Langsung ke konten utama

Umat Di Persimpangan

Dulu saya pernah ngefans berat dengan Harun Yahya.. saya pikir Beliau adalah ilmuwan Muslim... sampai kemudian saya menyadari arti kata ilmuwan.. ðŸ˜ŠðŸ™ˆðŸ™ˆ Baru saya memahami kalau Harun Yahya tidak pernah melahirkan sebuah teori baru di bidang ilmu pengetahuan. Yang Beliau lakukan adalah mengumpulkan berbagai teori2 yang pernah ada di dunia ini dan mengaitkannya dengan Al Quran lalu mempublikasikannya. Maka tidak heran ketika saya membaca buku-buku Harun Yahya soal evolusi ~misalnya~ isi buku itu hampir sama dengan isi buku Biologi SMA saya. Meski begitu, tetap saja upaya Harun Yahya mengumpulkan dan menyalin semua teori-teori itu dalam buku-bukunya harus kita apresiasi :)

Lalu saya pernah juga membaca seseorang yang mengemukakan kritik terhadap Harun Yahya (kita singkat HY).. bahwa HY terlalu terburu2 mengaitkan ilmu pengetahuan dengan Al Quran. Dia menilai langkah Harun Yahya dalam menyimpulkan bahwa teori evolusi itu tidak sesuai dengan Al Quran sebagai sesuatu yang berbahaya.
Saya berkerut membacanya. Di mana bahayanya? Bukankah Al Quran itu isinya penuh dengan ilmu pengetahuan..? Katanya org2 Barat malah "mencuri" isi Al Quran untuk menggali ilmu pengetahuan dan memanfaatkannya untuk kemajuan teknologi mereka. Lalu mengapa kita jangan mengaitkan ilmu pengetahuan dengan Al Quran?

Ya.. memang Al Quran adalah sumber ilmu pengetahuan. Sebagai wahyu dari Allah.. ada banyak sekali ilmu pengetahuan yang terkandung di dalamnya. Tetapi kita tidak boleh lupa.. ketika kita menafsirkan ayat Al Quran, itu adalah penafsiran kita sebagai manusia.. sebagai makhluk.. yang ilmunya hanya setitik debu dari ilmu Allah. Dan kita tidak pernah bisa menjangkau seluruh ilmuNya. Artinya, tafsiran science kita terhadap Al Quran sangat mempunyai kemungkinan besar untuk salah. Kita hanya manusia biasa yang hanya mencoba untuk memahami setitik ilmuNya. Ya oke.. kalau ternyata penafsiran kita benar.. alhamdulillah.. tentunya bermanfaat bagi umat dan masyarakat pada umumnya. Tapi apa yg terjadi ketika penafsiran kita salah?? 

Misalnya... misalnya loh ini.. ketika kita mempercayai bahwa bumi itu datar dengan mengemukakan penafsiran2 kita terhadap beberapa ayat Al Quran. Dan itu digemakan serta dijadikan pegangan agama kita: Bahwa Al Quran mengatakan bumi itu datar.. bahwa karena Al Quran adalah wahyu Allah, maka yang disebutkan oleh Al Quran itu mutlak benar. 
Lalu apa yang terjadi ketika ada kosmonot2 terbang ke luar angkasa dan melihat dengan mata kepala sendiri bahwa bumi itu bulat? Atau apa yang terjadi ketika kita yang terbang dan melihat dengan mata kepala sendiri bahwa bumi itu bulat? Tentu bisa jadi orang akan menyimpulkan bahwa Al Quran itu salah. Padahal yang terjadi adalah manusianya, umatnya yang salah membaca, salah dalam menyimpulkan dan salah dalam menafsirkan ayat Al Quran. Tetapi ketika kita mengklaim bahwa kesimpulan kita, hipotesa kita adalah sama dengan yang ada di dalam Al Quran, maka otomatis Al Quran akan terkait dengan benar salahnya hipotesa kita.

