Langsung ke konten utama

Antara Proses dan Hasil



​Satu waktu seorang supir taksi mengeluh pada saya tentang supir-supir angkot yang tidak disiplin dan membuat jalanan macet. "Pendidikan! Itu penyebabnya mereka tidak disiplin!" kata si supir taksi itu berapi-api. "Coba kalau sekolah gratis! Supir-supir angkot itu mungkin akan lebih bisa disiplin!" lanjutnya.

​Saya tersenyum mendengarkan. Setidaknya supir taksi ini telah melakukan pengamatan, mencoba menganalisis persoalan dan mendapatkan jawaban dari permasalahan itu adalah pendidikan. Saya kagum dengannya.

​Sementara itu saya masih mendengarkan dan bersikap mengiyakan. Kemudian pikiran saya melayang. Pada anak2 yang tak sekolah di pinggir jalan, pada kemiskinan yang semakin meningkat sementara pemerintah terus mengklaim tingginya angka pertumbuhan ekonomi. Pada anak-anak sekolah yang berteriak histeris karena tidak lulus Ujian Nasional. Pada korupsi yang semakin meningkat meskipun kita telah memiliki berbagai badan penanganan korupsi. Meskipun sudah berpuluh-puluh tahun kita menyatakan kemerdekaan, namun tak kunjung terbebas dari penyakit yang kita buat sendiri: korupsi.

​Ah.... Dan akhirnya saya mencoba untuk sedikit berdiskusi dengannya. Tentu saja meskipun saya merasa dia 'hanya' seorang supir taksi, tapi dia adalah seorang supir taksi yang mau berproses dalam berpikir. Tidak hanya asal njeblak mengambil data-data dan fakta dari media. Tapi supir taksi ini menganalisa terlebih dahulu data-data yang didapatnya di dalam pikirannya. Sehingga bisa menghasilkan satu kesimpulan yang.. saya sangat setuju dengannya. Ya.. Pendidikan. Tapi apa sih masalahnya dengan pendidikan itu? Bukankah konon (konon loh ya) untuk pendidikan ini pemerintah sudah berniat (masih berniat) untuk mendapatkan porsi 20% dari APBN? Bukankah sebagian biaya sekolah (konon) sudah ditanggung pemerintah lewat BOS? Lalu apa dong masalah utamanya? Apa benar pendidikan yang menyebabkan perilaku korup kita? Perilaku korup yg sudah sangat mengakar mulai dari kalangan atas sampai bawah?

​Tentu saja!! Tentu saja ini semua karena persoalan dalam pendidikan kita seperti yg dikatakan oleh supir taksi itu. Namun persoalan pendidikan kita bukan hanya persoalan sekolah gratis, bukan hanya persoalan kualitas dan kesejahteraan guru, bukan hanya persoalan Ujian Nasional. Bukan hanya soal metoda pendidikan, bukan hanya persoalan kurikulum. Di atas itu semua ada yang paling penting namun banyak dilupakan. Yaitu konsepsi dasar pendidikan itu sendiri.

​ Konsepsi dasar ini telah beralih, telah bergeser sehingga pada akhirnya pendidikan kita pun saat ini bukan 'pendidikan' lagi tapi telah bergeser menjadi hanya sekedar pengajaran. Lalu apa konsepsi pendidikan yg telah dilupakan itu sendiri?Pemerintah selama ini memiliki target agar output pendidikan itu memiliki kualifikasi tertentu. Maka pemerintah berusaha memperbaikinya dengan memotong outputnya, bukan memperbaiki prosesnya. Pemerintah melakukannya dengan mengambil alih peran penentu kelulusan siswa yang tadinya berada di tangan guru/sekolah dan meningkatkan standard minimal kelulusan siswa lewat Ujian Nasional. Ini artinya pemerintah berusaha meningkatkan kualitas hasil dari sebuah proses pendidikan bukan dengan memperbaiki prosesnya tapi melakukan seleksi pada output pendidikan itu sendiri. Potong generasi.

