Langsung ke konten utama

Hindari Berbohong dalam Berpolitik: INDEKS KORUPSI PARTAI POLITIK VERSI KPK WATCH: QUALIFIED ATAU ABAL-ABAL?



Akhir-akhir ini banyak beredar di dunia maya Indeks Korupsi Partai Politik yang dibuat oleh semacam lembaga (entah lembaga resmi, entah lembaga dadakan)dengan nama KPK Watch sebagai berikut di bawah.




Bagaimana metode perhitungan Indeks Korupsi Partai Politik versi KPK Watch ini? KPK Watch mengambil data jumlah koruptor selama periode 2002-2014 dari laman ICW. Setelah diperoleh angka jumlah koruptor, KPK Watch membagi angka tersebut dengan jumlah suara yang diperoleh pada pemilu 2009. Maka didapatlah angka Indeks Korupsi Partai Politik yang kemudian dipublikasikan via social media. Tentu saja publikasi ini tidak melewati publikasi media cetak dan media elektronik. Mengapa? Entahlah.. kita tidak akan membahas itu. Kita hanya akan membahas bagaimana metoda perhitungan KPK Watch ini dan apa pengaruhnya pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 ini. Tapi mungkin dari pembahasan ini kita akan paham kenapa Indeks Korupsi Partai Politik yang dikeluarkan KPK Watch tidak dirilis di media cetak atau media elektronik.


Apakah Anda melihat ada yang aneh dari perhitungan Indeks Korupsi Partai Politik yang dikeluarkan oleh KPK Watch di atas? Coba perhatikan. Data yang diambil adalah jumlah Koruptor Parpol dari tahun 2002-2014. Sedangkan angka pembanding yang digunakan adalah jumlah suara di Pemilu 2009. Padahal dari periode 2002-2014 tersebut ada 2 kali pemilihan anggota legislatif yaitu tahun 2004 dan 2009. Koruptor yang tertangkap di tahun 2002-2004 adalah anggota legislatif yang melewati proses pileg tahun 1999. Koruptor yang tertangkap antara tahun 2004-2009 adalah anggota legislatif yang melewati proses pileg tahun 2004. Dan Koruptor yang tertangkap antara tahun 2009-2014 adalah anggota legislatif yang melewati proses pileg tahun 2009. Sedangkan -sekali lagi- angka indeks diperoleh dengan mengakumulasikan jumlah koruptor sejak tahun 2002-2014 lalu membandingkannya dengan jumlah suara pada pileg tahun 2009 saja. Tentu saja ini sangat absurd. Jika ingin membandingkan dengan jumlah suara pada pileg tahun 2009, seharusnya data jumlah koruptor yang digunakan adalah selama masa 2009-2014, bukan akumulasi dari tahun 2002-2014. Harus menjadi pertanyaan bagi kita semua mengapa KPK Watch mengambil data akumulasi dari tahun 2002-2014 dan membandingkannya dengan (hanya) jumlah suara tahun 2009? Apakah murni hanya karena ketidakpahaman dalam metode perhitungan saja? 

Hal yang aneh lainnya adalah jika kita melihat detail data jumlah koruptor pada partai politik tersebut. Kita ambil contoh data koruptor dari partai Hanura:



Dari gambar di atas terungkap bahwa koruptor yang dimasukkan ke dalam sistem perhitungan dan dibagi dengan angka pembanding (jumlah perolehan suara partai pada pemilu 2009) tidak hanya anggota legislatif saja, Bupati dan mantan Kades juga dimasukkan ke dalam angka ini. Tentu ini lebih absurd lagi. Bagaimana bisa Bupati dan Mantan Kades yang perolehan suaranya tidak diperoleh dari pemilu legislatif 2009 dimasukkan ke dalam perhitungan dan diproses dengan angka pembanding suara partai dari pemilu legislatif 2009?

Contoh data koruptor yang dirilis oleh KPK Watch kita ambil dari partai Golkar:



Selain Bupati, mantan Kades yang dimasukkan ke dalam data ini ada juga Ketua MK, Caleg dan 'Gunung Kidul'. Dua jabatan yang terakhir ini sangat tidak jelas maksudnya. Apakah caleg yang ikut pileg namun gagal memperoleh kursi sebagai anggota legislatif? Lebih tidak jelas lagi dengan jabatan 'Gunung Kidul'. Jabatan Gunung Kidul ini masuk ke dalam pemilu yang mana? Pileg? Pilpres? Pilkada? atau Pilkades?
Keanehan-keanehan membuat metoda perhitungan dari KPK Watch sangat tidak pantas untuk diproses lebih lanjut, apalagi jika dijadikan bahan untuk menilai indeks korupsi sebuah partai. Cara perhitungan ini mengandung kesalahan sistemik yang menimbulkan rambatan kesalahan terhadap KESIMPULAN yang dibuat.
Lalu jika seandainya pun angka indeks korupsi ini tidak absurd, dan menggunakan metoda penghitungan yang benar, bagaimanakah pengaruhnya terhadap pemilu legislatif 2014? 

Sejak tahun 1955-1999 Pemilu Legislatif di Indonesia menggunakan sistem proporsional tertutup. Pada model pemilu seperti ini masyarakat hanya memilih tanda gambar partai saja. Anggota legislatif akan ditentukan oleh partai berdasarkan jumlah perolehan suara partai. Tahun 2004 Indonesia menerapkan pemilu legislatif proporsional semi terbuka. Di sini masyarakat tidak memilih partainya tetapi memilih calon-calon legislatif. Hanya saja model ini tidak 100% terbuka karena nomor urut caleg masih sangat menentukan berhasil atau tidaknya orang atau caleg tersebut memperoleh kursi.
 

Mulai tahun 2009 Pemilu Legislatif di Indonesia sudah menerapkan pemilu proporsional terbuka 100%. Masyarakat memilih caleg sesuai dengan keinginannya. Data-data caleg dibuka untuk masyarakat umum. Nomor urut caleg tidak menentukan perolehan kursi. Semua caleg baik nomor urut atas ataupun bawah mendapat peluang yang sama terhadap perolehan kursi. Maka sistem proporsional terbuka ini dinilai banyak kalangan sebagai sistem pemilu yang paling ideal. Masyarakat tidak lagi membeli kucing dalam karung. Mereka menentukan sendiri siapa caleg yang akan mewakili aspirasi mereka nantinya.

Kalau saat ini yang digunakan adalah pemilu dengan sistem proporsional terbuka, maka Indeks korupsi Partai Politik yang dibuat oleh KPK Watch di atas tidak bisa disangkutpautkan terhadap partai politik JIKA korupsi tersebut dilakukan secara individual. Karena yang dipilih oleh masyarakat adalah anggota legislatifnya, bukan partainya. Pada korupsi yang dilakukan secara individual, Partai tidak memiliki peran terhadap kasus-kasus tersebut. Jika demikian adanya, kalau masyarakat menilai bahwa anggota parlemen yang sebelumnya adalah politisi busuk dan korup, maka pilihlah caleg2 baru yang berkualitas, apapun partainya untuk menggantikan politisi2 lama yang busuk.. yang absensi kehadiran rapatnya saja dikorupsi.

Akan sangat berbeda permasalahannya jika korupsi dilakukan secara sistematis oleh partai, bukan individual. Pada korupsi yang berlangsung secara sistematis oleh partai, bagaimanapun kualitas seorang caleg, jika ia berhasil mendapat kursi maka kemungkinan ia melakukan korupsi menjadi besar. Karena korupsi sudah tersistimatis dalam partai tersebut. Jika demikian maka Indeks Korupsi di atas dapat disangkutpautkan terhadap partai politik

Namun, pembahasan ini bukan berniat untuk memunculkan peran mana yang lebih dominan dalam kasus korupsi. Apakah sebagai organisasi/sistem atau individual, karena pada dasarnya sistem dan individu harus sama-sama memiliki akuntabilitas dan transparansi dalam penyelenggaraannya.  

Dua hal yang bisa kita simpulkan dari pembahasan system pemilu legislatif saat ini dan hubungannya dengan Indeks Korupsi Partai Politik yang dikeluarkan oleh KPK Watch di atas adalah:

  1.  Indeks Korupsi Partai Politik versi KPK Watch tersebut telah menggiring persepsi masyarakat untuk kembali kepada metoda pemilu model proporsional tertutup di mana masyarakat memilih Partai Politiknya, bukan calon anggota legislatifnya.
  2. Karena Angka Indeks Korupsi hanya bisa disangkutpautkan terhadap Partai Politik jika korupsi dilakukan secara sistematis oleh partai tersebut (bukan dilakukan secara individual), maka faktor ini harus dimasukkan pada metoda penghitungan Angka Indeks Korupsi tersebut. Harus dilakukan pembobotan terhadap bagaimana tersistimatisnya korupsi tersebut berlangsung di dalam partai, apakah terkait pada partai atau tidak dan bagaimana peran pelaku korupsi di partai. Tentu saja jika ketua partai yang melakukan korupsi maka kemungkinan korupsi dilakukan secara sistematis akan menjadi lebih besar daripada jika hanya kader partai yang melakukan korupsi.
Lalu jika demikian apa kepentingannya Indeks Korupsi Partai Politik tersebut dikeluarkan? Karena pemilu legislative saat ini menggunakan sistem proporsional terbuka maka Indeks Korupsi Parpol yang dikeluarkan oleh KPK Watch tersebut bukan bertujuan untuk mencegah politisi-politisi busuk masuk ke dalam lembaga legislatif. Jika ingin mencegah politisi-politisi seperti itu masuk lembaga legislatif, yang dikupas tentunya bukan partainya, tapi caleg-caleg yang bermasalah dari partai tersebut. 


Karena Indeks tersebut memiliki metoda penilaian yang absurd saya pun hanya bisa meraba-raba apa kepentingan dibalik dikeluarkannya indeks tersebut. Apalagi dengan peringatan “waspadai partai di atas indeks 1.5”. Darimana angka indeks 1.5 itu diperoleh semakin membuat penilaian ini menjadi lebih absurd dan membuat kita bisa membaca apa kepentingan di balik dikeluarkannya penilaian absurd ini. Dari sini, harus menjadi pertanyaan kritis bagi kita semua: apakah lembaga KPK Watch ini adalah lembaga yang qualified ataukah lembaga abal-abal yang dibuat dengan kepentingan tertentu?


Tapi apapun itu mulailah kita berpolitik dengan dasar yang bener bukan berbohong.

Notes:
1. Sebagai jawaban atas tanggapan posting ini di Kompasiana, silakan membaca jawaban saya di blog ini: Hallooo Indah

2. Untuk tambahan referensi jika ingin mengetahui bagaimana mengukur indeks korupsi parpol secara teori silakan dibaca juga link berikut: Mengukur Indeks Partai Terkorup

 


Komentar

  1. Halo Novi, thanks atas analisanya yang kritis. Bolehkah saya memperoleh link langsung ke web page nya? maksud saya link ke data-data yang kamu unggah ke sini..
    thanks alot!

    BalasHapus
  2. Hai Naila, seperti yang saya ungkapkan di atas, KPK Watch ini tidak merilis data2nya di media cetak maupun elektronik. Mereka cuman merilis data di social media. Untuk linknya silakan cek di twitter dengan akun: @KPKwatch_RI
    Thanks ya udah mampir :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. OK, I got it! Walaupun telah membaca berbagai komen dibawah, saya tetap setuju dengan pendapatmu kalo memang analisanya sangat tidak meyakinkan bahkan mendekati yang kamu bilang: abal abal. Hanya saja saya mungkin akan lebih berhati-hati untuk mengambil kesimpulan tentang apakah niat terselubung dibalik analisa ini, oleh siapa dan untuk apa... I mean kita perlu lebih banyak data untuk membuktikan klaim yang terakhir ini. Anyways, aku suka analisanya... keep posting ya...