Bukan berarti bahwa kita tidak boleh menggali ilmu pengetahuan dari Al Quran... bukan. Ini adalah 2 hal yang berbeda. Kita sangat boleh menggali ilmu pengetahuan dari Al Quran karena Al Quran memang sumber ilmu pengetahuan. Yang berbahaya adalah ketika kita selalu mengaitkan dan mengklaim bahwa hipotesa kita adalah sama dengan Al Quran. Semua yang terkait dengan sebuah fenomena selalu kita kaitkan dengan Al Quran. Jika ada ilmuwan yang menemukan sebuah teori, langsung kita klaim: "Itu sudah ada di dalam Al Quran!". Bahkan ada yang mengatakan bahwa , "Umat Islam mengalami kemunduran karena mereka semakin meninggalkan agamanya, sedangkan orang2 Barat maju karena mereka mempelajari Islam"
Sebenarnya apa yang kita ingin dapatkan dari klaim-klaim seperti itu? Kepuasankah? Pride? Harga diri?

Persoalan umat kita sekarang ini adalah kita sangat tergila-gila pada kulit, bukan inti dari agama dan Al Quran itu sendiri. Kita berpikir bahwa kemajuan umat Islam berawal dari nama yang besar,.. berawal dari harga diri umat kita yang besar. Kita tergila-gila pada klaim. Kita haus oleh berita-berita bahwa tokoh A, tokoh B, tokoh C menjadi mualaf. Kita haus mengklaim bahwa ilmuwan A dan ilmuwan B sesungguhnya muslim, sambil meninggalkan tradisi ilmu pengetahuan itu sendiri. Atau sambil terus bergelut dan memusuhi mazhab Islam sang Ilmuwan itu sendiri. Bahkan seringkali kita membuat dan mengarang sendiri klaim-klaim itu dengan fake news... berita palsu. Menyedihkan.

Padahal, klaim-klaim itu sama sekali tidak akan mempengaruhi kemajuan umat muslim. Rasa haus terhadap klaim seperti itulah yang hanya akan membuat umat Islam seperti buih di lautan. Banyak.. tapi tak memiliki kekuatan.
Kemajuan umat itu berasal dari budaya ilmu pengetahuannya, budaya membaca, budaya merenung dan berpikir, budaya menganalisa, budaya mengkritisi dan budaya mencari solusi. Dsn kita lihat bahwa budaya seperti ini bisa dikatakan sudah hampir punah dari umat kita. 
Budaya membaca, merenung, berpikir dan menganalisa kita telah berganti dengan budaya menerima secara bulat-bulat dan mengikuti apa yang dikatakan oleh ustadz atau tokoh lain. Budaya mengkritisi dan budaya mencari solusi telah berganti menjadi budaya bergunjing, mencela dan ghibah. Kita selalu merasa insecure terhadap minoritas, tanpa membangun kualitas diri.

Rasa haus terhadap klaim-klaim seperti di atas, dan rasa haus terhadap kebesaran dan harga diri semu itulah yang membuat kita terpuruk lebih jauh. Membuat kita berimajinasi tinggi dengan mengaitkan klaim sebuah teori ilmu pengetahuan dengan Al Quran. Dan ketika klaim itu ternyata salah, kita semakin terpuruk.

Lebih buruk lagi, klaim-klaim ini bukan hanya di tataran ilmu pengetahuan saja, tapi juga di tataran politik dan kekuasaan. Ini yang tengah menjadi fenomena sekarang ini. 
Kita mengaitkan Al Quran dengan politik dan kekuasaan hanya sebatas kulitnya saja. Sedangkan nilai-nilai yang terkandung dalam Islam itu sendiri kita tinggalkan. Prosesnya ini saja sudah menempatkan umat kita di titik yang rendah. Hoax dan fitnah pada akhirnya dijadikan senjata dan mudah dipercaya oleh umat kita. Terutama setelah kita meninggalkan budaya ilmu pengetahuan di atas: membaca, menganalisa, mengkritisi. Ini baru di tahap prosesnya.

Di tahapan outputnya, sama seperti yang terjadi terhadap klaim ilmu pengetahuan di atas, klaim terhadap politik dan kekuasaan yang mengaitkannya dengan agama juga akan sangat berbahaya. 
Sebagai contoh... Banyak yang merasa apa yang terjadi di DKI kemarin adalah kemenangan Islam. Padahal, Belum... Sekarang karena klaim itu, mau tidak mau semua orang menantikan hasil dari kepemimpinannya. Jangan salahkan orang yang mengaitkan hasil kepemimpinannya dengan agama, karena dari awal-awal kampanyenya, kita sendiri yang mengaitkannya dengan agama kita.