​ Parameter kelulusan Ujian Nasional saat ini adalah nilai dan itu disamakan untuk semua murid. Ditentukan oleh pemerintah pusat tanpa ada pertimbangan dari proses itu sendiri. Tentu saja pertimbangan2 berdasarkan proses yang berjalan selama ini tidak bisa dijadikan bahan pertimbangan parameter kelulusan oleh pemerintah pusat. Karena yang mengetahui bagaimana prosesnya itu sendiri adalah guru dan sekolah yang bersangkutan, bukan pemerintah pusat. Tetapi peran guru dan sekolah untuk menentukan kelulusan saat ini dikesampingkan. Gurulah yang lebih mengetahui bagaimana muridnya selama proses pendidikan itu berlangsung. Apakah proses pendidikan itu berpengaruh dan tertanam terhadap kepribadian murid itu ataukah hanya sekedar hasil-hasil angka di atas kertas saja? Tanpa mempedulikan bagaimana angka-angka nilai di atas kertas itu diperoleh. Apakah dengan kejujuran atau malah menghalalkan segala cara?

​Karena pelaku2 pendidikan (baik itu guru, murid maupun orangtua) selama ini selalu dituntut untuk berorientasi pada hasil, yaitu nilai di atas kertas, maka itulah yang dikejar oleh mereka. Sekolah terobsesi bagaimana agar murid bisa lulus 100% karena dengan itulah nilai jual sekolah bisa meningkat. Guru-guru dituntut untuk bisa mengantarkan muridnya ke gerbang kelulusan. Itulah hasil yang dikejar. Bagaimana prosesnya itu belakangan. Maka muncullah guru-guru dan sekolah nekat yang menganjurkan proses2 tidak halal demi hasil akhir kelulusan itu.

​Selama bertahun-tahun paradigma ini tertanam di kepala murid-murid kita. Mereka mengejar hasil, mengejar nilai. Lupa bahwa pendidikan itu sendiri adalah sebuah proses. Lupa bahwa pendidikan bukan hanya pengajaran. Maka segala cara dihalalkan untuk mendapatkan hasil terbaik tersebut. Sayangnya tanpa disadari pradigma yang salah ini terbawa sampai dewasa. Dengan semakin minimnya pelajaran mengenai moral dan etika di sekolah menambah lepasnya paradigma ini. Pada akhirnya hal ini terbawa sampai ke lingkungan kerja. Setelah bekerja murid2 itu menjelma menjadi robot industri yang tak peduli lagi pada arti sebuah proses. Mereka lebih mengejar pada besarnya hasil yang bisa mereka bawa pulang ke rumah. Apakah proses untuk mndapatkannya halal atau haram mereka sudah tak peduli lagi.

​Dan paradigma itu saat ini sudah tertanam di kepala sebagian warga negara ini. Kita pun putus asa, merasa frustasi. Entah darimana dan bagaimana cara mengurai benang kusut persoalan negeri ini. Supir taksi yang bersamaku merasa lelah melihat perilaku supir angkot. Tanpa disadari oleh sang supir angkot, yang teranam di kepalanya adalah bagaimana cara untuk mendapatkan hasil yang besar. Apakah dalam proses mendapatkan hasil tersebut dia merugikan orang lain dengan membuat kemacetan di jalan? Dia sudah tidak peduli lagi.

​ Demikianlah, hanya sedikit sekali orang-orang yang tetap setia pada sebuah proses. Yang memahami bahwa jika prosesnya benar dan berjalan baik maka hasil yang didapatkan dengan sendirinya akan baik pula. Dan jika mereka menginginkan untuk meningkatkan kualitas maka yang dilakukan oleh mereka adalah memperbaiki prosesnya, melakukan feedback. Bukan memanipulasi hasilnya, terlebih lagi memotong generasi.Tuhan mendidik manusia lewat sebuah proses. Karena itulah Tuhan tidak menilai amalan ibadah manusia semata-mata hanya dari hasil akhirnya thok. Tapi tentu saja Tuhan mempertimbangkan proses dan segala kondisi dan situasi yang terjadi pada proses itu. Inilah yang harus dipelajari, diteladani dan diambil hikmahnya oleh manusia.
Published with Blogger-droid v1.7.4

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hindari Berbohong dalam Berpolitik: INDEKS KORUPSI PARTAI POLITIK VERSI KPK WATCH: QUALIFIED ATAU ABAL-ABAL?

