Langsung ke konten utama

Sesungguhnya Anak-anak Kita Adalah Guru Bagi Kita



Hari ini, 17 April 2014, si Bungsu mengikuti Lomba Baca Puisi dalam rangka Peringatan Hari Kartini di TK-nya. Beberapa minggu sebelumnya dia merayu saya untuk tidak masuk sekolah di hari ini.
"Maula nggak bisa apal-apal" begitu keluhnya.
Dan... aku pun terus meyakinkan dia, bahwa:
"Kalau Maula berusaha pasti bisa kok. Kan Maula sendiri yang bilang kalau Bunda ga bisa Bunda harus bilang: pasti bisa! pasti bisa! pasti bisa! nanti kalau bilang begitu pasti beneran bisa. Nah Maula harus gitu juga dong. Ayok.. kita sama-sama ngapalin."

Kata-kata di dalam puisi itu memang cukup sulit untuk anak TK seusianya, bahkan mungkin Maula tidak mengerti arti dari kata-kata tersebut, seperti: "kaum hawa", "menyemangati", "nusantara", "berperan serta", "pembangunan" dan "bangsa". Agar mudah menghapal, aku harus menjelaskan secara sederhana arti kata-kata itu. Karena akan lebih sulit menghapal kalau ia tidak mengerti artinya. 
Maka.. mulailah setiap hari Maula berusaha menghapal bait-bait puisi singkat Kartini. Di mobil sepulang sekolah, sebelum berangkat sekolah, di rumah di sela-sela waktu luang. Sampai aku sendiri juga hapal di luar kepala :) Kalau kemudian ada bait yang terlupa, dia akan bilang:
"Zzzzzzzzzzz!!! ulang.. ulang.. fokus! fokus!" :D

Ketika kemudian dia berhasil menghapal tanpa ada bagian yang terlewat ataupun salah ejaannya, kami semua.. aku dan ayahnya mengapresiasi keberhasilan Maula.
"Nah.. bisa kan? Jadi sekarang Maula ga perlu tidak masuk pas Lomba Puisi nanti kan?"
Ia mengangguk.
"Berarti Maula bisa dapet piala dong. Maula mau dapat piala?" tanyaku lagi.
"Mau! Pialanya buat Bunda.."
"Waaaah.. makasiiih"
"Buat Ayah juga. Buat Budhe juga"
"Ayah sama Budhe pasti senang. Buat Kakak juga kan?"
"Nggak.. ah. Lagi marahan sama Kakak"
Errrrrr..... :D
Setelah diam sejenak dia menambahkan:
"Tapi kayaknya Maula nanti nggak dapat piala deh."
Kaget aku mendengarnya. Baru aku sadar sudah membuat kesalahan memotivasinya dengan piala. Buru-buru kukatakan padanya kalau itu tidak menjadi masalah buatku, buat ayahnya dan buat budhenya.
"Ya nggak apa-apa dong. Buat Bunda, Ayah, Budhe dan Kakak, Maula udah berani tampil baca puisi itu sudah menang. Menang itu kan tidak perlu harus dapat piala"

Maka demikianlah hari ini Maula tampil membaca puisi pertama kalinya di depan para juri dengan menggunakan pakaian adat Sunda. Tidak seperti latihan di rumah, Ia membaca terlalu cepat.. hihihiii.. mungkin masih ada rasa malu. Tapi tak apa.. meski aku tau tidak mendapat piala aku puji terus keberhasilan dia untuk berani tampil di panggung.
"Adek keren ya.. sudah berani membaca puisi sendiri tadi."
"Terima kasiiiiiih" jawabnya dengan senyum yang lebar.

