“Bunda, rumput itu emangnya enak?”
“Wah.. Bunda nggak tau. Kenapa Maula nanya begitu? Pingin
makan rumput?”
“Wihihihiii… bukan gitu, kata b* ***u kalau nggak sekolah
nanti kayak orang P***a yang cuman makan rumput”
Huwaaaaaaa…. Jadi pingin gigit tiang listrik dengernya… anak
gue diracun oraaaaang!! huhuhuuuu…. Inhale…. Exhale… Inhale… Exhale..
(mendinginkan kepala yang tiba-tiba berasap)
“Dek, bilang ke b* ***u ya.. bunda punya banyak teman orang
P***a. Dan mereka semua kuliah di ITB mereka hebat-hebat. Memang sekolah itu
penting, Dek. Tapi bukan berarti semua orang P***a tidak sekolah. Banyak sekali
yang pintar-pintar dan sekolah di sekolah-sekolah hebat.”
“Jadi mereka tidak makan rumput?”
“Kalaupun ada di
antara mereka yang tidak sekolah, tapi mereka yang tidak sekolah juga tidak
makan rumput. Mereka makan seperti kita. Makan daging dan makan sayur. Dek…
kucing juga nggak sekolah, tapi makannya daging kan? Bukan rumput?”
“Hahahhahaaa… iya yaaaa…”
Obrolan pagi ketika saya mengantar Maula sekolah itu hanya
satu dari sekian banyak input-input negative buat anak-anak. Pernah juga dulu
terjadi obrolan antara saya dan si sulung di mobil ketika pulang sekolah.
“Nda, nama orang itu harus pake bahasa Arab ya? Ga boleh
pake bahasa Indonesia, nanti dosa”
“Haaaa??? Kata siapa, Kak?”
“Kata b**** katanya nama itu doa. Nanti perilaku kita sesuai
dengan nama kita. Jadi harus pake bahasa Arab.”
“Kakaaak… apa Allah itu bodoh?”
“Ya nggak dong.”
“Apa Allah itu cuman bisa bahasa Arab saja? Apa Allah tidak
bisa bahasa Jepang? Tidak mengerti bahasa Indonesia?”
“Hmmmmm…. Iya juga yaaaa…” (mulai mikir dia)
“Bahwa nama adalah doa dan harapan orang tua.. itu betul.
Maka kita harus memberikan nama yang baik-baik untuk anak kita. Tapi Allah kan
Maha Mengetahui, jangankan doa yang diucapkan secara lisan. Kalau kita berharap
dalam hati saja Allah bisa tau kok. Mau pake bahasa Arab, bahasa Indonesia,
bahasa Cina, bahkan tidak diucapkan pun Allah bisa mengetahui.”
“bener… bener.. bener…”
Setelah obrolan itu, satu waktu si sulung cerita padaku usai
pelajaran Agama.
“Bunda,.. tadi waktu baca doa bu hajjah bilang: ‘baca doanya
yang keraaaassss… supaya didengar Allah’. Trus Nisa bisik-bisik ke Nanda: ‘eh..
emangnya Allah tuli, nggak bisa dengar?’ Nanda ketawa, Nda”
Hahahahaa… aku senang mendengarnya. Berarti apa yang aku
sampaikan beberapa waktu sebelumnya membuka ruang dialog di pikirannya.
Dunia anak-anak memang tidak pernah terlepas dari dunia
orang dewasa. Apa yang dilakukan dan dibicarakan oleh orang dewasa seringkali
menjadi copy paste bagi anak-anak kita. Anak-anak adalah cerminan orang tuanya.
Kita sebagai orang tua dituntut untuk lebih berhati-hati agar anak-anak bisa
tumbuh ke arah yang positif, lebih baik dari kita orang tuanya.
Dalam pertumbuhannya, lingkungan juga sangat berpengaruh
bagi anak-anak. Ada jutaan input dari lingkungan di sekitar mereka yang masuk ke dalam alam
pikiran anak-anak. Orang tua tidak mungkin bisa berada di samping mereka 24 jam
penuh. Kita tidak bisa terus mengawasi dan memberikan pengarahan kepada mereka. Kita tidak bisa terus
menerus mendikte, memberitahu mana yang baik dan mana yang buruk. Maka yang bisa kita lakukan kepada mereka
sebagai orang tua adalah menumbuhkan daya pikir kritis dan objektif mereka. Kelak mereka
harus bisa berpikir sendiri apakah input yang mereka terima itu baik untuk mereka
atau tidak. Sehingga jika satu ketika ada input negative seperti contoh di atas,
dengan sendirinya mereka mampu menjalankan proses dialog dalam pikirannya,
tidak langsung menerima dan menelan bulat-bulat input tersebut.