      Hapus
    2. maaf mba novi saya bukan pro sana kontra sini...sebenarnya pikiran politik saya sama dengan mba, cuma statistik diatas itu hoax dan sudah ditanggapi jg oleh ICW bahwa itu Hoax..

      sumber : http://forum.detik.com/mengungkap-hoax-jumlah-koruptor-partai-ala-kpkwatch-ri-t908776.html

      Hapus
    3. Halo Adhy, iya... tulisan ini juga sudah lama sebenarnya. Terima kasih ya sudah mau mampir :)

      Hapus
  3. maaf mbak,minta izin berpendapat

    1.yang saya tahu,sejak awal KPK watch tidak pernah menyatakan dirinya perwakilan ICW..tapi mengambil data dari website ICW
    2.bukankah meski tanpa pembagian jumlah suara, sudah jelas perbedaan garfik perbandingan korupsi tersebut dengan membandingkan jumlah
    3.pembagian dengan suara tahun 2009 saya rasa sah saja. dikarenakan anggota dewan tidak berubah banyak sejak bebeapa pemilu (ini pendapat saya)
    4.kalaupun dianggap tidak sah,bukankah tugas partai untuk melakukan pembinaan kadernya.partai tidak bisa cuci tangan dari perilaku kadernya yang korupsi.dan partai yang kadernya korupsi harus dihukum melalui mekanisme kotak suara
    5.saya rasa informasi seperti ini yang dibutuhkan masyarakat agar pilihan tepat dan membuat jera parpol yang politisinya korup..

    demikian

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo Anak Panah yang Terbang Melesat, silakan dibaca kembali tulisan saya dengan cermat. Saya tidak menyebutkan KPK-Watch adalah perwakilan ICW karena ICW tidak mungkin mengeluarkan data dengan kualitas seperti itu. Mengenai metode pengolahan data dan pengambilan data, kalau Anda tidak yakin silakan Anda tanyakan kepada ahli statistik pendapatnya mengenai data dan pengolahan data yg dikeluarkan KPK-Watch ya..
      Terima kasih :)

      Hapus
  4. kalo sy simple ...

    Jika data yg di sajikan @KPKWatch_RI ini absurd .. dusta .. bohong.

    lalu yg benar itu yg MANA ???? ..

    jangan lupa ...
    Andi Arief sudah memposting juga siapa PARTAI JUARA KORUPSI.
    juga ...
    MetroTV ... juga sudah mempublikasikan siapa PARTAI JUARA KORUPSI.

    tohhhh ini merupakan tolak ukur konstituent untuk menentukan sejauh mana partai yg di pilihnya bersih dari KORUPSI.

    satu lagi ...

    # jangan sampai pula media mainstream MENDUSTAKAN siapa PARTAI JUARA KORUPSI yg sesungguhnya ...

    pisss !

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai Jojo, tulisan saya tidak untuk mengkomparasikan partai-partai tetapi mengupas cara-cara pemrosesan data yang dilakukan KPK-Watch yang ternyata sangat tidak bisa digunakan.
      Tulisan ini juga untuk memberi masukan kepada partai2 maupun timsesnya agar tidak menggiring persepsi masyarakat untuk mundur kembali ke belakang ke pemilu dengan model sistem proporsional tertutup. Karena model tersebut tidak memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Bantu masyarakat agar tetap memilih calegnya, dari manapun partainya. Agar elit partai kelak hanya akan memasukkan caleg-caleg yang berkualitas.
      Terima kasih :)

      Hapus
    2. Mba Novi, mohon pencerahannya. Apabila Caleg-caleg berkualitas bisa memimpin tapi sistemnya bokbrok (DPR yang diisi oleh Partai pendukung), bukankah tetap tidak akan jalan dalam sistem demokrasi yang dianut sekarang? Contoh kasus Bu Risma Walkot SBY. Sehingga apa bila sistem lemah, maka akan melemahkan para caleg berkualitas, atau para pemimpin nantinya, karena siapapun sosok atau figurnya harus ikut sistem.

      Sehingga menurut saya pribadi dengan mengacu/mengidolakan figur personal akan lebih cepat membuat kita kecewa, karena sesungguhnya "Personal" tidak bisa apa-apa apabila Partai sudah memutuskan (dalam sistem yang kita anut).

      Hapus
    3. Halo Hilfans, justru kasus Bu Risma memperlihatkan bahwa figur personal-lah yang mempengaruhi partai bukan? hehhe.. demikian juga waktu Jokowi masih menjadi walikota Solo yang bersitegang dengan Gubernurnya yang juga berasal dari 1 partai. Bu Risma tetap maju, Jokowi juga tetap maju. Kenapa? karena sekarang jamannya sudah terbuka. Informasi begitu mudahnya menyebar. Kekuatan penekan yang utama adalah kekuatan rakyat. Bukan partai. Rakyat membela Bu Risma sebagai walikota Surabaya, Rakyat juga membela Jokowi sebagai walikota Solo. Partai akhirnya manut pada mereka berdua karena ada tekanan dari rakyat. Kalau partai tetap melawan Risma, atau Jokowi wah... bisa hancur itu. Begitu juga dengan Aceng Fikri sebagai Bupati Garut. Karena tekanan rakyat maka beliau mundur. Bahkan yang lebih besar dan lebih sulit lagi, dari sistem yang jauh lebih kuat: Soeharto. Bisa diturunkan karena tekanan rakyat. Itulah satu kelebihan demokrasi. Rakyat yang memegang kekuasaan. Sistem apapun, seburuk apapun akan runtuh jika kesadaran rakyatnya sudah muncul. Jadi yang harus kita lakukan adalah terus memberikan pendidikan politik bagi rakyat. Partai politik bukan apa2 jika dibandingkan dengan tekanan rakyat :)

      Hapus
    4. Lho bu Risma khan hampir dilengserkan oleh semua fraksi kecuali fraksi PKS, namun karena mau pemilu ga jadi dech demi suara rakyat.
      Kalo menurut saya media mainstreamlah yg mengaduk2 opini masyarakat. Sebelum capresan jokowi media sepakat mendukung jokowi tanpa ada kritikan sedikitpun.
      Nah begitu capresan jokowi, media pecah kongsi, sehingga masing2 saling membuka borok capres lawan

      Hapus
  5. ^ partai itu kan lembaganya, klo kinerja caleg/individu siapa yang tau?

    analogi yg lain, Departemen terkorup itu Depkeu (datanya saya lupa dpt dmn, mungkin bisa di google terlebih dahulu), lantas apakah semua orang2 di depkeu korup semua? tidak ada yg jujur?tidak ada yg bersih?

    klo saya sendiri sih netral, dan inshaa Allah ntr pemilu tidak golput. saya mencoblos yang menurut saya terbaik (at least menurut saya dan keluarga kecil saya).

    saya hanya benci kepada kader-kader partai (termasuk beberapa teman kuliah saya), yg kerjaannya hanya posting antara 1. kehebatan partainya (dibandingkan dengan partai lain), dan 2. mengangkat kejelekan partai lain (tanpa melihat kesalahan dari partainya).

    bagi saya kader-kader ini hanya lah seonggok batu pijakan buat para elit-elit partainya. IDEALISME kader terkadang tidak satu jalan dengan KEPUTUSAN elit-elit partai, sehingga mimpi-mimpi para kader hanya sebatas FATAMORGANA semata.

    berita terakhir yang saya baca, partai sapi ingin mengajukan cawapres kepada partai banteng. Lalu bagaimana nasib para haters (terutama kader partai sapi) gubernur J, ketika hal ini menjadi kenyataan? berubah menjadi fanboys/fangirls si J?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo Zvous, pemilu 2014 ini adalah pemilu dengan sistem proporsional terbuka. Meskipun ada kekurangan karena kader partai saling bersaing, tetapi sistem pemilu seperti ini dianggap yang paling ideal. Masyarakat harus terus diarahkan dan dilatih pada sistem ini dengan cara diajak untuk melihat track record caleg-caleg di daerahnya. Dengan demikan partai-partai akan terdorong untuk memunculkan caleg-caleg terbaiknya. Dari sini kita berharap ke depan Parlemen akan diisi oleh orang2 berkualitas.

      Seperti yang Zvous ungkapkan, kalau masyarakat diarahkan kembali ke masa lalu untuk memilih partainya, maka caleg2 yang berkualitas malah bisa terhambat untuk masuk DPR. Sayangnya orang2 partai tidak menyadari hal ini malah lebih mengedepankan ambisinya masing-masing.
      Terima kasih sudah mampir :)

      Hapus
  6. Analisanya bagus sekali mb Novi, hanya saja analisa ini tidak akan berpengaruh sedikitpun kepada yg menerbitkan index ini. Ini memang dibuat semata mata sebagai alat propaganda untuk pemenangan par tai, dengan asumsi seluruh penduduk nusantara ini adalah bodoh.
    Maka sekarang yg terbaik adalah menyadarkan rakyat kebanyakan, terutama rakyat kecil, untuk sampai kepada pemikiran bahwa ada atau tidak ada pemilu bukan yang menentukan dan bukan bagian terpenting bagi kehidupan mereka. Analisa ini barangkali salah satu bentuk penyadaran itu.

    Salam satu jiwa
    S. Azzam

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai Azzam, pesan utama dari tulisan ini adalah hati2 bermain2 dengan statistik. Saya prihatin sekali kalau itu dilakukan seolah-olah research ilmiah. Namanya bunuh diri intelektual... hehehee... kalau intelektual sudah melakukan hal-hal seperti ini, kemana lagi orang-orang yang terpinggirkan harus percaya? Terima kasih :)

      Hapus
  7. Mbak, @KPKwatch_ID ini bukan akun resmi kpk. Dan data ini sudah dinyatakan hoax oleh ICW. Boleh tengok akun reami ICW ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo Imelda, ya ketika saya menulis ini saya sangat paham bahwa baik ICW maupun KPK tidak mungkin membuat data seperti ini. Karena saya tau orang2 di kedua lembaga tersebut adalah orang2 yang sangat mengerti statistik. Meskipun saya menyayangkan kenapa ICW hanya membantah di social media saja. Karena logo ICW juga dicantumkan dan masyarakat banyak yang salah sangka bahwa itu adalah ICW. Maka di tulisan di atas saya tidak pernah menyebut KPK-Watch adalah ICW ataupun KPK. Terima kasih ya sudah mampir :)

      Hapus
  8. Nice post,
    sepertinya kalau bukan lembaga resmi yang merilis indeks korupsi kurang meyakinkan, kalau bisa kita dukung KPK sebagai lembaga resmi pemberantas korupsi untuk menerbitkan laporan yang valid sebelum pemilu dilaksanakan, terlepas dari sistem pemilu yang ada sekarang, kontrol aleg tetap ada di partai, indeks ini penting supaya semua partai mawas diri dan mampu menentramkan konsituen yang akan memilih nanti
    Klik link PETISI ini : https://www.change.org/id/petisi/abraham-samad-kpk-harus-keluarkan-indeks-korupsi-parpol-sebelum-pemilu-2014#

