Langsung ke konten utama

PENDEKATAN PEMBANGUNAN ALA JOKOWI

Sudah banyak sekali, ~bahkan terlalu banyak kurasa~ pembahasan mengenai salah satu calon Gubernur DKI 2012-2017: Jokowi. Terutama setelah Ia memenangkan putaran I Pilkada DKI. Banyak orang terperangah tak menyangka Beliau bisa mengalahkan Cagub Petahana.


Bahkan survei yang dilakukan oleh berbagai lembaga survei meleset. Tak ada satupun dari lembaga-lembaga tersebut yang memperkirakan kemenangan Jokowi. Maka Jokowi pun menjadi satu fenomena. Semua mencoba membahas dan menguliti serba serbi Jokowi. Semua bertanya2 apa yang membuat Jokowi bisa memenangkan Pilkada putaran I?


Maka para pengamat baik yang profesional maupun amatiran mulai berlomba-lomba menganalisa fenomena tersebut. Mulai dari yang berpendapat bahwa kemenangan Jokowi adalah sebuah sentimen etnis Jawa-Tionghoa sampai yang menguliti kinerja Tim Sukses Jokowi-Ahok.


Bagaimana Kepemimpinan Jokowi di Solo sudah banyak kita dengar. Mulai dari penataan kota yang dianggap berhasil, pemindahan PKL sampai tipikal kepemimpinannya yang selalu turun ke bawah, langsung ke rakyat untuk melihat langsung persoalan-persoalan yang dihadapi oleh rakyat yang dipimpinnya.


Untuk sekali ini saya mencoba mengikuti trend dengan menjadi pengamat amatiran terhadap fenomena Jokowi ini. Mengapa? Karena kepemimpinan Jokowi bagi saya adalah sebuah angin segar di tengah minimnya kepemimpinan berkualitas yang patut diteladani di negara ini.


Tidak sedikit kalangan yang mencibir Jokowi. Yang menilai semua yang dilakukan oleh Jokowi hanyalah pencitraan dan cibiran-cibiran negatif lainnya. Ada rasa heran saya kenapa kalangan ini tidak bisa menemukan satu teladan pada Jokowi yang sesungguhnya sangat langka namun bisa ditularkan kepada pemimpin-pemimpin lain. Apalagi jika dilihat dengan jernih, apa yang dilakukan oleh Jokowi bukanlah sebuah hal yang baru dalam dunia kepemimpinan yang pernah ada. Bukan tidak mungkin Jokowi hanya mengambil teladan dari kisah-kisah kepemimpinan yang pernah didengarnya. Tetapi kenapa hal tersebut bisa sangat menghebohkan? Jawaban yang sangat menyedihkan: karena minin sekali pemimpin2 negeri ini yang mengambil keteladanan tersebut.


Kisah-kisah para pemimpin agung seperti Rasul-Rasul dan para sahabat hanya menjadi dongeng yang berpindah dari mulut satu ke mulut lainnya.

Benarkah?

Jika benar kita bisa mengambil hikmah dari kisah tersebut, mengapa harus mencibir Jolowi yang tidak pernah mengambil gajinya? Jika kita bisa menggali teladan dari kisah tersebut, mengapa seringnya Jokowi mengunjungi rakyatnya dan membagikan beras disebut-sebut sebagai money politik?

Bukankah banyak Nabi, Rasul dan para Khalifah yang melakukannya? Pada akhirnya saya mencoba memaklumi ~bukan memahami~ pandangan-pandangan negatif tersebut. Dan mencoba membantu mereka untuk menggali lebih dalam lagi kepemimpinan Jokowi.


Pertama kali saya mendengar tentang Jokowi dari cerita suami ketika mendampingi kawannya (tahun 2007) meresmikan kereta wisata di Solo. Tidak banyak sesungguhnya yang diceritakan olehnya: Bahwa Jokowi berhasil merelokasi PKL dengan sukarela. Pemindahan PKL dilakukan dengan kirab budaya.


Inilah yang membuat saya tertarik. Karena inilah pertama kali kudengar seorang pemimpin berhasil menertibkan PKL tidak dengan jalan kekerasan, tetapi dengan pendekatan sosial budaya, pendekatan yang manusiawi.


Dari cerita itu kemudian saya mencoba mencari tahu tentang siapa sebenarnya Jokowi. Sumber berita selanjutnya adalah kawan-kawan arsitek. Ya.. Mengenai tata kota Solo. Ternyata banyak kawan-kawan arsitek yang juga mengagumi sosok Jokowi. Baik secara fisik tata kota maupun pendekatan pembangunannya, keduanya menjadi sesuatu yang baru di Indonesia.


Bukan.. Bukan konsepnya yang baru. Konsep dan teori mengenai tata kota serta pembangunannya yang manusiawi, semuanya sudah banyak dibahas oleh pakar-pakar tata kota baik di dalam maupun di luar negeri. Namun siapa yang mau dan mampu melaksanakannya.. Inilah yang langka di negeri ini.