Pada dasarnya, ruang dialog atau dialektika adalah ketika
sebuah tesis/ide menemukan antitesisnya. Keduanya (baik tesis maupun
antithesis) akan melahirkan proses dialog pemikiran yang kemudian akan
menghasilkan sintesa atau kesimpulan sendiri. Anak-anak yang terlatih menjalani
proses tersebut akan memiliki sisi positif diantaranya: memilki rasa ingin tahu
yang besar sehingga tidak segan untuk bertanya dan mengkritisi sesuatu, lebih
terbuka terhadap pandangan atau pendapat yang berbeda dan mampu mengemukakan
hasil pemikirannya. Lambat laun alur pemikiran mereka akan semakin rapi,
teratur dan sistematis. Mereka juga lebih mandiri dalam mengambil keputusan, dan
siap atas resiko yang akan mereka hadapi dari keputusannya tersebut. Maka dari
itu anak-anak yang terlatih terhadap ruang dialog pemikiran akan lebih kuat
memegang nilai, etika dan norma yang berlaku di lingkungannya karena itu semua
adalah hasil dari dialektikanya.
Ada beberapa hal yang bisa kita perbuat untuk menumbuhkan
ruang dialog dalam pemikiran anak-anak. Di antaranya
- Berikan bekal nilai-nilai, norma dan etika kepada mereka. Baik itu yang berlaku secara umum, yang berlaku dalam agama yang dianut maupun yang berlaku di lingkungan di sekitar. Bagaimanapun bekal ini harus menjadi landasan utama sehingga harus diperkuat agar sintesa yang lahir dari proses pemikiran anak-anak kita tetap sejalan dengan nilai, norma dan etika yang berlaku.
- Proses dialog pemikiran ini tidak akan terbentuk jika sebuah tesis/ide tidak menemukan antitesanya. Oleh karena itu jangan tutup dan batasi secara ketat lingkungan mereka. Biarkan mereka melihat bahwa di dunia ini ada dua sisi: positif dan negative, baik dan buruk, sholeh dan bejad. Biarkan mereka menerima input negative secara perlahan-lahan. Dan biarkan mereka bergaul dalam lingkungan yang plural, lingkungan yang terdiri dari berbagai kelas, ras, maupun agama. Agar anak-anak dapat melihat setiap perbedaan dalam lingkungan tersebut. Input yang beragam ini sangat baik untuk menjadi bahan pemikirannya.
- Tidak perlu khawatir jika input-input negative tersebut akan diserap oleh mereka selama kita menemani dan mendampingi mereka dalam melatih dan menumbuhkembangkan proses dialektika tersebut. Maka, bukalah ruang-ruang diskusi dengan mereka. Biasakan untuk mendiskusikan berbagai hal. Mulai dari berbagai persoalan yang terjadi di sekeliling mereka maupun yang dihadapi oleh orang tua.
- Biarkan anak-anak berkonflik. Jangan selalu mencampuri konflik di antara mereka. Lewat konflik mereka akan melatih diri mereka bagaimana cara mengelola konflik dan mengambil hikmah dari konflik tersebut. Maka dari itu, meskipun kita sebagai orang tua tidak mencampuri konflik yang terjadi di antara mereka, tetap kita damping mereka. Ajak mereka untuk berdiskusi mengenai hikmah yang mereka dapatkan dari konflik tersebut.
- Antitesa juga bisa diperoleh dengan mengajak mereka berdiskusi untuk mengkritisi suatu persoalan di sekitar mereka. Kaitkan persoalan tersebut dengan norma, nilai, etika yang berlaku dalam lingkungannya. Karena ini sifatnya diskusi, bukan kuliah satu arah, maka yang kita lakukan sebaiknya hanya berupa umpan saja agar mereka bisa mengemukakan pendapat dan pemikirannya.
- Hal penting lainnya yang sebaiknya kita tanamkan kepada mereka adalah: berikan kesadaran bahwa setiap manusia adalah berbeda. Maka perbedaan baik secara fisik maupun secara pemikiran hakikatnya adalah sebuah anugerah. Perbedaan itu juga bisa menjadi sebuah potensi bagi kita semua. Oleh karena itu kita harus bisa menghargai dan menghormati perbedaan tersebut.
- Sebagai bekal tambahan ajari anak-anak kita agar mereka mampu bersikap objektif dalam membedah satu persoalan. Jangan menilai sebuah idea tau permasalahan dengan melihat latar belakang seseorang. Ajari mereka bagaimana membedakan antara apa dan siapa dalam membedah satu idea atau persoalan.