Di mobil adalah waktunya evaluasi. Bukan.. bukan evaluasi mengenai penampilannya. Karena sebelumnya kami sudah sepakat bahwa target kemenangan kami adalah keberaniannya untuk tampil sendiri.
"Jadi tadi siapa Dek yang dapat piala?" tanyaku sambil menyetir mobil.
"Eeeeng... Farah, Ara.." Jawabnya.
"Oh, iya. Bunda tadi lihat Ara bagus baca puisinya. Ara berani pake gaya. Maula nggak apa-apa kan ga dapet piala?"
"Nggak apa-apa, Maula nggak nangis."
"Oh.. iya dong. Buat apa nangis. Yang penting kan Maula sudah berani tampil dengan keren."
Kami terdiam sejenak.
"Maula senang nggak Ara sama teman-teman Maula yang lain dapat piala?" tanyaku lagi.
"Senang doooong..."
"Alhamdulillah.. kenapa Maula merasa senang teman-teman yang lain dapat piala?"
"Eeeeenggg... nggak tau. Ya Maula ngerasa senang aja." jawabnya. Hihihiiii...
"Kalau Maula merasa senang teman-teman Maula dapat piala meskipun Maula nggak dapat piala, itu artinya Maula anak yang baiiiiik banget hatinya. Buat Bunda, itu lebih hebat lagi dari dapat piala. Hari ini Bunda senangnya dua kali. Pertama, Bunda senang Maula sudah berani tampil baca puisi. Kedua, Bunda lebih senang lagi ternyata Maula itu teman yang baik hati. Maula merasa senang kalau teman-teman Maula dapat piala meskipun Maula sendiri tidak dapat piala. Keren sekali. Maula ngerti kan maksud Bunda?"
Maula mengangguk. Dan akupun berhenti sampai di situ. Khawatir kalau aku lanjutkan, Ia belum bisa memahaminya.

Yang mau aku sampaikan ke Maula sebenarnya..:
seringkali kita siap untuk menang, tapi tak siap untuk kalah. Lebih menyedihkan lagi kalau persaingan ternyata lebih berharga daripada ikatan persaudaraan ataupun pertemanan di antara kita. Kalau menang jumawa, kalau kalah kita menjelek-jelekan yang menang. Mencari celah untuk menjatuhkan yang menang. Inilah maksud yang ingin aku sampaikan kepada Maula. Mungkin untuk saat ini hanya sampai di situ yang aku bisa sampaikan padanya. Kelak kalau ia sudah bisa lebih memahami, aku akan mengajarkan padanya apa artinya: "menang tanpa menjatuhkan saingan kita, menang secara terhormat"

Aku harus sampaikan padanya, terus mengingatkan ia bahwa hidup ini memang sebuah persaingan. Tapi kita harus menjalaninya secara terhormat. Mengingat bagaimana manusia-manusia dewasa sekarang ini tak mampu untuk bersaing secara terhormat, tak mampu kalah dengan terhormat. Jangankan untuk mengajari anak-anaknya agar hidup dengan terhormat, untuk mengajari anak-anaknya agar memiliki harga diri yang tinggi dengan bersaing secara sehat. Menjalani untuk dirinya sendiri pun manusia-manusia dewasa sekarang ini tak mampu. Kita, manusia-manusia dewasa sekarang ini hanya mampu bersaing dengan menjelek-jelekan lawan kita. Dan itu sekarang menjadi biasa. Sangat biasa.

Kalau kita sebagai manusia dewasa tidak mampu untuk bersaing secara sehat dan terhormat, tidak mampu kalah secara sehat dan terhormat, tidak mampu menang secara sehat dan terhormat, mungkin sekarang waktunya kita belajar dari anak-anak kita. Jangan malu belajar dari mereka. Sesungguhnya mereka adalah guru bagi kita.

Komentar

  1. ade-ade, kaka gk di kasih pialanya. Tapi maula keren udh berani tampil di depan umum. Walau sebenarnya masih hebatan kaka. :p. Bun kata2 lagi berantemnya jgn diungkit dong!!!!