    BalasHapus
  9. Maaf,,,bukan apa2 loh yaa...cuma saya mau minta pendapatnya tentang tulisan di forum ini:

    http://www.kaskus.co.id/thread/5321a9cb59cb171c548b457a/daftar-partai-pelaku-korupsi-siapakah-juaranya/

    terimakasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hallo Azzam, maaf salah baca.. hehee.. monggo.. silakan. Siapapun bisa mengeluarkan data asal data tersebut bisa dipertanggungjawabkan dan benar2 berdiri di atas kebenaran ilmiah, bukan kepentingan. Kita bisa lihat data yg dikeluarkan oleh Andi Arief, MetroTV dan KPK Watch berbeda. Terima kasih :)

      Hapus
    2. Note: Yang saya maksud di komen di atas data yang PUKAT FH-UGM yaaa.. kalau postingan yang dikeluarkan KPK-Watch di awal postingan kaskus itu, tulisan saya di atas adalah jawabannya :)

      Hapus
  10. Apapaun analisa anda, apa yg dilkukan KPK Watch adalah wujud usaha penyadaran kpd masyarakat agar tidak salah pilih, krn saat ini terjadi ironi , partai paling Korup pdip menurut survey malah elektabilitas paling tinggi, jika demikian harapan rakyat mendambakan wakil rakyat bersih hanya mimpi, satu lagi ini juga terjadi karena KPK sebagai lembaga yg berwenang tidak berani mempublish index korupsi partai secara resmi....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo Abuzaidan..
      Bagaimana mau memberikan kesadaran bagi masyarakat soal indeks korupsi kalau data yg diambil saja dikorupsi juga? :)

      Hapus
  11. jadi mestinya data yg dipakai 2009-2014, yah? Apa sudah ada yg menghitung? Bagaimana hasilnya? Penasaran ....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai Sulaiman...
      Iya, kalau mau dikomparasikan dgn perolehan suara parpol di pemilu 2009, ya datanya 2009-2014. Tapi koruptornya jangan dimasukin kepala daerah. Kan mereka konstituennya bukan di pemilu 2009. Apalagi caleg yg tdk punya konstituen. Apalagi Kepala Desa... hihihiiii....

      Ada data dari Pukat FH-UGM mungkin bisa jadi masukan. Meskipun kita tdk tahu bagaimana pengolahan datanya. Hanya saja Pukat FH UGM ini lembaga resmi yg bukan anonim seperti KPK-Watch. Karena base-nya UGM, MUNGKIN bs dijadikan cermin saja. Makasih sdh mampir :)

      Hapus
    2. ini sumber lain (mix):
      http://www.kaskus.co.id/thread/5327d3271f0bc3dd138b461c/daftar-partai-terkorup-se-indonesia-raya-jangan-coblos-partai-korupsi/

      juga ini (Metro TV):
      http://www.youtube.com/watch?v=yS2DI6J-oqo

      Agak2 mirip, sih. Yang beda itu yg dari FH UGM. Cuma sayang ga dikasih tau metodenya.

      Hapus
    3. Silakan Anda baca komen2 saya yang lain ya.. agak capek kalau berulang2 terus. Maaf :) Tapi saya harus bilang bahwa yang di Kaskus itu sudah menggunakan kalimat: "Indeks korupsi yg dirilis oleh ICW periode 2002-2014 (www.antikorupsi.org)" ~> sedangkan ICW sudah menyatakan bahwa data KPK-Watch adalah hoax. silakan lihat akun @sahabatICW di twitter. Selanjutnya twit ICW:

      ICW ‏@sahabatICW Mar 28

      Bagi yg bingung apakah suatu data valid atau tdk, coba baca ini: http://novi-ratnanoviasari.blogspot.com/2014/03/indeks-korupsi-partai-politik-versi-kpk.html …. Butuh daya kritis & tdk buat yg males mikir, sih.
      Collapse

      Nah, kalau saya sih berprinsip, kalau data yang didapat adalah hoax, berarti sudah tidak bisa dipakai lagi.

      Anda juga dipersilakan apakah ingin mengambil data dari FH UGM atau tidak. Terserah pemikiran Anda. Tapi jika Anda ingin tau metodenya, karena itu adalah lembaga yang jelas di bawah nama Perguruan Tinggi, maka jika Anda menginginkan metodanya, tidak sulit untuk memintanya. Berbeda jika lembanya lembaga abal2, anonim dan tidak jelas. Kita juga kesulitan untuk meminta pertanggungjawabannya.
      Terima kasih :)

      Hapus
  12. data ini memang agak membingungkan mbak.. sy pernah liat di media sosial juga data statistik ini, dr KPK watch juga tetapi partai yang ada di urutan ketiga berbeda dengan data yang mbak cantumkan disini dan juga tidak ada keterangan "waspada indeks diatas 1.5", yang juga sy pertanyakan angka 1.5 ini muncul atas dasar pertimbangan apa..
    sebagai pemilih yg mau menilai partai-partai, ini cukup membuat sy bingung.. tp at least ada pelajaran yg bisa saya ambil: hati-hati ketika disodorkan data statistik apalagi jika muncul dr lembaga (apalagi ini hanya sebuah akun yang -maaf- tidak jelas) yang tidak diakui kredibilitas dan netralitasnya..
    data statistik macam ini banyak digunakan oleh kelompok-kelompok berkepentingan untuk kemenangan di pileg 2014 nanti, cara yang patut disayangkan karena hanya membohongi rakyat.. diluar itu, sy juga sebal pada orang-orang yang kelewat ngotot dengan mengatakan bahwa data ini valid dan mengabaikan kejanggalan-kejanggalan yang muncul dr data ini..
    artikel yang menarik, terimakasih sudah memposting mbak.. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai Larung... di twitter ada 2 akun: @KPKWatch_RI dan @KPK_watch_RI
      Kedua2nya adalah akun anonim yang sama2 menerbitkan indeks korupsi dengan cara mengkorupsi data. Kalau mau mengambil data yang bisa dipertanggungjawabkan, pilihlah lembaga yang juga tidak takut untuk mempertanggungjawabkan hasil rilisnya. lembaga2 seperti adalah lembaga2 yang jelas orang2nya, tidak anonim seperti 2 akun di atas. Lebih baik lagi kalau bisa mengambil data dari lembaga yang beraliansi dengan lembaga pendidikan/perguruan tinggi. Karena bisa dikatakan lebih independen dan lebih ilmiah. Sebagai contoh, silakan googling untuk PUKAT FH-UGM. Terima kasih ya :)

      Hapus
  13. Saya sungguh heran atas keberatan anda atas data KPK watch yang memasukan bupati/kepala daerah dalam data korupsi partai. Kalau bupati/kepala daerah itu memang kader partai yang bersangkutan, bukannya memang semestinya dimasukkan dalam daftar koruptor partai tersebut ? Kenapa anda "membonsai" dengan menganggap hanya koruptor dari legislatiflah yang layak dimasukkan ke daftar koruptor partai ? Menurut saya justru logika anda ini yang absurd. Buat saya selama koruptor itu adalah kader partai, maka dia layak dimasukkan dalam daftar koruptor partai yang bersangkutan, apakah dia dari legislatif, eksekutif ataupun yudikatif.

    Dan saya tidak melihat publikasi KPK watch tersebut sebagai upaya menggiring opini publik untuk kembali ke sistem proporsional tertutup. Sama seperti rilis korupsi partai yang lain seperti rilis Andi Arief, Metro TV, ICW dan PUKAT UGM. Semua rilis korupsi partai ini sejatinya untuk menunjukkan sebaik apakah PENGENDALIAN MUTU dari partai yang bersangkutan. Kalau jumlah koruptornya banyak, bisa dipastikan pengendalian mutu dari partai tersebut sangat buruk, mulai dari rekruitmen kader sampai pembinaan internal. Jadi argumen anda yang menghubung2kan indeks korupsi dengan "opini publik untuk kembali ke sistem proporsional tertutup" adalah mengada ada dan absurd.

    Bagaimana dengan indeks korupsi KPK watch itu sendiri ? Menurut saya ini sekedar indeks kasar, untuk memasukkan faktor besar kecilnya partai. Karena kalau yang ditampilkan hanya jumlah nominal koruptor saja, maka partai2 besar bisa "ngeles" bikin alasan : wajar saja jumlah koruptornya banyak, karena kader kami juga banyak di pemerintahan. Makanya dibikin indeks korupsi dengan bilangan pembagi jumlah pemilih tahun 2009, untuk memberikan gambaran kasar "density" koruptor dalam partai tersebut. Bagi yang keberatan dengan gambaran kasar indeks korupsi seperti ini, ya kembali saja ke jumlah nominal koruptor tiap partai, tanpa dibagi bilangan apapun.

    Terakhir, data data koruptor yang dirilis KPK watch itu TERBUKA untuk umum. Sumber datanya dari website ICW, kejaksaan dan polri. Semua orang bisa memvalidasi kebenarannya lewat google. Jadi ini BUKAN HOAX.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo Medy Satria, semua sudah saya jelaskan di atas, silakan dibaca lagi. Metoda pengolahan data yang digunakan KPK Watch adalah membagi jumlah koruptor dengan konstituen/perolehan suara di pemilu 2009. Kalau koruptor kepala daerah dimasukkan dan kemudian dibagi dengan konstituen/perolehan suara di pemilu 2009, secara logika pertanyaannya adalah: si kepala daerah itu pemilihnya lewat pilkada atau lewat pemilu 2009? Jika Anda masih belum paham, silakan Anda bertanya pada ahli statistik tentang ini.

      Mengenai data yang Anda sebut bukan hoax, silakan konfirmasi ke ICW. ICW sendiri sudah menyatakan bahwa data ini hoax. Terima kasih :)

      Hapus
    2. Tujuan KPK watch membagi dengan perolehan suara 2009 itu untuk memberikan GAMBARAN KASAR densitas koruptor per sejuta pemilih. Ini sekedar untuk memperkecil bias, karena kalau yang ditampilkan hanya jumlah nominal koruptor, maka partai2 besar bisa berkilah bahwa wajar saja jumlah koruptor mereka besar karena mereka punya banyak kader di pemerintahan. Tapi tetap saja semua koruptor dari partai yang bersangkutan harus dimasukkan, baik dari legislatif, eksekutif ataupun yudikatif, selama mereka adalah kader dari partai yang bersangkutan. Justru kalau koruptor yang dari eksekutif (seperti kepala daerah) tidak ikut dihitung, yang terjadi malah PEMBOHONGAN PUBLIK. Karena ini sama saja dengan menyembunyikan fakta bahwa ada koruptor partai yang berada dalam posisi eksekutif, tapi karena tidak ikut dihitung maka partainya akan terlihat lebih bersih.

      Jadi sekali lagi, sebagai GAMBARAN KASAR densitas koruptor dalam tiap partai, maka pembagian dengan jumlah suara 2009 adalah sah sah saja. Dan tidak harus koruptornya hanya yang dari legislatif. Semuanya harus dihitung, termasuk yang dari eksekutif dan yudikatif selama mereka adalah kader partai yang bersangkutan.