Maka ketika kulihat ada sosok yang mau menjadi pioneer untuk melakukannya, aku rasa ia harus dimunculkan untuk lebih dikenal dalam wilayah yang lebih luas: nasional. Mengapa? karena kita perlu satu contoh, satu role model pemimpin yang pantas diteladani oleh rakyat negeri ini. Negeri yang seolah putus asa karena merasa tak mampu memiliki pemimpin ideal.


Keberhasilan pembangunan kota Solo yang dilakukan Jokowi dilakukan lewat 2 pendekatan pembangunan:


1. Pendekatan sosial budaya yang lebih manusiawi. Ini dipertegas dengan kalimat yang selalu dipegang oleh Jokowi: "Nguwongke Uwong" ~Memanusiakan Manusia~ Memperlakukan manusia sebagaimana layaknya manusia.


Sederhana memang. Namun lihatlah dalam tataran teknis di lapangan sungguh sangat jauh berbeda. Pendekatan-pendekatan yang manusiawi pada para PKL dan juga penghuni bantaran sungai Bengawan Solo yang akan dipindahkan, itu semua dilakukan dengan "Nguwongke Uwong". Dengan berpuluh-puluh kali interaksi, pertemuan dan berbicara dari hati ke hati dengan masyarakat. Dan hasilnya? mereka dengan sukarela, tidak keberatan untuk direlokasi. Tidak perlu ada kekerasan yang melibatkan Satpol PP.


Pendekatan sebaliknya.. Tentu kita masih ingat apa yang terjadi dengan kasus relokasi Makam Mbah Priuk di Tanjung Priok yang mengakibatkan sebuah kerusuhan dan menimbulkan korban jiwa.

Pendekatan dengan cara kekerasan akan selalu menimbulkan efek negatif. Kerugian yang ditimbulkan sangat besar. Namun herannya kita tidak pernah mau belajar. Model-model pendekatan seperti ini masih terus dilakukan. Otak kita buntu, seolah-olah pendekatan dengan jalan kekerasan adalah satu-satunya cara yang bisa dilakukan, tak ada jalan lain lagi.


Namun ketika diperlihatkan di depan mata kita bahwa masih ada cara lain yang lebih manusiawi dan terbukti lebih berhasil tanpa menimbulkan kerugian bahkan korban jiwa mengapa kita malah mencelanya? Bukannya mempelajarinya untuk diterapkan di setiap daerah masing-masing?


2. Pendekatan pembangunan kedua yang dilakukan oleh Jokowi adalah pendekatan partisipasi masyarakat. Pendekatan seperti ini seringkali diabaikan oleh pemerintah di tempat lain. Padahal model pendekatan pembangunan seperti ini akan menentukan kontinuitas pembangunan itu sendiri.

Partisipasi masyarakat hanya sekali dalam 1 periode kepemerintahan: ketika diselenggarakannya pemilu/pilkada. Setelah itu, masyarakat hanyalah berperan sebagai objek pembangunan. Mereka tidak dilibatkan dalam berbagai persoalan yang menyangkut kepentingan mereka sendiri. Pemerintah selalu merasa lebih tahu apa yang terbaik untuk rakyatnya. (semakin lama kita pun dibuat semakin ragu apakah yang terbaik untuk rakyatnya atau terbaik untuk mereka sendiri?) Pendekatan yang digunakan seperti ini adalah pendekatan top down dimana rakyat menjadi objek, yang dianggap bodoh, tidak mengerti apa-apa. Mereka harus selalu manut pada keputusan pemerintah.


Sebaliknya yang dilakukan Jokowi, ketika masyarakat menjadi subjek pembangunan. Disinilah begitu terasa definisi yang sesungguhnya terhadap hubungan antara rakyat dan pemerintahnya. Bahwa pemerintah adalah abdi rakyat yang digaji oleh rakyat serta bekerja untuk mengurus rakyatnya. Maka sangat penting bagi seorang Jokowi untuk mengetahui aspirasi rakyatnya. Yang menjadi ciri khas Jokowi dalam menjalankan roda pemerintahannya adalah menempatkan porsi lebih besar untuk terjun langsung kepada rakyat. Hanya sebagian kecil porsinya bekerja di kantor. Dengan pendekatan seperti itu, Jokowi bisa langsung mengetahui permasalahan-permasalahan yang terjadi di bawah pemerintahannya. Ia mengajak kepala-kepala dinas berkeliling untuk melihat langsung permasalahannya.


Selain itu seringkali Jokowi membuat lomba untuk mendisain berbagai fasilitas kota. Siapapun boleh ikut dalam lomba tersebut.


Sebetulnya pemerintah pusat sudah merumuskan model pendekatan seperti ini lewat Musrenbang (Musyarawarah Perencanaan Pembangunan) yang dilakukan mulai di tingkat RT sampai seterusnya. Namun seberapa banyak yang mau melakukannya??


Pendekatan Bottom-Up ini selain bisa memberikan solusi yang lebih tepat bagi masyarakat, juga akan menumbuhkan rasa kepemilikan masyarakat terhadap pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah.