    BalasHapus
  2. gk ada tentang nisa apa y?? parah -_-

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hindari Berbohong dalam Berpolitik: INDEKS KORUPSI PARTAI POLITIK VERSI KPK WATCH: QUALIFIED ATAU ABAL-ABAL?

Akhir-akhir ini banyak beredar di dunia maya Indeks Korupsi Partai Politik yang dibuat oleh semacam lembaga (entah lembaga resmi, entah lembaga dadakan)dengan nama KPK Watch sebagai berikut di bawah. Bagaimana metode perhitungan Indeks Korupsi Partai Politik versi KPK Watch ini? KPK Watch mengambil data jumlah koruptor selama periode 2002-2014 dari laman ICW. Setelah diperoleh angka jumlah koruptor, KPK Watch membagi angka tersebut dengan jumlah suara yang diperoleh pada pemilu 2009. Maka didapatlah angka Indeks Korupsi Partai Politik yang kemudian dipublikasikan via social media. Tentu saja publikasi ini tidak melewati publikasi media cetak dan media elektronik. Mengapa? Entahlah.. kita tidak akan membahas itu. Kita hanya akan membahas bagaimana metoda perhitungan KPK Watch ini dan apa pengaruhnya pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 ini. Tapi mungkin dari pembahasan ini kita akan paham kenapa Indeks Korupsi Partai Politik yang dikeluarkan KPK Watch ti

JIKA AKU SHOLAT, SEHARUSNYA AKU JADI SEORANG MUSLIM YANG SEPERTI APA? (II)

Pada tulisan sebelumnya sudah dijelaskan bahwa 3 ritual awal sholat: wudhu, takbiratul ihram dan iftitah jika dilakukan dengan menyelami maknanya maka akan mengantarkan kita ke dalam 2 kondisi:  1. Pengendalian ketergantungan diri pada kemelekatan duniawi 2. Pengendalian ego Jika setelah berwudhu kita bisa melepaskan diri dari kemelekatan duniawi, lalu setelah takbiratul ihram dan membaca doa iftitah kita sudah bisa menihilkan ego, maka itu berarti kita siap untuk masuk ke tahap selanjutnya dalam sholat: berdialog dengan Allah lewat surat Al Fatiha. Tanpa masuk ke dalam 2 kondisi di atas, kita tidak akan bisa berdalog dengan Allah. Bacaan-bacaan Al Fatiha kita menjadi meaningless... tanpa makna, dan tidak akan membekas apa-apa dalam kehidupan kita.  Jika kita sudah siap, mari kita mencoba masuk dalam tahap berdialog dengan Allah. Bagi sebagian orang, bisa berdialog dengan Allah adalah sesuatu yang sangat didambakan. Bagaimana tidak.. Sebagian kita berharap bisa berdialog da

Halloooo Indaah :)

Hallo Indah dan semua kawan yang bertanya tentang ulasan saya mengenai Data KPK Watch di Kompasiana ( http://politik.kompasiana.com/2014/04/03/analisa-sederhana-kejanggalan-data-kpkwatch-644252.html ). Sebetulnya saya merasa sangat tidak perlu membuat tulisan ini lagi. Karena jawaban atas tulisan Indah sudah sangat jelas di ulasan saya tersebut. Tapi mungkin Indah dan beberapa kawan yang lain belum bisa memahami kalau saya tidak menerangkannya secara grafis serta dengan contoh-contoh sederhana lainnya. Juga karena saran beberapa kawan ya pada akhirnya saya buat juga. Karena saya bukan anggota Kompasiana, maka saya tidak bisa memberikan komentar di tulisan Indah tsb. Mohon maaf kalau saya menjelaskannya dengan soal cerita matematika sederhana kelas 6 SD. Tidak bermaksud merendahkan dan menyamakan taraf pemahaman dengan anak kelas 6 SD, tapi memang ilmu statistik yang saya gunakan bukan ilmu statistik yang rumit, hanya ilmu statistik sederhana dan perbandingan sederhana yang ada di pel