      Mengenai hoax, ok anda mengikuti pendapat ICW kalau data2 dari KPK watch itu hoax. Jadi anda menganggap data KPK watch itu hoax. Sekarang coba lihat data koruptor rilisnya Andi Arief berikut :

      http://www.rmol.co/read/2014/03/10/146796/Berikut-Nama-nama-Kader-Golkar,-PDIP-dan-PD-yang-Korup-

      --------------------------------------------------------------
      Partai Golkar:
      Jonaidi Syahri, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Seluma Periode 2009-2014; Rusli Zainal, Gubernur Riau; M. Akil Mochtar, Ketua MK; Chairun Nisa, Anggota DPR 2009-2014; M. Faisal Aswan, anggota DPRD Provinsi Riau; TB Aat Syafaat, Walikota Cilegon Periode 2005-2010; Zulkarnaen Djabar, anggota DPR; Prasetia Zulkarnaen Putra, Sekjen MKGR; Amran Batalipu, Bupati Buol; dan Abu Bakar Siddik, anggota DPRD Prov Riau
      Golkar.

      Lalu, Zulfan Heri, anggota DPRD Provinsi Riau; Jefferson SM Rumajar, Walikota Tomohon; Syamsul Arifin, Gubernur Sumatera Utara; Ahmad Hafiz Zawawi, anggota DPR; Marthin Bria Seran, anggota DPR; Paskah Suzetta MH, anggota DPR; Bobby, anggota DPR; Anthony Zeidra Abidin, anggota DPR; Muhammad Nurlif, anggota DPR; dan Asep Ruchimat Sudjana, anggota DPR.

      Berikutnya, Reza Kamarullah, anggota DPR Golkar; Baharuddin Aritonang, anggota DPR Golkar; Hengky Baramuli, anggota DPR; Daniel Tanjung, anggota DPR; Azwar Chesputra,anggota DPR; Fachri Andi Leluasa, anggota DPR; Daeng Rusnadi, mantan Bupati Natuna; Hamka Yandhu, anggota DPR; Suwarna, Gubernur Kalimantan Timur; dan Abubakar Ahmad Bupati Dompu.

      Sjahriel Dahram, Gubernur Kalimantan Selatan; Samsuri Aspar, Wakil BupatiKutai Kartanegara; Dany Setyawan, mantan Gubernur Jawa Barat; Armen Desky, Bupati Aceh Tenggara; Jimmy Rimba Rogi, Bupati Manado; Syaukani HR, Bupati Kutai Kertanegara; Amiruddin Maula, Walikota Makassar; Tengku Azmun Jaafar,
      Bupati Pelalawan; Agus Supriadi, Bupati Garut Golkar; dan Saleh Djasit anggota DPR RI.
      -------------------------------------------------------------------------------------

      Bandingkan dengan data koruptor partai Golkar dari KPK watch yang anda cuplik diatas, ternyata BANYAK KESAMAAN. Andi Arief mendapatkan data tersebut dari KPK. Nah kalau anda menganggap data dari KPKwatch itu hoax, kenapa kok banyak datanya yang VALID, yang sesuai dengan data dari KPK yang dirilis Andi Arief ? Kan ini menunjukkan bahwa tuduhan anda itu ternyata KELIRU. Jadi yang hoax itu bukan data KPKwatch, tapi analisa anda itu yang layak disebut hoax. Menuduh data yang valid sebagai hoax itu sama saja dengan melakukan FITNAH dan PEMBOHONGAN PUBLIK.

      Hapus
    3. Hehehee... monggo Anda baca2 lagi komen2 saya soal data andi arif dsb di page ini, termasuk dari Pukat FH UGM. Monggo juga Anda cek soal perhitungan KPK-Watch ini ke ahli statistik. Ga usah profesor statistik deh, cukup yang lulusan Matematika aja ya. Tapi yang netral ya, yang bener2 berdiri di atas kebenaran ilmiah, bukan kepentingan politik :) kalau Anda masih bersikukuh data KPK-Watch itu benar, monggo dirilis aja di media cetak dengan mengemukakan diri sebagai lembaga yang bisa dipertanggungjawabkan, bukan akun anonim. Biar bisa dibahas rame2 oleh orang2 statistik.. moga2 aja mereka mau membahasnya ya :)

      Hapus
    4. Ini maksud anda tentang comment anda terhadap data Andi Arief :

      "Hallo Azzam, maaf salah baca.. hehee.. monggo.. silakan. Siapapun bisa mengeluarkan data asal data tersebut bisa dipertanggungjawabkan dan benar2 berdiri di atas kebenaran ilmiah, bukan kepentingan. Kita bisa lihat data yg dikeluarkan oleh Andi Arief, MetroTV dan KPK Watch berbeda. Terima kasih :)"

      Argumen anda diatas ini sama sekali tidak membuktikan kalau data KPK watch itu hoax. Sudah saya tunjukkan bahwa banyak kesamaan antara data Andi Arief dengan data KPK watch. Perbedaannya hanyalah dari segi jumlah, dan ini wajar saja karena Andi Arief hanya mengambil dari KPK, sedangkan KPK_watch lebih luas lagi cakupannya karena juga mengambil data dari kejaksaan & kepolisian. Tapi yang jelas, sebagian besar data koruptor yang dirilis Andi Arief tercakup dalam daftar koruptor KPKwatch. Dari sini saja sudah terbukti bahwa data KPKwatch itu benar2 nyata dan valid, bukan hoax seperti yang anda tuduhkan.

      Dan memangnya kalau yang mengeluarkan data itu akun anonim dan tidak dirilis di media cetak, lantas data itu menjadi hoax ? Sungguh absurd sekali logika anda ini. Memangnya kalau KPK watch merilis Ratu Atut sebagai koruptor dari Golkar, tapi karena KPK watch itu akun anonim, maka rilisnya ini jadi hoax, jadi Ratu Atut menjadi bukan koruptor ? Dengan logika anda yang bengkok seperti ini, maka koruptor2 yang nyata2 korup bisa jadi disebut bukan koruptor hanya karena yang merilis adalah akun anonim. Dan ini sungguh absurd.

      Dan nyatanya, lembaga kredibel seperti Transparansi Internasional malah merujuk kepada rilisnya KPKwatch ini :

      http://www.ti.or.id/index.php/news/2014/02/11/indeks-korupsi-parpol-menyedihkan

      Ini menunjukkan data2 KPK watch ini adalah valid dan dapat dipertanggungjawabkan, sehingga lembaga Transparansi Internasional berani menjadikannya sebagai rujukan.

      Kembali ke masalah penghitungan indeks korupsi, ya kalau mau lebih akurat, bilangan pembaginya adalah jumlah anggota DPR, DPRD I & II dan kepala daerah di seluruh Indonesia dari partai yang bersangkutan. Tapi mendapatkan data2 ini dari seluruh kota di Indonesia jelas tidak mudah, mungkin KPK watch belum punya resource untuk melakukan hal itu. Yang lebih mudah ya dengan bilangan pembagi jumlah perolehan suara nasional tiap partai. Dan sebagai PENDEKATAN KASAR, pembagian seperti ini sah sah saja. Tulisan di tautan ini sudah lebih akurat menghitung indeks korupsi partai, dengan bilangan pembagi hasil pileg 2004 dan 2009:

      http://politik.kompasiana.com/2014/04/03/analisa-sederhana-kejanggalan-data-kpkwatch-644252.html

      Penghitungan indeks korupsi diatas sudah lebih akurat daripada dengan hanya membagi dengan perolehan suara 2009.

      Dan tidak perlu ngeyel harus meng-exclude koruptor yang berjenis kepala daerah dengan alasan bilangan pembaginya adalah suara pemilu legislatif. Justru kalau koruptor yang berjenis kepala daerah itu dinafikan, yang terjadi adalah pembohongan publik, karena sama saja dengan menyembunyikan fakta.

      Hapus
    5. Hehehee... silakan dibaca lagi deh tulisan saya di atas dan komen2nya, kenapa data tersebut saya katakan hoax. Bukan karena akun tersebut akun anonim... hihihiii... kalau soal akun anonim itu menyangkut pertanggungjawabannya. Data KPK Watch merujuk ke ICW. Tapi ICW sendiri sudah menyatakan bahwa data tsb hoax. Monggo silakan ditelusuri akunnya.

      Mengenai tulisan Indah, sudah saya jawab di postingan terbaru saya. Silakan dicek. Tidak sulit kok memahaminya, saya nggak pake ilmu yg rumit. cuman pake ilmu statistika sederhana dan perbandingan sederhana kelas 6 SD. Hanya butuh 1 hal untuk memahaminya: kejujuran. Itu yang sulit. Silakan Anda cari lagi data lain yang lebih bisa dipertanggungjawabkan metoda dan pengolahan datanya, yang juga menempatkan PDIP dan Golkar sebagai partai juara korupsi,.. silakan gunakan saja data yang itu. Jangan data KPK Watch. Terima kasih :)

      Hapus
    6. Oh jadi argumen anda itu begini :

      "Data KPKwatch itu hoax karena ICW mengatakan data itu hoax"

      Argumen anda diatas sama sekali bukan argumen ilmiah. Bahkan itu adalah salah satu bentuk logical fallacy yang disebut dengan "Argument from authority" :

      http://en.wikipedia.org/wiki/Argument_from_authority

      Jadi berhubung ICW adalah institusi yang menurut anda kredibel, maka apapun yang dikatakan ICW anda anggap sebagai kebenaran, alias taqlid buta dengan ICW. Logical fallacy seperti ini sangat mudah dipatahkan. Ambil saja satu koruptor dari partai Golkar yang anda cuplik dari KPKwatch diatas. Nggak usah yang beken2 seperti Akil Mukhtar atau Ratu Atut. Kita ambil koruptor yang tidak beken, misalnya nomor 101 : Sunaryo, wakil walikota Cirebon. Masukkan ke Google dengan keywords "korupsi Sunaryo wakil walikota Cirebon". Langsung didapatkan berita kasus korupsinya sbb:

      http://www.tempo.co/read/news/2011/12/20/058372800/Wakil-Wali-Kota-Cirebon-Dituntut-3-Tahun-Penjara

      Di berita terbaru disebutkan orang ini baru bebas bersyarat setelah dipenjara :

      http://news.detik.com/bandung/read/2014/01/15/173928/2468105/486/mantan-wawali-kota-cirebon-terpidana-korupsi-bebas-bersyarat

      Ini membuktikan bahwa data KPKwatch itu memang benar benar VALID. Nah apakah anda masih mau mengatakan bahwa Sunaryo itu bukan koruptor, karena Sunaryo ada di listnya KPK watch. Sedangkan listnya KPKwatch itu hoax, karena ICW mengatakan hoax ?

      Lihatlah disini bagaimana rendahnya kualitas argumen anda. Pondasinya adalah logical fallacy, yang sama sekali bukan argumen ilmiah, dan mudah sekali ditunjukkan kekeliruannya. Anda menyuruh nyuruh orang lain untuk JUJUR, tapi anda sendiri ternyata tidak melakukan kejujuran ilmiah. Melakukan pembodohan publik, main stempel mengatakan data KPKwatch hoax berdasarkan logical fallacy, yang membuat orang2 (yang bodoh) terseret dengan pembodohan publik yang anda lakukan.

      Mengenai penghitungan indeks korupsi, ya silahkan anda terus berfantasi dengan contoh2 simplistik kelas 6 SD. Saya juga tidak perlu mengulang ulang lagi argumen saya bahwa perhitungan indeks korupsi dengan menggunakan suara nasional hasil pileg sebagai bilangan pembagi adalah sah sebagai pendekatan untuk mengurangi kompleksitas perhitungan. Disini paradigmanya adalah : suara nasional hasil pileg itu adalah ukuran besar kecilnya partai, atau volume sebuah partai. Bukan lagi sekedar penghasil anggota legislatif. Maka untuk mendapatkan sense tentang densitas koruptor di tiap partai, maka sah sah saja menggunakan bilangan pembagi suara nasional pileg ini. Tanpa perlu meng-exclude koruptor2 diluar anggota legislatif. Karena kalau kita meng-exclude koruptor diluar legislatif, yang terjadi adalah penyembunyian fakta dan pembohongan publik.