Akhir-akhir ini banyak beredar di dunia maya Indeks Korupsi Partai Politik yang dibuat oleh semacam lembaga (entah lembaga resmi, entah lembaga dadakan)dengan nama KPK Watch sebagai berikut di bawah. Bagaimana metode perhitungan Indeks Korupsi Partai Politik versi KPK Watch ini? KPK Watch mengambil data jumlah koruptor selama periode 2002-2014 dari laman ICW. Setelah diperoleh angka jumlah koruptor, KPK Watch membagi angka tersebut dengan jumlah suara yang diperoleh pada pemilu 2009. Maka didapatlah angka Indeks Korupsi Partai Politik yang kemudian dipublikasikan via social media. Tentu saja publikasi ini tidak melewati publikasi media cetak dan media elektronik. Mengapa? Entahlah.. kita tidak akan membahas itu. Kita hanya akan membahas bagaimana metoda perhitungan KPK Watch ini dan apa pengaruhnya pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 ini. Tapi mungkin dari pembahasan ini kita akan paham kenapa Indeks Korupsi Partai Politik yang dikeluarkan KPK Watch ti

JIKA AKU SHOLAT, SEHARUSNYA AKU JADI SEORANG MUSLIM YANG SEPERTI APA? (II)

Pada tulisan sebelumnya sudah dijelaskan bahwa 3 ritual awal sholat: wudhu, takbiratul ihram dan iftitah jika dilakukan dengan menyelami maknanya maka akan mengantarkan kita ke dalam 2 kondisi:  1. Pengendalian ketergantungan diri pada kemelekatan duniawi 2. Pengendalian ego Jika setelah berwudhu kita bisa melepaskan diri dari kemelekatan duniawi, lalu setelah takbiratul ihram dan membaca doa iftitah kita sudah bisa menihilkan ego, maka itu berarti kita siap untuk masuk ke tahap selanjutnya dalam sholat: berdialog dengan Allah lewat surat Al Fatiha. Tanpa masuk ke dalam 2 kondisi di atas, kita tidak akan bisa berdalog dengan Allah. Bacaan-bacaan Al Fatiha kita menjadi meaningless... tanpa makna, dan tidak akan membekas apa-apa dalam kehidupan kita.  Jika kita sudah siap, mari kita mencoba masuk dalam tahap berdialog dengan Allah. Bagi sebagian orang, bisa berdialog dengan Allah adalah sesuatu yang sangat didambakan. Bagaimana tidak.. Sebagian kita berharap bisa berdialog da

PROBLEM KEJAHATAN dan FREE WILL

Problem Kejahatan yang merupakan pertanyaan paradoksial pertama kali diajukan oleh Epicuros (341-270SM). Disebut juga Trilema Epicuros: Tuhan, katanya ingin menghilangkan kejahatan tetapi tidak dapat. Atau Ia dapat tetapi tidak berniat. Atau Ia tidak berniat dan tidak dapat, atau Ia berniat dan dapat. Jika Ia berniat dan tidak dapat.. Ia lemah, yang tidak sesuai dengan sifat Tuhan. Jika Ia dapat dan tidak berniat... ia dengki, yang juga berbeda dengan sifat Tuhan. Jika Ia tidak berniat dan tidak dapat,.. Ia dengki dan lemah, sehingga bukan Tuhan. Jika Ia berniat dan dapat, yang sesuai dengan Tuhan, maka dari manakah kejahatan? Atau kenapa Ia tidak menghilangkannya? Pertanyaan paradoksial ini kemudian ditegaskan oleh David Hume dalam  Dialogues Concerning Natural Religion  (1779). Dan menjadi problem yang dijadikan salah satu alasan utama oleh kaum Atheis untuk menolak keberadaan Tuhan. Berbagai argumen untuk menjawab Problem Kejahatan ini pernah diajukan oleh para filsuf di antaranya:T