Kedua model pendekatan pembangunan yang dilakukan oleh Jokowi di atas sesungguhnya sangat penting sebagai titik balik pembangunan yang lebih tepat dan mengena lagi bagi masyarakat. Tidak mudah bagi seorang pemimpin di Indonesia untuk mau melakukannya. Tidak mudah bagi pemimpin di Indonesia saat ini untuk mau berpuluh-puluh kali berbicara dari hati ke hati dengan masyarakatnya. Bagi mereka cukup dengan mengerahkan Satpol PP. Tidak mudah bagi pemimpin di Indonesia untuk mendengarkan aspirasi masyarakatnya. Bagi mereka cukup dengan mendengarkan laporan-laporan kepala dinas. Butuh itikad yang kuat, kemauan yang kuat dan sebuah kesadaran akan peran dan posisi seorang pemimpin untuk melakukannya. Dan inilah yang sangat langka di negeri ini. Sad but true.


Published with Blogger-droid v2.0.4

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hindari Berbohong dalam Berpolitik: INDEKS KORUPSI PARTAI POLITIK VERSI KPK WATCH: QUALIFIED ATAU ABAL-ABAL?

Akhir-akhir ini banyak beredar di dunia maya Indeks Korupsi Partai Politik yang dibuat oleh semacam lembaga (entah lembaga resmi, entah lembaga dadakan)dengan nama KPK Watch sebagai berikut di bawah. Bagaimana metode perhitungan Indeks Korupsi Partai Politik versi KPK Watch ini? KPK Watch mengambil data jumlah koruptor selama periode 2002-2014 dari laman ICW. Setelah diperoleh angka jumlah koruptor, KPK Watch membagi angka tersebut dengan jumlah suara yang diperoleh pada pemilu 2009. Maka didapatlah angka Indeks Korupsi Partai Politik yang kemudian dipublikasikan via social media. Tentu saja publikasi ini tidak melewati publikasi media cetak dan media elektronik. Mengapa? Entahlah.. kita tidak akan membahas itu. Kita hanya akan membahas bagaimana metoda perhitungan KPK Watch ini dan apa pengaruhnya pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 ini. Tapi mungkin dari pembahasan ini kita akan paham kenapa Indeks Korupsi Partai Politik yang dikeluarkan KPK Watch ti

Halloooo Indaah :)

Hallo Indah dan semua kawan yang bertanya tentang ulasan saya mengenai Data KPK Watch di Kompasiana ( http://politik.kompasiana.com/2014/04/03/analisa-sederhana-kejanggalan-data-kpkwatch-644252.html ). Sebetulnya saya merasa sangat tidak perlu membuat tulisan ini lagi. Karena jawaban atas tulisan Indah sudah sangat jelas di ulasan saya tersebut. Tapi mungkin Indah dan beberapa kawan yang lain belum bisa memahami kalau saya tidak menerangkannya secara grafis serta dengan contoh-contoh sederhana lainnya. Juga karena saran beberapa kawan ya pada akhirnya saya buat juga. Karena saya bukan anggota Kompasiana, maka saya tidak bisa memberikan komentar di tulisan Indah tsb. Mohon maaf kalau saya menjelaskannya dengan soal cerita matematika sederhana kelas 6 SD. Tidak bermaksud merendahkan dan menyamakan taraf pemahaman dengan anak kelas 6 SD, tapi memang ilmu statistik yang saya gunakan bukan ilmu statistik yang rumit, hanya ilmu statistik sederhana dan perbandingan sederhana yang ada di pel

JIKA AKU SHOLAT, SEHARUSNYA AKU JADI SEORANG MUSLIM YANG SEPERTI APA? (II)

Pada tulisan sebelumnya sudah dijelaskan bahwa 3 ritual awal sholat: wudhu, takbiratul ihram dan iftitah jika dilakukan dengan menyelami maknanya maka akan mengantarkan kita ke dalam 2 kondisi:  1. Pengendalian ketergantungan diri pada kemelekatan duniawi 2. Pengendalian ego Jika setelah berwudhu kita bisa melepaskan diri dari kemelekatan duniawi, lalu setelah takbiratul ihram dan membaca doa iftitah kita sudah bisa menihilkan ego, maka itu berarti kita siap untuk masuk ke tahap selanjutnya dalam sholat: berdialog dengan Allah lewat surat Al Fatiha. Tanpa masuk ke dalam 2 kondisi di atas, kita tidak akan bisa berdalog dengan Allah. Bacaan-bacaan Al Fatiha kita menjadi meaningless... tanpa makna, dan tidak akan membekas apa-apa dalam kehidupan kita.  Jika kita sudah siap, mari kita mencoba masuk dalam tahap berdialog dengan Allah. Bagi sebagian orang, bisa berdialog dengan Allah adalah sesuatu yang sangat didambakan. Bagaimana tidak.. Sebagian kita berharap bisa berdialog da