      Hapus
    7. Hihihiiiii... Anda ini mblunder terus ya.. bolak balik jadinya. Baca lagi aja deh ya tulisan saya di atas. Kenapa rilis KPK Watch ini hoax. Semuanya full lengkap ada di sana. Mosok harus saya copas lagi tulisannya di sini.

      Jawaban saya tidak ilmiah? memang! Saya selalu bilang menjawab komen2 yg lain kalau tulisan ini pun bukan ilmiah. Buat apa menulis ilmiah kalau yang dibahasnya, rilis KPK Watch juga bukan ilmiah. Tidak perlu buang2 energi dengan menggunakan metoda ilmiah untuk mengulasnya. Dengan menggunakan ilmu matematika SD kelas 6 saja sudah keliatan kalau rilis KPK Watch ini salah. Kalau Anda masih belum paham, silakan baca di postingan terbaru saya betapa ilmunya sederhana sekali. Mudah. Yang sulitnya itu adalah kejujuran kita untuk mengakui rilis tsb salah. Itulah yg sulit. Kalau ilmunya sendiri mudah sekali.. kelas 6 SD.

      Kalau Anda masih belum yakin dan bersikukuh ya silakan saja. Saran saya, bawa rilis KPK Watch di atas ke ahli statistik deh. Tapi jangan yg S2 apalagi S3. Kasian mereka energinya terkuras untuk hal yg dangkal ini.

      Karena cuman butuh satu hal saja: kejujuran. Terima kasih :)

      Hapus
    8. Lagi lagi anda cuma haha hihi, sekedar bilang "baca lagi tulisan saya diatas", tanpa sedikitpun menjelaskan bantahan ilmiah anda atas argumen saya. Kalau mau bikin argumen cerdas, ya tunjukkan kalau data2 KPKwatch itu keliru. Apakah itu 100% keliru, 80% keliru. Keliru disini artinya yang ada di list itu ternyata bukan koruptor dari partai yang bersangkutan.

      Anda mengatakan dengan ilmu matematika kelas 6 SD sudah bisa menunjukkan kalau rilis KPK watch itu salah. Ok mari kita bahas soal matematika anda di :

      http://novi-ratnanoviasari.blogspot.de/2014/04/halloooo-indaah.html

      Disitu anda menulis soal cerita tentang partai Upin. Intinya penghitungan indeks korupsi yang menurut anda benar adalah yang menghitung jumlah koruptor hanya dari legislatif saja, tidak memasukkan yang diluar legislatif seperti kepala daerah dll.

      Yang terjadi disini sebenarnya adalah : karena pola pikir anda itu pola pikir anak SD kelas 6, maka anda gagal memahami realitas yang ada. Anda gagal menangkap pesan utama dari dibuatnya indeks korupsi. Apa pesan utama dibuatnya indeks korupsi ? Yaitu melakukan PERBANDINGAN densitas koruptor di berbagai partai, untuk mengetahui partai mana yang terbersih sampai yang terkorup, tanpa bias karena faktor besar kecilnya partai. Nah di contoh anda diatas, anda cuma memodelkan SATU partai, yaitu partai Upin. Bagaimana mau melakukan perbandingan antar partai, kalau yang dimodelkan cuma satu partai ? Dari sini saja sudah terlihat bagaimana absurdnya soal cerita anda itu.

      Untuk memahami persoalan dengan benar, maka anda harus meninggalkan pola pikir anak SD kelas 6. Ini saya kasih contoh model yang mendekati realitas:

      Alkisah di negara X ada 3 partai : A, B dan C. Perolehan suara nasional masing2 partai adalah sbb:

      Partai A : 50000000 (50%)
      Partai B : 30000000 (30%)
      Partai C : 20000000 (20%)
      Total : 100000000 (100%)

      Jumlah kursi DPR yang diperebutkan adalah 500 kursi. Dengan mempertimbangkan distribusi penduduk dan perolehan suara tiap dapil yang tidak sepenuhnya merata, perolehan kursi DPR tiap partai menjadi:

      Partai A : 225 (45%)
      Partai B : 175 (35%)
      Partai C : 100 (20%)
      Total : 500 (100%)

      Negara X mempunyai 10 provinsi. Tiap provinsi ada 10 kota, sehingga jumlah totalnya 100 kota.

      Jumlah kursi DPRD I yang diperebutkan di tiap provinsi rata2 adalah 60 kursi, sehingga jumlah total kursi DPRD I yang diperebutkan adalah 600 kursi. Dengan mempertimbangkan distribusi penduduk, total perolehan kursi DPRD I tiap partai menjadi:

      Partai A : 330 (55%)
      Partai B : 180 (30%)
      Partai C : 90 (15%)
      Total : 600 (100%)

      Jumlah kursi DPRD II yang diperebutkan di tiap kota rata2 adalah 30 kursi, sehingga jumlah total kursi DPRD II yang diperebutkan di seluruh negara X adalah 3000 kursi. Dengan mempertimbangkan distribusi penduduk, total perolehan kursi DPRD II tiap partai menjadi:

      Partai A : 1560 (52%)
      Partai B : 840 (28%)
      Partai C : 600 (20%)
      Total : 3000 (100%)

      Dari hasil pilkada provinsi, jumlah total gubernur dan wakil gubernur di 10 provinsi untuk tiap partai adalah:

      Partai A : 9 (45%)
      Partai B : 6 (30%)
      Partai C : 5 (25%)
      Total : 20 (100%)

      Dari hasil pilkada tingkat kota, jumlah total walikota dan wakil walikota di 100 kota untuk tiap partai adalah:

      Partai A : 104 (52%)
      Partai B : 64 (32%)
      Partai C : 32 (16%)
      Total : 200 (100%)

      Hapus
    9. Dari rekapitulasi diatas, maka jumlah total KADER LEGISLATIF (DPR+DPRD I +DPRD II) untuk tiap partai menjadi :

      Partai A : 2115
      Partai B : 1195
      Partai C : 790

      dan total jumlah KADER EKSEKUTIF (Gubernur+Wakil Gubernur+Walikota+Wakil Walikota) untuk tiap partai adalah:

      Partai A : 113
      Partai B : 70
      Partai C : 37

      Maka jumlah total KADER (LEGISLATIF + EKSEKUTIF) untuk tiap partai menjadi:

      Partai A : 2228
      Partai B : 1265
      Partai C : 827

      Dari kader kader ini, ada sebagian yang menjadi koruptor. Jumlah koruptor tiap partai adalah:

      Partai A : 50 legislatif + 20 eksekutif = 70
      Partai B : 15 legislatif + 10 eksekutif = 25
      Partai C : 15 legislatif + 5 eksekutif = 20

      Sampai disini, kita bisa membuat indeks korupsi tiap partai. Ada dua cara perhitungan.

      Cara pertama adalah berdasarkan jumlah kader, didefinisikan sebagai berikut:

      IKK=(Jumlah koruptor)/(Jumlah kader)*100

      dimana IKK ialah jumlah koruptor per seratus kader. Metode ini adalah yang paling akurat, karena bilangan pembaginya adalah jumlah kader, sehingga satu himpunan (sejenis) dengan koruptornya. Maka IKK tiap partai dari yang terbesar ke yang terkecil adalah:

      1. Partai A : 3.14 (41.69%)
      2. Partai C : 2.42 (32.09%)
      3. Partai B : 1.98 (26.22%)
      Total : 7.54 (100%)

      Bagaimana kalau data detail jumlah kader tiap partai sulit didapat ? Maka dapat dilakukan pendekatan seperti yang dilakukan KPKwatch, yaitu dengan menggunakan jumlah suara nasional pileg sebagai bilangan pembagi:

      IKS = (Jumlah koruptor)/(Jumlah suara nasional pileg)*1000000

      dimana IKS adalah jumlah koruptor per satu juta suara. Maka untuk kasus ini, didapatkan IKS tiap partai sebagai berikut:

      1. Partai A : 1.40 (43.30%)
      2. Partai C : 1.00 (30.93%)
      3. Partai B : 0.83 (25.77%)
      Total : 3.23 (100%)

      Ternyata trend yang didapat dari perhitungan dengan metode IKK ataupun IKS tidak jauh berbeda. Urutan korupsi partainya sama, dan prosentasenya juga tidak jauh berbeda.

      Kesimpulan : metode perhitungan indeks korupsi dengan bilangan pembagi jumlah suara nasional pileg seperti yang dilakukan KPKwatch adalah VALID SECARA STATISTIK.

      Hapus
    10. Bhihihihiuuuu.....
      Jadi dulu waktu SMA saya ngajar les privat anak SMP. Yg dibahas adalah 2x + 2y =? Mereka jawabnya 4xy. Saya bilang bukan, coba 2 kambing + 2sapi jawabannya bukan 4 kambingsapi. Mereka paham, tapi ketika ditanya lagi jawaban dari 2x+2y tetep jawabannya 4xy. Nah Anda itu seperti anak2 SMP itu, ketika balik lagi ke data KPK Watch.. tetep dibilang KPK Watch valid. Mengambil istilah Anda.... taqlid buta pada KPK Watch... hihihiiii.... Makanya saya bilang baca lagi. Dari datanya sendiri kan ada yg data salah tempat. Harusnya masuk ke partai lain dimasukin ke partau lain. Makanya saya bilang baca.. baca...

      Dari penghitungannya..kan di blog terbaru saya memperlihatkan bagaimana metoda penghitungan tidak berdasarkan angka pembagi yang tepat. Membagi dengan jumlah pemilih 2009 saja SECARA DEFINITIF sudah salah karena yg korupsi itu alegnya, bukan pemilihnya. Coba deh belajar ilmu dasar himpunan. Makanya jangan meremehkan ilmu anak SD dan SMP kalau soal ini aja belum bisa memahami... hihihiiiii....

      Nah itu kader yang caleg di KPK Watch masuknya ke mana pembaginya? Kader yang Kepala desa mana pembaginya? Kader yang "Gunung Kidul" mana pembaginya?

      Nah kalau pola pikir saya masih anak SD, dan Anda pola pikir profesor... coba dong jelaskan...? Coba deh Anda periksa... ga usah jauh2... soal pembulatan aja, coba periksa hasil bagi2an data KPK Watch di atas... coba Pak Profesor liat pembulatannya... ini soal anak SD aja... mosok Pak Profesor masih taqlid buta keukeuh bin sumareukeuh bilang data KPK Watch itu bener?? hihihiii...

      Hapus
    11. Oh iya Om Profesor, saya tidak berdebat dalam rangka mencari memang kalah dalam persoalan dunia. Oleh karena itu sebenernya saya malas berdebat dengan model blunder seperti Anda itu. Anda itu cuman manusia, bukan Tuhan. Omongan Anda tentang saya tidak akan berpengaruh buat saya. Jadi saya juga tidak akan berusaha merubah pandangan Anda. Kalau Anda berdebat kusir bin blunder karena ingin pernyataan menang-kalah... monggo saya kasih. Anda menang dan saya kalah. Kalau Anda ingin mengatakan saya tidak ilmiah, pola pikir anak SD... dan Anda cerdas mongho saya terima...
      Kalau Anda ingin bersikukuh bahwa data KPK Watch sangat... sangat valid.... monggo silakan Anda nyatakan itu.

