oh begitu ternyata...", lalu saya pun buta. Sebagai seseorang yang mendapatkan misi dakwah (ciiyyyyeeehhh...), saya menyampaikan materi yang saya dapat dan saya telan bulat-bulat itu kepada objek dakwah saya. Jika ada yang tidak sependapat atau menyanggah apa yang saya sampaikan, bukannya berdebat pada konten materinya..   saya malah menghibur diri bahwa itu adalah ujian dakwah, sebagaimana dulu ujian yang didapatkan sahabat2 Rasulullah ketika menjalankan dakwah (hihihiiiii... jauuhh pisaaannnn). Pokoknya yakin sekali bahwa saya yang paling benar untuk soal agama :))

DKM sering mengadakan acara nonton bareng film Risalah, film tentang perjuangan Rasulullah dulu. Dari situ ditanamkan di kepala kami bahwa seperti itu jugalah ujian yang akan kami hadapi nanti untuk menegakkan Islam secara kaffah, untuk mewujudkan negara Islam dan menolak Pancasila sebagai dasar negara. Hahhhhh??? Mendirikan negara Islam? Menolak Pancasila? Hihihiiiii... iya, dan begitulah saya dulu: menelan bulat-bulat apa kata Teteh Mentor. Rasanya eksklusif sekali militansi yang kami miliki: pertemuan dan pembicaraan rahasia yang tidak boleh diketahui sembarangan orang :) Maka saya pun merasa lebih special (ga pake telor ya...), merasa lebih baik, lebih pejuang dari yang lain, karena mereka tidak mendapatkan kaderisasi seperti yang saya dapatkan.

Sampai kemudian ketika Rodopsin telah menyesuaikan diri, siap untuk menerima cahaya kembali, sayapun berangsur sembuh dari 'buta sesaat' itu. Bahkan kemudian saya melihat banyak orang lain yang tidak mendapatkan kaderisasi agama seperti saya, bahkan yang tidak menggunaka jilbab, agamanya lebih baik daripada saya. Itu tercermin dari perilakunya sehari2. Saya merasa tertampar. Bukankah kualitas agama tercermin dari perilaku sehari-hari? Dari tutur katanya? Dari egonya? Bukan dari militansinya? Bukan dari heroiknya? Bukan dari seberapa luas pengetahuan agamanya, seberapa fasihnya ia mengemukakan ayat-ayat Al Quran dan hadist-hadist Nabi SAW, tapi dari seberapa jauh pengetahuannya itu diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Maka kemudian sayapun belajar agama lagi dari nol. Belajar bukan hanya dari buku dan hapalan ayat, tapi belajar dari sikap hidup orang lain, belajar dari kebijaksanaan2nya. Kalau dulunya saya hanya merasa senang berkumpul dengan kawan-kawan DKM, sejak itu saya senang berkawan dengan siapapun dan dari golongan manapun. Saya berusaha lebih membuka diri. Berusaha mendapat masukan dari pemikiran manapun.

Ah... ternyata bukan saya sendiri yang mengalami buta sesaat itu. Banyak juga kawan-kawan yang mengakui mengalaminya.. hehehehe.. Buta sesaat ini bisa terjadi pada siapapun yang baru belajar tentang sesuatu yang belum pernah dipelajari sebelumnya. Bukan hanya ilmu agama.
Waktu di kampus dulu saya bertemu dengan seseorang yang baru belajar tentang Marxism. Yang diomongkan olehnya hanya itu-itu saja. Bahkan waktu saya menegurnya karena sikapnya yang tidak sopan, dia mengelak dengan mengemukakan teori kelas2 sosial.. loh... apa hubungannya? Rupanya beliau sedang mengalami buta sesaat juga :)

Buta sesaat juga bisa terjadi berulangkali. Bahkan saya yang sudah menyadari pernah mengalami buta sesaat di masa lalu bisa saja mengalaminya lagi di kemudian hari. Ketika saya baru belajar tentang sufism misalnya, atau ketika saya baru belajar tentang ekonomi, atau baru belajar tentang politik dsb. Oleh karena itu, ketika akan mempelajari sebuah ilmu yang baru bagi kita, penting sekali untuk benar2 memohon perlindungan kepada Allah SWT. Audzubillah himinasyaitonirrajim, bismillahirrahmanirrahiim. Istighfar ketika menuntut ilmu, dan selalu rendah hati. Berusaha untuk tetap sadar bahwa sebagai manusia kita adalah tempatnya salah, tetap sadar bahwa ilmu yang kita punya hanya setitik debu dari luasnya ilmu Sang Maha Mengetahui yang meliputi seluruh alam raya. Dengan demikian, insya Allah kita dihindarkan dari buta sesaat.

.

