Langsung ke konten utama

KENYANG NYOBLOS



Sesungguhnya masa-masa pemilu adalah..

Masa ketika calon-calon pemimpin itu memperlihatkan wajah yang sesungguhnya.
Yang berlagak gagah jadi lebay,
yang berlagak alim jadi culas,
yang berlagak merakyat jadi memprovokasi
yang berlagak pintar jadi bodoh.

Masa ketika para ulama dan cendekiawan melelang hartanya yang paling berharga
yang seharusnya menyejukkan malah menyiram bensin,
yang seharusnya meluruskan logika malah membelokkan.

Masa ketika para pendukung saling menjelekkan dan saling menjatuhkan,
tidak peduli menjual agama,
tidak peduli menjual intelektual,
tidak peduli menjual nurani.

Mual rasa orang-orang yang menonton dari balik aquarium itu.

Tetapi meskipun mereka saling menyerang, ternyata ada satu hal yang membuat mereka bersatu.
Satu hal itu adalah golput.
Golongan putih.
Hanya di masa pemilu golongan putih inilah yang menjadi musuh bersama.
Golongan putus asa katanya.
Golongan apatis katanya.
Golongan egois katanya.

"Di mana ya beli tinta pemilu? minder kalau besok nggak ada tanda ungunya"
Demikian seorang kawan.

Lalu satu ketika seorang kakek memanggul bayam dan daun singkong berjalan menjajakan hasil kebunnya
"Ikut nyoblos besok, Ki?"
Si Aki hanya tersenyum.
"Ikut nyoblos besok, Ki?" ulangku.Si Aki hanya tersenyum.
"Kenapa nggak mau nyoblos Ki?"
"Sudah kenyang nyoblos, sejak nyoblos pertama"

Kenyang nyoblos kata si Aki.
Aku tak perlu bertanya lagi pada si Aki, bukan?
Kenyang nyoblos tapi perut tak pernah kenyang.
Sejak pemilu pertama.
Aku tak perlu berkata lagi "tapi sekarang ada harapan baru, Ki"
Tentu si Aki akan menjawab: "sudah kenyang"
ya... aku paham itu: kenyang harapan.

Aku tak perlu memusuhi si Aki.
Malu aku menudingkan telunjukku padanya sambil berkata: Golongan Putus Harapan!
Jika ia putus harapan, ia tak akan bercucuran keringat menjajakan bayam dan daun singkong.
Malu aku menudingkan telunjukku padanya sambil berkata: Golongan Apatis, Golongan Egois!
Jika si Aki apatis, jika si Aki egois, ia tak akan kenyang nyoblos, tak akan kenyang harapan.
Tudingan telunjukku hanya akan menambah kenyang yang lain bagi Aki: kenyang luka.
Bukan memberikan kenyang perut.
Bayam, Singkong yang dijajakannya, adalah jawaban dari kenyang nyoblos, jawaban dari kenyang harapan.

Bagaimana aku bisa menudingkan telunjukku pada si Aki?
Malu aku..
Sedangkan aku tak bisa memberikan kenyang perut untuknya.
Dia yang memberikan aku sumbangan rasa kenyang: kenyang asam garamnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hindari Berbohong dalam Berpolitik: INDEKS KORUPSI PARTAI POLITIK VERSI KPK WATCH: QUALIFIED ATAU ABAL-ABAL?

Akhir-akhir ini banyak beredar di dunia maya Indeks Korupsi Partai Politik yang dibuat oleh semacam lembaga (entah lembaga resmi, entah lembaga dadakan)dengan nama KPK Watch sebagai berikut di bawah. Bagaimana metode perhitungan Indeks Korupsi Partai Politik versi KPK Watch ini? KPK Watch mengambil data jumlah koruptor selama periode 2002-2014 dari laman ICW. Setelah diperoleh angka jumlah koruptor, KPK Watch membagi angka tersebut dengan jumlah suara yang diperoleh pada pemilu 2009. Maka didapatlah angka Indeks Korupsi Partai Politik yang kemudian dipublikasikan via social media. Tentu saja publikasi ini tidak melewati publikasi media cetak dan media elektronik. Mengapa? Entahlah.. kita tidak akan membahas itu. Kita hanya akan membahas bagaimana metoda perhitungan KPK Watch ini dan apa pengaruhnya pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 ini. Tapi mungkin dari pembahasan ini kita akan paham kenapa Indeks Korupsi Partai Politik yang dikeluarkan KPK Watch ti

Halloooo Indaah :)

Hallo Indah dan semua kawan yang bertanya tentang ulasan saya mengenai Data KPK Watch di Kompasiana ( http://politik.kompasiana.com/2014/04/03/analisa-sederhana-kejanggalan-data-kpkwatch-644252.html ). Sebetulnya saya merasa sangat tidak perlu membuat tulisan ini lagi. Karena jawaban atas tulisan Indah sudah sangat jelas di ulasan saya tersebut. Tapi mungkin Indah dan beberapa kawan yang lain belum bisa memahami kalau saya tidak menerangkannya secara grafis serta dengan contoh-contoh sederhana lainnya. Juga karena saran beberapa kawan ya pada akhirnya saya buat juga. Karena saya bukan anggota Kompasiana, maka saya tidak bisa memberikan komentar di tulisan Indah tsb. Mohon maaf kalau saya menjelaskannya dengan soal cerita matematika sederhana kelas 6 SD. Tidak bermaksud merendahkan dan menyamakan taraf pemahaman dengan anak kelas 6 SD, tapi memang ilmu statistik yang saya gunakan bukan ilmu statistik yang rumit, hanya ilmu statistik sederhana dan perbandingan sederhana yang ada di pel

SEBUAH PABRIK BERNAMA UJIAN NASIONAL

Pagi itu saya sangat terkejut membaca sebuah berita di dunia maya. Wawancara Wakil Menteri Pendidikan mengenai Ujian Nasional yang saya baca di sini membuat saya terpukul: "Percayalah, kalau tidak diberi ujian, yakin saya sekolah itu tidak akan menerapkan proses belajar. Coba bayangkan Indonesia tidak ada semangat untuk belajar. Untung ada UN, mereka jadi belajar." Pernyataan ini membuat saya bertanya-tanya. Bagaimana bisa seorang Wakil Menteri Pendidikan berbicara seperti ini? Apakah ini didasari pengalaman pribadi Sang Profesor? Sehingga Wamen merasa sangat pesimis dengan berlangsungnya proses belajar di sekolah? Mungkin banyak pertanyaan di masyarakat: "apa sih yang salah dengan UN?" atau "perasaan jaman dulu Ujian nggak ribut-ribut seperti ini". Sungguh pada awalnya saya juga merasa heran, apa yang salah dengan UN? toh jaman dulu ini tidak ada masalah? Pada awalnya saya pernah menyatakan: Tidak ada yang salah dengan UN dan saya mendukung ad