      Yang saya lakukan dengan tulisan ini hanya untuk memberikan pengertian jepada masyarakat supaya lebih kritis, jangan menerima informasi bulat2 )dalam bahasa Anda: taqlid buta). Kasihan mereka kalau dibohongi terus. Biarkan mereka yang menilai sendiri.

      Jadi silakan Anda teruskan sendiri pergulatan bathin dan pemikiran Anda saya pamit mundur dr perdebatan ini. Silakan diboyong semua yg Anda inginkan tsb.
      Mohon maaf jika ada salah2 kata. Terima kasih ya :)

      Hapus
    12. Lho kok gagal paham lagi ? Pake contoh kambing sapi segala. Ok lah untuk kembali memahamkan anda, silahkan memakai lagi pola pikir anak SD tentang teori HIMPUNAN.

      Didefinisikan himpunan KADER partai, yaitu :

      Himpunan KADER = {LEGISLATIF, EKSEKUTIF}

      Ini analogis dengan contoh kambing dan sapi anda yang masuk dalam himpunan BINATANG.

      Ketika saya mengatakan koruptor partai A:

      Partai A : 50 legislatif + 20 eksekutif = 70

      Maka dengan perspektif himpunan KADER diatas menjadi:

      Partai A : 50 KADER + 20 KADER = 70 KADER

      Jadi disini unitnya sudah sama, yaitu KADER.

      Sama saja dengan contoh kambing dan sapi anda:

      2 kambing + 2 sapi = 2 BINATANG + 2 BINATANG = 4 BINATANG

      Jadi disini sudut pandangnya sudah digeser, bukan lagi himpunan sapi atau himpunan kambing, tapi menjadi himpunan BINATANG.

      Ini pelajaran kelas 1 SD lho, semoga anda bisa dengan mudah memahami, nggak gagal paham lagi.

      Mengenai koruptor kok dibagi dengan bilangan pembagi suara pemilih, mari kita analogikan dengan besaran massa jenis (mass density) dalam dunia fisika. Didefinisikan :

      Massa jenis = massa/volume (dalam kg/m^3)

      Saya kira anak SD juga sudah belajar tentang massa jenis ini. Disini orang fisika nggak ribut ribut kenapa massa kok dibaginya dengan volume, padahal ini dua besaran yang berbeda. Kenapa kok massa tidak dibagi dengan massa juga. Karena memang tujuannya adalah mengetahui KERAPATAN atau densitas suatu hal, dalam hal ini adalah kerapatan massa per satuan volume.

      Sama saja dengan indeks korupsi yang membagi koruptor dengan jumlah pemilih. Nggak perlu diributkan kenapa bilangan pembaginya adalah pemilih. Disini sudut pandangnya adalah : jumlah suara pemilih aleg itu analogis dengan VOLUME sebuah partai, yang bisa dijadikan ukuran besar kecilnya sebuah partai. Jadi untuk mengetahui KERAPATAN KORUPTOR tiap partai, sah sah saja menggunakan metode IKS dengan bilangan pembagi jumlah suara pemilih aleg. Analogis dengan massa jenis dalam dunia fisika. Yang penting paham maksudnya, paham satuannya.

      Hapus
    13. Sy setuju dengan metode perhitungan IKK Medya Satria. Rasanya lebih representatif menggambarkan populasi (bilangan pembagi) karena jml semua kader eksekutif & legislatif dimasukkan. Tapi perbandingan simulasi dari metode IKK & IKS itu hasil trendnya sama apa sebuah kebetulan atau sengaja ya? Sy malah lebih prefer ke IKK. Perhitungan KPK Watch kalo begitu belum sempurna juga ya karena masih memasukkan kasus korupsi kepala desa dan anggota DPD

      Hapus
    14. Anda tidak perlu heran melihat kedekatan hasil antara metode IKK dan IKS. Ini karena populasi kader legislativ itu jauh lebih banyak dari eksekutif. Kurang lebih 95% kader partai itu ada di legislativ. Dan karena jumlah suara pileg itu proporsional dengan jumlah aleg, maka baik dengan menggunakan bilangan pembagi jumlah kader ataupun jumlah suara pileg, akan menunjukkan trend yang tidak jauh berbeda. Jumlah 5% kader eksekutiv itu negligible, alias dapat diabaikan.

      Hapus
  14. Jadi yang benar partai mana yang paling korup? Bisa dijadikan referensi saya sebagai pembaca untuk tidak memilih partai tersebut

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo Retno,.. Ada banyak data yang berbeda dari sumber yang berbeda. Jika Anda ingin referensi silakan googling. Asalkan datanya bisa dipertanggungjawabkan dan berdiri di atas kebenaran ilmiah, bukan kepentingan politik/golongan, silakan ambil sebagai referensi. Saran saya pilih lembaga yang mau bertanggngjawab, jangan lembaga abal2 dengan akun anonim yang hanya menyebarkan rilis via media social (ini satu ciri lembaga tersebut tidak bertanggungjawab). Lebih baik lembaga independen yang tidak berafiliasi dengan partai politik tertentu. Lebih baik lagi lembaga yang berafiliasi dengan lembaga pendidikan/perguruan tinggi negeri. Karena lembaga seperti itu jika melakukan riset harus berdasarkan kebenaran ilmiah. Terima kasih ya :)

      Hapus
  15. wow...mbak novi berjasa sekali,,,menghindarkan orang awam dari black campaign, orang yg berkepentingan dibalik data absurd ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai Didik.. hahahaa... berjasa apanya. Cuman karena merasa sedih kalau statistik dipermainkan. Terima kasih ya :)

      Hapus
  16. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  17. Tajam sekali analisisnya.. boleh saya bagikan tulisan ini ke yang lain?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo Lentera, terima kasih. Ini bukan analisa ilmiah, karena yang dibahasnya tidak melakukan penelitan ilmiah.. hehehe, monggo kalau mau dishare :)

      Hapus
  18. Sebaiknya anda juga membuat data statistik seperti yang anda sebutkan, bila memang tujuan anda memperbaiki cara pengolahan data. Silakan, kami menunggunya Mbak...

    BalasHapus
  19. Halo Hadriana, Silakan Anda baca kembali jawaban thdp komen serupa Anda. Kenapa ya saya harus membuat data pembanding? Saya bukan orang yang kompeten untuk membuat dan mengolah data. Tapi itu tidak berarti hak saya untuk mengungkapkan data2 KPK Watch itu hilang toh? :) Memang pemikiran2 seperti itu: "bahwa jangan hanya bisa mengkritik, harus bisa membuat juga" itu adalah pemikiran yg disebarkan Orde Baru dulu supaya meredam kritik terhadap pemerintahan Soeharto. Padahal adalah kewajiban kita mengungkapkan sesuatu yg tidak benar, meskipun pahit.

    Sekali lagi saya bukan orang yg kompeten untuk membuat data seperti itu. Krn saya tdk berkompeten, saya tidak mau sok2an membuay data tandingan. Nanti jadi kayak KPK Watch lagi... hehehee.. Tapi meskipun saya tidak berkompeten, tidak sulit melihat data itu salah. Saya tidak menggunakan ilmu statistik, hanya menggunakan ilmu SD kelas 6 yg sederhana: perbandingan dan kejujuran :)

    Jika melihat jalanan berlubang, kita harus bicara! Tanpa perlu membuat jalan yang baru. Terima kasih :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jadi intinya hingga sa'at ini belum ada data statistik yang bisa kita dijadikan sbg rujukan. (mungkin ga akan pernah), betul begitu? Karena semuanya salah menurut mba?
      Lalu solusinya gimana donk?

      Hapus
  20. assalamu alaikum
    salam Tanggu satu perjuangan dari mahasiswa politik universitas Brawijaya

    Bolehkah saya paki untuk Prediksi pemilu 2014
    dan dari mana saja kamu mengambil data itu
    kalo ada tolo sertaka sumber data datanya
    terima kasih

    salam 1 Hati bunuh koruptor

    wassalam

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo Balada Ahmad Fajar.
      Wadduh... jangan pake bunuh2 koruptor ah... hahahaha, proses aja berdasarkan hukum yang berlaku, Sippp? :)
      Senang rasanya kalau bertemu dengan mahasiswa yang sangat peduli dengan permasalahan2 bangsa ini. FYI, saya tidak membuat data baru. Saya hanya menganalisa data2 yang dikeluarkan oleh KPK Watch dari akun twitter @KPKWatch_RI karena KPK Watch ini hanya bermain di social media saja. Tapi ramai2 dipakai oleh satu golongan :)
      Terima kasih.

      Hapus
  21. kalau saya melihat masih lebih baik daripada hasil survey, karena survey berdasarkan persepsi. Dimana persepsi bisa dibangun dari opini, dan opini bisa dibangun berdasarkan kepentingan. walaupun cara hitungnya dinilai absurd, penilaian saya pribadi masih lebih baik daripada survey yang tidak jelas.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai Evs, Betul bahwa survey berdasarkan persepsi. Tapi harus diluruskan bahwa semua survey, pengolahan data itu pasti berdasarkan kepentingan. Hanya saja kepentingannya itu kepentingan apa? Sebuah partai politik biasa mengadakan survey untuk kepentingan internalnya untuk evaluasi, bisa juga untuk membentuk dan menggiring opini masyarakat.
      Dan jangan salah, data seperti yang dilakukan KPK Watch juga bisa dibuat berdasarkan kepentingan politik tertentu. Bagaimana cara membedakan data tersebut dibuat berdasarkan kepentingan politik tertentu atau murni berdasarkan kebenaran ilmiah? Satu saja sih kuncinya untuk membedakannya: JUJUR. Nah kalau cara mengolah datanya seperti yang dilakukan KPK Watch ini: data dikorupsi, metoda pengolahan datanya juga dikorupsi, logo lembaganya juga dikorupsi, bisakah kita menyatakan bahwa data tsb dibuat dengan JUJUR? jadi bisa disimpulkan sendiri apakah berdasarkan kepentingan politik atau tidak. Terima kasih :)

      Hapus
  22. Lebih tidak valid data PUKAT FH UGM, sebab metode yg dipakai 'framing media' bukan berdasar data objektif.. parahhhh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Monggo... hehehe... dipersilakan, memilih berdasarkan pesanan partai masing2. Silakan Anda bertanya pada orang statistik. Tapi jangan yang udah S2 atau S3 apalagi Profesor ya. Soalnya kasian buang2 waktunya. Data begini mudah dianalisa dengan ilmu perbandingan kelas 6. Hanya dibutuhkan KEJUJURAN saja. Bagaimana bisa mengungkapkan data korupsi parpol kalau dia sendiri MELAKUKAN KORUPSI data, pengolahan data dan logo lembaga lain :)

      Hapus
  23. Hahaha..... asli seru sekali..... pada saat metodologi penelitian menjadi sebuah arena ajang pesanan para tikus bermodus maka sudah dapat dipastikan hasil statistik nya juga akan terbaca. Membaca dengan jeli saja sudah terlihat sekali tanpa perlu menggunakan metodologi penelitian bahwa memang telah terjadi "something wrong" terhadap hasil data ini.....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai Mas Pri... hihihi... memang tidak perlu pake metode canggih. Yang saya pake cuman ilmu statistik sederhana dan perbandingan sederhana yg dipelajari anak SD kelas 6 kok... hahahaa...
      Cuman memang dibutuhkan kejujuran untuk mengakui bahwa metode dan data yg digunakan KPK Watch tsb 'error' :)

      Hapus
  24. bagus banget tuh yang paling bawah

    BalasHapus
  25. Sudah ada tulisan pembanding...biar seimbang.. http://politik.kompasiana.com/2014/04/03/analisa-sederhana-kejanggalan-data-kpkwatch-644252.html

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo Bumi Langit, silakan dilihat jawabannya di tulisan terbaru saya ya http://novi-ratnanoviasari.blogspot.com/2014/04/halloooo-indaah.html
      Terima kasih, Salam :)

      Hapus
  26. bagaimana tanggapannya mba novi , tentang tulisan pembanding ini
    http://politik.kompasiana.com/2014/04/03/analisa-sederhana-kejanggalan-data-kpkwatch-644252.html

    di tulisannya bisa di jelaskan secara ilmiah juga , mengenai data2 yang canggung , “Mantan Kades” dan “Gunung Kidul”, juga “Ketua MK”

    jujur, saya jadi ragu, dengan tulisan mba ini ,, hehehe :D

    BalasHapus
  27. Hallo Kataku, silakan dilihat jawabannya di http://novi-ratnanoviasari.blogspot.com/2014/04/halloooo-indaah.html ya.. Terima kasih

    BalasHapus
  28. Taroklah kita kesmapingkan dulu data dari KPK Wach

    Gimana Kalau kajian lembaga Pukat UGM sejak tahun 2009 ini gimana mba
    Golkar no 1
    Demoktar Nomor 2
    PDIP Nomor 3.