Komentar

  1. Jadi malu pernah buta sesaat juga >_<. Kalo saya dulu nyebutnya "puber ideologi", :p lagi norak-noraknya dapet ide baru, masih puber dan belum mateng... :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hallo... Marthiany. "Puber Ideologi".. oke juga tuh istilahnya. Lebih enak didengar :)

      Hapus
  2. Assalamualaikum,

    Alangkah lebih baik juga jika kita tidak merendahkan mereka yang mbak Novi bilang sebagai "buta sesaat" itu.. Jika mereka direndahkan juga, lalu apa bedanya dengan kondisi masa lalu ketika masih menjelek2an mereka yang "tidak ikut kaderisasi" dsb..

    Terimakasih.

    Terimakasih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waalaikum salam wr. wb. Terima kasih masukannya :) Ini adalah cerita tentang saya, Saya tidak memandang rendah orang lain yang mengalami "buta sesaat" karena itu adalah bagian dari proses hidup. Satu2nya yang saya rendahkan di sini adalah diri saya sendiri :)

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hindari Berbohong dalam Berpolitik: INDEKS KORUPSI PARTAI POLITIK VERSI KPK WATCH: QUALIFIED ATAU ABAL-ABAL?

Akhir-akhir ini banyak beredar di dunia maya Indeks Korupsi Partai Politik yang dibuat oleh semacam lembaga (entah lembaga resmi, entah lembaga dadakan)dengan nama KPK Watch sebagai berikut di bawah. Bagaimana metode perhitungan Indeks Korupsi Partai Politik versi KPK Watch ini? KPK Watch mengambil data jumlah koruptor selama periode 2002-2014 dari laman ICW. Setelah diperoleh angka jumlah koruptor, KPK Watch membagi angka tersebut dengan jumlah suara yang diperoleh pada pemilu 2009. Maka didapatlah angka Indeks Korupsi Partai Politik yang kemudian dipublikasikan via social media. Tentu saja publikasi ini tidak melewati publikasi media cetak dan media elektronik. Mengapa? Entahlah.. kita tidak akan membahas itu. Kita hanya akan membahas bagaimana metoda perhitungan KPK Watch ini dan apa pengaruhnya pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 ini. Tapi mungkin dari pembahasan ini kita akan paham kenapa Indeks Korupsi Partai Politik yang dikeluarkan KPK Watch ti

JIKA AKU SHOLAT, SEHARUSNYA AKU JADI SEORANG MUSLIM YANG SEPERTI APA? (II)

Pada tulisan sebelumnya sudah dijelaskan bahwa 3 ritual awal sholat: wudhu, takbiratul ihram dan iftitah jika dilakukan dengan menyelami maknanya maka akan mengantarkan kita ke dalam 2 kondisi:  1. Pengendalian ketergantungan diri pada kemelekatan duniawi 2. Pengendalian ego Jika setelah berwudhu kita bisa melepaskan diri dari kemelekatan duniawi, lalu setelah takbiratul ihram dan membaca doa iftitah kita sudah bisa menihilkan ego, maka itu berarti kita siap untuk masuk ke tahap selanjutnya dalam sholat: berdialog dengan Allah lewat surat Al Fatiha. Tanpa masuk ke dalam 2 kondisi di atas, kita tidak akan bisa berdalog dengan Allah. Bacaan-bacaan Al Fatiha kita menjadi meaningless... tanpa makna, dan tidak akan membekas apa-apa dalam kehidupan kita.  Jika kita sudah siap, mari kita mencoba masuk dalam tahap berdialog dengan Allah. Bagi sebagian orang, bisa berdialog dengan Allah adalah sesuatu yang sangat didambakan. Bagaimana tidak.. Sebagian kita berharap bisa berdialog da

Halloooo Indaah :)

Hallo Indah dan semua kawan yang bertanya tentang ulasan saya mengenai Data KPK Watch di Kompasiana ( http://politik.kompasiana.com/2014/04/03/analisa-sederhana-kejanggalan-data-kpkwatch-644252.html ). Sebetulnya saya merasa sangat tidak perlu membuat tulisan ini lagi. Karena jawaban atas tulisan Indah sudah sangat jelas di ulasan saya tersebut. Tapi mungkin Indah dan beberapa kawan yang lain belum bisa memahami kalau saya tidak menerangkannya secara grafis serta dengan contoh-contoh sederhana lainnya. Juga karena saran beberapa kawan ya pada akhirnya saya buat juga. Karena saya bukan anggota Kompasiana, maka saya tidak bisa memberikan komentar di tulisan Indah tsb. Mohon maaf kalau saya menjelaskannya dengan soal cerita matematika sederhana kelas 6 SD. Tidak bermaksud merendahkan dan menyamakan taraf pemahaman dengan anak kelas 6 SD, tapi memang ilmu statistik yang saya gunakan bukan ilmu statistik yang rumit, hanya ilmu statistik sederhana dan perbandingan sederhana yang ada di pel