Saya sendiri selama ini berusaha untuk tidak mengintervensi
pandangan ataupun pemikiran anak-anak. Dalam pergaulannya dengan berbagai
kalangan, si sulung pernah bercerita tentang kawannya yang tanpa disadarinya
sering berbohong dengan berbagai bualan. Saya tidak langsung memberitahu Nisa bahwa
kawannya itu sudah membohonginya. Saya biarkan itu berproses secara alami. Dan
benar saja… beberapa saat kemudian dia menceritakan kepada saya bahwa kawannya
itu sering berbohong. Saya hanya tersenyum.
“Bunda sudah tau kok.”
“Kok? Bunda tau dari mana?”
“Ya Bunda tau dong.Kan Bunda mikir, jadi Bunda bisa tau mana
yang bohong dan mana yang tidak. Coba.. Nisa pikirkan saja, kata Nisa dia punya
iPad 8. Buat apa coba punya iPad banyak-banyak? Bahkan orang yang paling kaya
di Indonesia juga tidak butuh punya iPad segitu banyaknya.”
“Iya juga ya…”
Hihihihiiiii…
Saya juga menghindari untuk mendoktrin mereka. Persoalan
politik, terutama akhir-akhir ini pasti menjadi sebuah input bagi mereka.
Karena politik adalah sesuatu yang sangat bersifat subyektif, maka saya tidak
pernah memberi mereka masukan dari pandangan-pandangan saya.
Satu waktu si sulung bertanya pada saya:
“Bunda milih siapa calon presidennya?”
“Ya belum bisa milih dong, kan sekarang aja belum jelas
siapa-siapa aja yang mau maju mencalonkan diri sebagai presiden.”
“yaaa udaaah… kalau gitu dari nama-nama yang muncul sekarang
ini, Bunda milih siapa?”
“Tergantung cawapresnya dong… gimana Bunda bisa milih kalau
cawapresnya belum ketahuan siapa?”
Dan si sulung pun manyun.. :D
Atau ketika menjelang pemilihan legislative 9 April kemarin
si sulung juga bertanya:
“Bunda milih partai apa?”
“Tergantung calon anggota DPRnya nanti. Kalau ada yang Bunda
kenal dan dirasa cocok ya Bunda pilih, apapun partainya.”
Saya tidak pernah berusaha mendoktrin si Sulung bahwa si X
paling hebat, paling baik, paling cocok jadi presiden atau partai anu paling
bagus, partai inu paling hebat, atau juga sebaliknya… si Y paling jahat, tukang
bohong, paling tidak amanah, partai anu paling jelek, partai inu paling korup.
Politik tidak pernah
bersifat objektif. Apalagi saat ini. Maka saya menghindari untuk memberikan
doktrin kepada mereka. Tentunya mereka tidak pernah steril dari input-input
tersebut, dan saya membiarkan mereka memiliki pendapatnya sendiri.
Doktrin adalah musuh dari ruang dialog. Bahkan dalam urusan
agama juga saya menghindar dari memberikan doktrin. Ketika kemudian si Sulung
memutuskan untuk berjilbab di usianya yang baru 11 tahun saya justru memberikan
antitesa-antitesa. Bukan karena saya melarangnya memakai jilbab. Itu saya
lakukan agar keinginannya itu benar-benar tumbuh dan muncul dari pemikirannya
sendiri, dan telah melewati proses dialektika. Jika keputusannya itu muncul
dari pemikirannya setelah melewati proses tersebut, maka kelak ia akan teguh
dengan keputusan dan pemikirannya itu. Bagi saya sendiri agama sesungguhnya
bukan sebuah doktrin. Segala sesuatu dalam agama bisa didialogkan. Dan dialog
ini adalah sebuah proses yang sangat dihargai dalam agama saya. Allah SWT menyuruh
kita untuk selalu merenung dan berpikir. Maka dari itu, tumbuhkanlah
ruang-ruang dialog dalam pemikiran anak-anak kita. Insha Allah, jika mereka
sudah benar-benar terlatih, sedikit hilang kekhawatiran kita ketika harus
melepaskan mereka dalam bersosialisasi di lingkungannya.
Semoga…
betewe kok dipanggilnya "nda" sih, mak? kalo BUN, dikira BUNTELAN ya? (((berikan aku antitesa, Nda)))
BalasHapusKarena e karena.. nda itu lebih romantis. karena.. e karena.. yg lebih dulu memanggil Nda itu ya Abangnda. Romantis kaannnn??? kannnnn??? kaaaannn???
BalasHapus