    Kalau Yang Dari Peneliti ICW
    Golkar Nomor 1
    PDIP Nomor 2
    Demokrat Nomor 3

    Lesimpulannya 2 lembaga kredibel ini tetapkan Golkar, PDIP dan Demokrat partai juara korupsi
    namun mirisnya PDIP yg katanya oposisi kok masuk 3 besar?
    Gimana kalau sudah jd pemerintah????

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hallo... silakan baca2 lagi ya tulisan dan komen saya di atas.
      Saya menulis tulisan ini bukan untuk membela satu atau dua partai. Sekali lagi: siapapun bisa mengeluarkan data, SELAMA DATA ITU BISA DIPERTANGGUNGJAWABKAN DAN BERDIRI DI ATAS KEBENARAN ILMIAH, BUKAN BERDIRI DI ATAS KEPENTINGAN POLITIK... silakan. Mau PDIP atau Golkar yang jadi partai terkorup, selama data itu benar.. SILAKAN. Yang saya persoalkan adalah: mengeluarkan data KORUPSI yang BAIK DATA, METODA PENGOLAHAN DATA DAN NAMA LEMBAGANYA DENGAN CARA DIKORUPSI.. hehehee... terima kasih :)

      Hapus
  29. DATA INI BARU VALID.

    SILAH CEK BAGI ANDA YANG MAHASISWA, YANG SARJANA, DAN BAGI ANDA YANG PUNYA ILMU UNTUK MENGHITUNGNYA

    http://politik.kompasiana.com/2014/04/03/draft-644105.html?utm_source=twitterfeed&utm_medium=facebook

    BalasHapus
    Balasan
    1. Monggo silakan baca jawaban saya: http://novi-ratnanoviasari.blogspot.com/2014/04/halloooo-indaah.html :)

      Hapus
    2. Ada yg salah perhitungan tu mas disitu, coba iseng2 hitung indeks korupsi PKS, apa betul 0.2 ? :)

      Hapus
  30. Hadeuh, intinya data statistik ini ga akan pernah sempurna, akan selalu ada kekurangan/ kelebihan yg disebut margin error (jangan langsung nuduh korupsi data donk) .
    Bagi yang yakin suatu data statistik itu HOAX, kenapa ga bantu dibikin revisinya,

    Nanti hasil revisinya khan bisa direvisi lagi, hehe. Saya yakin akan ada perbedaan metode karena subjektivitas shg ga ada habisnya

    BalasHapus
  31. Hai Holistik... hehehee... margin error mah kesalahan dalam pengambilan sampling, Om. Jadi untuk survey. Data KPK Watch kan bukan data survey kan? :)

    Membantu untuk memperbaiki data? Wah.. maaf sekali.. saya hanya mau membantu kalau yang bersangkutan memang berdiri di atas kebenaran ilmiah. Bukan berdiri di atas kepentingan politik. Karena kalau berdiri di atas kepentingan politik, apapun masukan yang kita berikan tidak akan diterima. Jadi percuma saja toh? :)

    Sudah baca tulisan Mas Adnan Topan Husodo yg dimuat di Kompas tgl 29 Maret mengenai mengukur tingkat korupsi Parpol? Silakan dibaca:
    https://m.facebook.com/?_rdr#!/notes/novi-ratnanoviasari/mengukur-partai-terkorup/10152402447769705/

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ia ma'af saya salah, maksute yg error2 itulah (bukan margin)
      Lalu kenapa mba yg sudah repot2 bikin blog ini, knapa ga sekalian bikin chart versi sendiri supaya bisa dibandingkan?
      Jadi ga melulu mengkritisi chart orang lain.

      Hapus
    2. Maaf.. maaf banget ya, bukannya saya nggak mau jawab pertanyaanmu. Tapi di atas sdh ada yg bertanya. Capek juga kalau menjawab berulang2. Baca aja yg di atas ya. Diantaranya reply atas komen Hadriana. Sekali lagi mohon maaf ya. Terima kasih :)

      Hapus
  32. Data statistik daftar partai terkorup sebaiknya menggunakan 2 pendekatan yaitu jumlah/banyak orang yang tersangkut dan jumlah uang yang dikorup, karena bisa saja jumlah 10 orang kalah dengan 1 orang. Jadi dibuat dua tabel.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bisa seperti itu. Tapi ada banyak sekali faktor yg mempengaruhi. Faktor yg lain misalnya apakah korypsi tsb dilakukan secara individual ataukah sistematis. Tentu beda kalau korupsi dilakukan oleh 40 org secra individual dengan yg dilakukan secara sistematis oleh 2 orang.

      Tapi itu semua bukan indeks partai terkorup. Karena sejauh apa korupsi dlm satu partai, kita tdk pernah tahu yg sesungguhnya. bisa jadi hanya seperti gunung es. Di atasnya yg terlihat kecil. begitu dilihat didalamnya ternyata besar sekali. Mungkin lebih tepatnya kalau seperti itu indeks persepsi ya..

      https://m.facebook.com/?_rdr#!/notes/novi-ratnanoviasari/mengukur-partai-terkorup/10152402447769705/

      Hapus
  33. Halo Afif, ah ya... tambahannya saya setuju banget.. hihihiii.. yg paling ajaib itu "waspadai parpol dgn indeks di atas 1.5"

    Lepas dari itu semua ada tulisannya Mas Adnan Topan Husoda dari perkumpulan indonesia corruption watch di kompas 29 Maret kemarin:
    https://m.facebook.com/?_rdr#!/notes/novi-ratnanoviasari/mengukur-partai-terkorup/10152402447769705/

    Intinya, mengukur partai terkorup itu mustahil. Yg ada selama ini bukan partai terkorup, tapi yg ketahuan. Sedangkan mungkin saja partai dgn 2 koruptor tertangkap bisa sama korupnya dgn partia yg tertangkap 50 org. Karena itu kan yg ketahuan. Sedangkan yg tidak ketahuan ya bisa saja sama atau bahkan mgkn lebih.. wallahualam :)

    BalasHapus
  34. Terima kasih Afiff, mohon maaf saya sering membalas komen via HP jadi agak kesulitan untuk membuat link. Thanks masukannya :)

    BalasHapus
  35. Terima kasih masukannya Afiff, salam :)

    BalasHapus
  36. ternyata pks yg di klaim cuma 2 org, banyak yg tidak dimasukkan disini namanya. silahkan cek di diskusi forum detik berikut: http://forum.detik.com/showthread.php?s=e2754d0d142a39b2c1601be2ee6a4ef8&t=908776?&page=35

    BalasHapus
  37. wkwkwk saling sikut dengan data masing2,
    ...........

    BalasHapus
  38. ini versi metro tv >> http://www.kaskus.co.id/thread/53224916a4cb179d6c8b4581/update--partai-terkorup-versi-data-metro-tv/
    mungkin lebih valid

    BalasHapus
  39. Hay corefight, sudah berkali2 di bahas di atas, silakan dibaca ya :)

    BalasHapus
  40. Saya memahaminya dalam pikiran awam saja, bahwa apa yg sudah ditulis merupakan upaya membentuk kesadaran kolektif, dan itu jauh lebih baik ketimbang kebanyakan orang mengumbar data2 absurd, belakangan (mungkin) bisa dibilang menyesatkan. terima kasih

    BalasHapus
  41. Benar kali data KPK Watch nya
    itu kan kalo hasil pemilu 2009 berarti kan untuk periode 2009-2014, jadi wajar KPK Watch menyimpulkan hingga 2014. Kalo mau tunggu pemilu 2014 berarti entar tunggu hasil pemilu
    gak mutu nih blognya
    analisa kurang tajam penuh kepentingan politik buat nutupin kebusukan pihak lain

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hallooooooo Salkamal Taaan.... kita belajar berhitung lagi yuuuuk ... heheheee
      Makasih ya sudah mampir :)

      Hapus
  42. Menarik kajiannya..thanks mba novi kritisinya. Memang harus cerdas & hati-hati ya sbg pemilih, data bisa jadi menguntungkan atau menyesatkan. Data yg dirilis KPK watch ini tidak apple to apple. Kasus korupsinya dari berbagai jabatan kader partai, mulai dari aleg DPRD, bupati, walikota sampai gubernur. Tapi kok aleg DPR nya ga ada sementara bilangan pembaginya itu suara partai 2009 utk kursi DPR RI tok.. kalo mau fair bilangan pembaginya diperluas dong katakanlah kader partai yg menjadi aleg DPR, DPRD prop, DPRD Kab, DPD, Gubernur, pejabat, walikota, dll. Itu lebih representatif dan adil. Atau kalo masih mempertahankan bilangan pembagi partai 2009 maka yg dimasukkan kasus korupsinya hanya utk aleg DPR RI saja.

    BalasHapus
  43. Hallo mynaoko.. Bisa seperti itu. Tapi secara definitif membagi dengan suara 2009 itu meleset karena yg dinilai korupsi atau tidaknya jumlah Alegnya, bukan pemilihnya. Kalau pembaginya jumlah Alegnya pasti hasilnya akan anehkarena bisa diperoleh angka di atas 100%. karena kepala daerah, caleg bahkan kepala desa dimasukin semua... :)

    BalasHapus
  44. Mba Novi sptnya belum menangkap maksut sy :D. Pemilih 2009 itu bisa merepresentasikan jumlah kursi DPR toh ? Dari jumlah pemilih terlihat berapa proporsi Aleg DPR tiap partai. Jika pembaginya pemilih 2009 ya tentu saja kasus korupsi yang dimasukkan hanya utk aleg DPR 2009 saja. Kalau mau kasus korupsi kepala daerah, kepala desa, DPRD dimasukkan juga tentunya pembaginya tidak cukup dg pemilih 2009. Harus dihitung berapa jumlah kader per partai yang menjadi publik tersebut. Tapi iya apa mampu menghitung kepala desa seluruh Indonesia dari partai apa saja ? :). Yg paling sederhana yg dimasukkan yaa kasus korupsi dari anggota eksekutif & legislatif saja (DPR, DPRD I, DPRD II, kepala daerah) dengan bilangan pembagi jml kader partai yg menjadi pejabat tsb.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oh saya menangkap maksud Anda, sangat menangkap karena awalnya saya juga berpikir begitu. Tapi kemudian saya sadar bahwa angka pembagi untuk menentukan kursi parlemen bisa berbeda di setiap daerah. Jadi belum tentu jumlah suara merepresentasikan jumlah kursi di parlemen. Bahkan bisa terjadi jika PDIP menang di popular vote, tapi di parlemen vote-nya kursi Golkar lebih banyak drpd kursi PDIP. Artinya di Parlemen Golkar yg menang :)
      Jadi lebih baik langsung saja angka pembandingnya jumlah aleg. Bukan jumlah suaranya.

