Saya membaca tulisan keren Gus Ulil Abshar Abdala tentang "Qutbiisme" dan Kepongahan Kaum Scientifik ... pas ketika saya sedang membuat tulisan ini .. tentang "Jebakan dalam Proses Belajar Manusia".
Bukan hanya Qutbiisme dan Saintisme saja yang tejebak dalam kepongahan seperti yang ditulis oleh Gus Ulil. Pada dasarnya, semua aliran .. semua bidang ilmu di dunia ini, jalan menuju ke arahnya memiliki 2 jebakan yang bisa membuat seseorang yang tengah dalam proses belajar jatuh terjerembab pada lubang yang sangat dalam.
Jebakan pertama adalah kesombongan. Memiliki kelebihan dari orang lain seringkali membuat kita terlena dan menjerumuskan manusia ke dalam jebakan kesombongan. Termasuk di sini: memiliki kelebihan ilmu. Ilmu apapun. Jangankan sains yang sedikit bersentuhan dengan nilai-nilai moral, jalan menuju ilmu humaniora dan agama pun bisa memiliki jebakan kesombongan ini.
Kesombongan adalah jebakan yang bisa menjerat manusia jatuh lebih dalam pada keterpurukan. Karena jika kesombongan sudah berhasil menjerat, maka kita akan terjerumus pada perasaan bahwa aku lebih tahu dan akulah yang paling benar dari orang lain.
Maka jangan heran jika mereka yang terperangkap dalam jerat ini bisa menghakimi orang-orang yang tidak sependapat. Dan ini terjadi di semua bidang ilmu dan aliran.
Di bidang ekonomi, penganut Marxisme dan Kapitalisme saling menghujat.
Di bidang politik, penganut demokrasi dan monarki saling tunjuk.
Di bidang agama, kaum fuqaha menunjuk orang-orang yang belajar hakekat itu sesat dan gila, sebaliknya, yang belajar hakekat menunjuk kaum fuqaha berpikiran dangkal dan sempit.
Lebih lanjut lagi .. perasaan bahwa akulah yang paling benar itu akan membuat seseorang berada pada tahap menutup diri untuk menerima input-input lain. Padahal semakin banyak input yang kita dapat, semakin banyak sintesa-sintesa yang bisa kita rumuskan. Dan banyaknya sintesa-sintesa yang kita rumuskan itu akan membuat pola pikir kita semakin terasah, ilmu pengetahuan kita juga akan semakin berkembang dan semakin luas.
Jika tidak ada kesombongan dalam hati, kita akan menyadari bahwa manusia itu adalah gudangnya salah. Dan dengan rendah hati kita akan mengganti pernyataan bahwa “Aku pasti benar, dan orang lain yang berbeda pasti salah” dengan pernyataan: “Aku sangat mungkin salah, dan orang lain bisa jadi benar.”
Maka dengan sendirinya kita akan semakin terbuka dalam mencari dan menerima referensi-referensi lain. Kita bisa menerima pendapat orang lain yang berbeda sehingga terbangun dialog dan diskusi yang konstruktif terhadap pengembangan diri bahkan terhadap perkembangan ilmu yang kita dalami.
Titik ini adalah tahapan yang dipenuhi oleh proses timbal balik. Oleh karena itu, mereka yang berhasil mengendalikan kesombongan dalam diri mereka dan berada di titik ini akan terlihat sangat pesat kemajuan pola pikirnya. Wawasannya pun semakin luas. Begitu pula sebaliknya. Kemunduran pola pikir dan kemunduran wawasan orang yang terjerumus pada kesombongan akan terjadi dengan sangat pesat.
Jadi jangan kaget kalau kita menemukan orang-orang yang berpendidikan tinggi, dengan gelar mentereng dan berjajar tapi berpikir menyalahi logika.
Jebakan yang kedua adalah salah memilih pintu masuk ilmu. Pintu masuk ilmu ini adalah referensi. Bisa berwujud guru maupun buku. Jika kita menuntut ilmu sebaiknya kita memiliki guru. Guru tidak hanya bertugas untuk mentransfer ilmu kepada murid, tapi juga membimbing jika murid melakukan kesalahan. Membaca buku saja tidak cukup karena kita juga harus memiliki tempat untuk bertanya agar terhindar dari kesalahan persepsi.
Semua ilmu di dunia ini pasti mempengaruhi karakter manusia. Benarkah?
Josep Situmorang pernah mengatakan dalam bukunya bahwa ilmu harus bebas nilai. Ilmu tidak boleh dipengaruhi oleh faktor eksternal.
Memang benar .. ilmu tidak boleh dipengaruhi oleh nilai-nilai dari luar ilmu itu. Namun demikian, pada dasarnya ilmu pengetahuan itu sendiri pasti mengandung nilai-nilai. Hanya saja tidak semua orang bisa menangkap nilai-nilai yang terkandung dalam suatu ilmu. Perlu keluasan hati untuk bisa menangkap nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Dan nilai-nilai inilah yang akan mempengaruhi karakter seseorang. Orang-orang yang bisa menangkap nilai-nilai ini akan semakin terasah karakternya.
Seorang guru yang baik karakternya pasti arif, bijaksana dan seperti padi. Semakin berisi ilmunya, semakin merunduk. Karena ia tidak hanya menguasai ilmu yang dipelajarinya tetapi juga mampu menangkap dan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam ilmu yang dikuasainya itu.
Maka dari itu, cara yang paling mudah yang bisa kita jadikan tolok ukur agar tidak salah dalam memilih guru adalah dengan melihat karakternya. Jika karakternya negatif, ucapan yang keluar dari mulutnya selalu negatif, dan lebih mengedepankan egonya, maka belum tentu ia benar-benar menguasai ilmunya. Dan kalaupun ia menguasai ilmunya, maka yang dikuasainya hanya teori saja, belum mampu menangkap nilai-nilai yang terkandung dari ilmu itu sendiri. Mungkin masih perlu proses yang lebih dalam lagi untuk meluaskan hatinya.
Yang menjadi masalah adalah jika kita berguru pada seseorang yang terjebak pada jebakan pertama: kesombongan. Kita bisa terjebak 2 kali. Sudah salah memilih guru, terjebak dalam perangkap kesombongan.. guru kita pun malah memupuk kesombongan dalam diri kita.. 😥😥
Jadi kalau kita telaah lagi, bukan ilmunya yang salah.. tapi subjek2 manusianya yang terperangkap pada 2 jebakan dalam proses belajar itu. Ilmu hanyalah hasil telaah pemikiran manusia berdasarkan fenomena-fenomena yang terjadi di alam semesta dan di sekitar manusia. Ilmu hanya objek manusia. Manusia sebagai subjeklah yang akan menentukan apakah ilmu itu bermanfaat atau malah merusak.
Selalu mintalah petunjuk kepada Sang Maha Pemilik Ilmu .. agar kita terhindar dari kedua jebakan tersebut.
Komentar
Posting Komentar