      Hapus
    2. Nah.. kemarin sudah saya katakan bahwa meski PDIP menang, bisa jadi di parlemennya Golkar yg menang jumlah kursi. Jadi jumlah suara pemilu tidak sama dengan jumlah kursi di DPR. Apalagi kalau perbedaan suara tidak signifikan antara pemenang pertama dan kedua ~>> http://m.okezone.com/read/2014/04/09/568/967767

      Hapus
  45. Intinya kita ga akan ketemu data statistik yg bisa dipake rujukan. Karena semuanya salah menurut mba Novi.
    Jadi masyarakat dibiarkan meraba2 fakta data korupsi, shg mudah diaduk2 oleh opini media.

    BalasHapus
  46. Memang jika melihat sebuah data jangan langsung ditelan mentah-mentah, kalau mampu pelajari metode & analisisnya. Sy pribadi senang ada blog ini yang membahas data korupsi KPK watch, artinya orang Indonesia kritis tidak asal percaya. Namun memang hati-hati kalo sudah bermain dengan angka, garbage in garbage out. Data yang dimasukkan sampah maka keluarnya juga sampah. KPK watch perlu diapresiasi juga karena berani menampilkan data kasus korupsinya. Sama halnya seharusnya mereka atau pun kita juga harus berani menerima kalo banyak kritisi dari pihak luar. Menurut sy hasil KPK Watch jg belum sempurna karena selain rentang waktunya berbeda (kasus korupsi 2002-2009 dibandingkan dengan pemilih 2009) juga hanya menggambarkan populasi (bilangan pembagi) kursi aleg DPR RI saja, namun tidak menangkap informasi populasi jml kursi aleg DPRD atau kepala daerah. Padahal persentasi jml kursi Partai XXX di dapil DPRD propinsi atau DPRD Kota A belum tentu sama dengan dapil B.

    BalasHapus
  47. index kan adalah bilangan asli. ya gak ?
    Setahu saiyah begitu, walaupun gak lulus statistika dasar, rasanyaaaaa dulu gitu deh....
    Maklumlah, sarjana abal-abal.
    Pas kuliah biasanya saiyah tidur

    BalasHapus
  48. Oh iya, di fisika ada index bias air terhadap ruangan vakum adalah 1.3330 menurut wikipedia

    BalasHapus
  49. saiyah punya rumus, yaitu index korupsi = jumlah koruptor tiap partai / volume bumi.
    Cukup paham maksudnya ?

    BalasHapus
  50. Kalo diberi kesempatan kuliah lagi jangan tidur ya... banyak orang diluar sana yg mau kuliah tp ga mampu. Kalo logika berpikir Anda jml koruptor tiap partai/volume bumi maka timbul pertanyaan begini 'wajar dong persentase koruptor partai A tinggi karena jml kader yg menjabat jg banyak?'. Paham maksutnya ? Intinya caleg2 baik ada di semua partai dan caleg2 bermasalah jg ada di semua partai. Pilihlah dg bijak dan selektif. Kalo sy pribadi, sy lihat semua profil & track record caleg di dapil saya meskipun memakan waktu yg lama, tapi itu setidaknya itu bentuk tanggung jawab saya dihadapan Sang Pencipta nanti :)

    BalasHapus
  51. Ada yang lebih korup dibandingkan partai ini... berita dilansir oleh tempo http://pemilu.tempo.co/read/news/2014/01/15/078544873/SBY-Demokrat-Bukan-Partai-Terkorup

    BalasHapus
  52. Lbh baik lagi anda upload data urutan partai yg kadernya tersangkut kasus korupsi ,kayaknya lbh memberi pencerahan unt pilpres yad ..trim

    BalasHapus
  53. Salam Kenal:
    saya Sofyan Lubis, dari Kampung Pamokolan Desa Sukamulya Kecamatan Sukamakmur (Pecahan dari Kec. Jonggol) Kabupaten Bogor.
    setelah saya baca berita2nya saya sangat tertarik. dan merasa perlu mengomentari ini.
    saya berharap kepada siapa saja aktifis ANTI MORUPSI yang membaca ini ada yang sudi mampir ke desa saya, karena desa saya Kepala Desanya saya tdk berani mengatakan dia KORUPSI tapi selama ini tdk pernah ada program yang dilaksanakannya.
    yang ada malah memperkaya diri.
    sementara rakyatnya tdk ada yang bisa menyampaikan keluhannya.
    pada awal pemerintahannya di desa kami ada pengukuran tanah besar-besaran, dan sdh 2 tahun trakhir ini SPPT masyarakat setempat tdk keluar. ada isu katanya dijual, saya jga tdk tahu. karena itu saya berharap ada pihak yang peduli dgn ini. Terimakasih.


    Balas

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo Pak Sofyan Lubis, pesannya sudah saya teruskan ke kawan2 di ICW ya Pak. Terima kasih sudah berkunjung :)

      Hapus
  54. Novi ini blog terlalu menyudutkan pihak lai tidak adil, sepertinya ada kepentingan menjelang pemilu 2014...
    Saya amati anda sebagai lawan politiknya dari partai PDIP karna analisa anda kurang pas...!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo Joksil... hehehe... satu2nya kepentingan saya di sini adalah mengajak masyarakat untuk berpikir sebelum menerima sebuah data. kalau Anda menilai analisa saya kurang pas, monggo... silakan tanyakan ke ahli statistik. Terima kasih yaaa... :)

      Hapus
  55. Novi anda terlalu memojokkan pihak lai...
    Setelah saya amati anda lawan politiknya dari salah satu partai yg ada berira yg anda sampaikan kuranf pas untuk tahun ini..!!!

    BalasHapus
  56. Hati Hati dengan Prasangka, karena Sebagian dari Prasangka adalah Dosa, Ketika Menerima Suatu Berita , tela'ah dulu kebenarannya, apabila kamu tidak yakin maka lebih baik diam, karena ketidak yakinan akan menumbulkan prasangka dan berujung dosa, .... apabila data ini ternyata benar maka bersyukurlah ... tapi ketika data ini tidak benar .... mohon ampun karena 1000 orang baca data ini, maka 1000 dosa juga kita dapat .... JAZAKALLAH KHOIRON KATSIRO

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo Erwan, maka dari itu, lewat tulisan ini saya mengajak masyarakat untuk selalu cek ricek berita dan data. Kebanyakan orang Indonesia itu malas cek ricek berita. Padahal teknologi sekarang sangat memudahkan untuk mencari data. Orang2 kita juga malas membaca, hanya membaca judul langsung share.. share.. padahal seringkali isinya tidak nyambung dengan judulnya. Yang lain... masyarakat kita juga lebih senang langsung percaya jika tulisan itu bicara angka2 atau gambar grafik. Padahal seperti data yang saya kaji, ternyata kenyataannya begini. Padahal tidak sulit kok untuk mericek sebuah data itu benar atau tidak. Terima kasih sudah berkunjung :)

      Hapus
  57. orang miskin di indonesia kan lebih banyak, klo dah begini digiring kemanapun ga masalah yg penting ada umpan... menaaaaang. mau korupsi, atau tidak sing penting bisa mengerti aku...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo Gerak Anak Sholeh, terima kasih sudah mampir :)

      Hapus
  58. makasih artikelnya,dan saya bisa membaca dan meneliti artikel ini sebagai acuan dan demi kemajuan hukum di negeri ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih Mas Reyno atas apresiasi dan menyempatkan diri untuk membaca tulisan ini. Salam :)

      Hapus
  59. kenapa cuma mendasarkan dari jumlah kasus tidak memasukkan jumlah materi kerugian negara? jika kasus suap cek pelawat DGM-BI yg cuma 50 juta dan tdk terkait dgn uang negara disamakan dgn kasus Hambalang atau Bank Centuru misalnya, tentu tdk berimbang dong

    BalasHapus
  60. Partai ini gak akan korupsi dijamin : http://screensay.com/article/1146/partai-idaman

    BalasHapus
  61. trimakasih infonya sangat menarik,,
    bermanfaat sekali,,
    mantap,,.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

JIKA AKU SHOLAT, SEHARUSNYA AKU JADI SEORANG MUSLIM YANG SEPERTI APA? (II)

Pada tulisan sebelumnya sudah dijelaskan bahwa 3 ritual awal sholat: wudhu, takbiratul ihram dan iftitah jika dilakukan dengan menyelami maknanya maka akan mengantarkan kita ke dalam 2 kondisi:  1. Pengendalian ketergantungan diri pada kemelekatan duniawi 2. Pengendalian ego Jika setelah berwudhu kita bisa melepaskan diri dari kemelekatan duniawi, lalu setelah takbiratul ihram dan membaca doa iftitah kita sudah bisa menihilkan ego, maka itu berarti kita siap untuk masuk ke tahap selanjutnya dalam sholat: berdialog dengan Allah lewat surat Al Fatiha. Tanpa masuk ke dalam 2 kondisi di atas, kita tidak akan bisa berdalog dengan Allah. Bacaan-bacaan Al Fatiha kita menjadi meaningless... tanpa makna, dan tidak akan membekas apa-apa dalam kehidupan kita.  Jika kita sudah siap, mari kita mencoba masuk dalam tahap berdialog dengan Allah. Bagi sebagian orang, bisa berdialog dengan Allah adalah sesuatu yang sangat didambakan. Bagaimana tidak.. Sebagian kita berharap bisa berdialog da

PROBLEM KEJAHATAN dan FREE WILL

Problem Kejahatan yang merupakan pertanyaan paradoksial pertama kali diajukan oleh Epicuros (341-270SM). Disebut juga Trilema Epicuros: Tuhan, katanya ingin menghilangkan kejahatan tetapi tidak dapat. Atau Ia dapat tetapi tidak berniat. Atau Ia tidak berniat dan tidak dapat, atau Ia berniat dan dapat. Jika Ia berniat dan tidak dapat.. Ia lemah, yang tidak sesuai dengan sifat Tuhan. Jika Ia dapat dan tidak berniat... ia dengki, yang juga berbeda dengan sifat Tuhan. Jika Ia tidak berniat dan tidak dapat,.. Ia dengki dan lemah, sehingga bukan Tuhan. Jika Ia berniat dan dapat, yang sesuai dengan Tuhan, maka dari manakah kejahatan? Atau kenapa Ia tidak menghilangkannya? Pertanyaan paradoksial ini kemudian ditegaskan oleh David Hume dalam  Dialogues Concerning Natural Religion  (1779). Dan menjadi problem yang dijadikan salah satu alasan utama oleh kaum Atheis untuk menolak keberadaan Tuhan. Berbagai argumen untuk menjawab Problem Kejahatan ini pernah diajukan oleh para filsuf di antaranya:T