Pernah terjadi di pemilihan Walikota Medan. Ketika seorang Rahudman yang muslim memperebutkan posisi Walikota dengan seorang keturunan Tionghoa non muslim, Sofyan Tan. Tentunya isu pemimpin muslim dipergunakan sebagai komoditi dalam kampanye-kampanyenya. Rahudman menang. Apakah ini kemenangan Islam? Terlalu picik jika berpikir itu kemenangan Islam. Mengaitkan soal politik kekuasaan dengan agama saja sudah salah. 
Dan itu terbukti kemudian. Sang Walikota terkait berbagai kasus. Di antaranya kasus dugaan penganiayaan seorang pns (kasus lebih detailnya silakan digoogling sendiri), dan pada akhirnya Beliau harus melepaskan jabatannya karena terkait kasus korupsi. Apakah yang harus kita katakan jika di awal-awal kita mengklaim bahwa kemenangan Rahudman sebagai walikota adalah kemenangan Islam, sedangkan di akhirnya Beliau melakukan perbuatan yang jauh dari nilai-nilai Islam? Lalu pride apa yang kita dapatkan dengan semua ini?

Tidak.. Islam tidak pernah bisa maju dengan kebanggaan-kebanggaan semu seperti itu.
Islam akan maju jika kita mau kembali belajar membaca, menganalisa, merenung dan mengkritik sebuah pemikiran dan persoalan. Baik itu Al Quran maupun fenomena-fenomena di sekitar kita. Bukan hanya menghapalkan ayat-ayatnya ya.. Berpikirlah... berpikir.. berpikir.. berpikir... Itu yang disebutkan berkali-kali dalam Al Quran

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hindari Berbohong dalam Berpolitik: INDEKS KORUPSI PARTAI POLITIK VERSI KPK WATCH: QUALIFIED ATAU ABAL-ABAL?

Akhir-akhir ini banyak beredar di dunia maya Indeks Korupsi Partai Politik yang dibuat oleh semacam lembaga (entah lembaga resmi, entah lembaga dadakan)dengan nama KPK Watch sebagai berikut di bawah. Bagaimana metode perhitungan Indeks Korupsi Partai Politik versi KPK Watch ini? KPK Watch mengambil data jumlah koruptor selama periode 2002-2014 dari laman ICW. Setelah diperoleh angka jumlah koruptor, KPK Watch membagi angka tersebut dengan jumlah suara yang diperoleh pada pemilu 2009. Maka didapatlah angka Indeks Korupsi Partai Politik yang kemudian dipublikasikan via social media. Tentu saja publikasi ini tidak melewati publikasi media cetak dan media elektronik. Mengapa? Entahlah.. kita tidak akan membahas itu. Kita hanya akan membahas bagaimana metoda perhitungan KPK Watch ini dan apa pengaruhnya pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 ini. Tapi mungkin dari pembahasan ini kita akan paham kenapa Indeks Korupsi Partai Politik yang dikeluarkan KPK Watch ti

JIKA AKU SHOLAT, SEHARUSNYA AKU JADI SEORANG MUSLIM YANG SEPERTI APA? (II)

Pada tulisan sebelumnya sudah dijelaskan bahwa 3 ritual awal sholat: wudhu, takbiratul ihram dan iftitah jika dilakukan dengan menyelami maknanya maka akan mengantarkan kita ke dalam 2 kondisi:  1. Pengendalian ketergantungan diri pada kemelekatan duniawi 2. Pengendalian ego Jika setelah berwudhu kita bisa melepaskan diri dari kemelekatan duniawi, lalu setelah takbiratul ihram dan membaca doa iftitah kita sudah bisa menihilkan ego, maka itu berarti kita siap untuk masuk ke tahap selanjutnya dalam sholat: berdialog dengan Allah lewat surat Al Fatiha. Tanpa masuk ke dalam 2 kondisi di atas, kita tidak akan bisa berdalog dengan Allah. Bacaan-bacaan Al Fatiha kita menjadi meaningless... tanpa makna, dan tidak akan membekas apa-apa dalam kehidupan kita.  Jika kita sudah siap, mari kita mencoba masuk dalam tahap berdialog dengan Allah. Bagi sebagian orang, bisa berdialog dengan Allah adalah sesuatu yang sangat didambakan. Bagaimana tidak.. Sebagian kita berharap bisa berdialog da

Halloooo Indaah :)

Hallo Indah dan semua kawan yang bertanya tentang ulasan saya mengenai Data KPK Watch di Kompasiana ( http://politik.kompasiana.com/2014/04/03/analisa-sederhana-kejanggalan-data-kpkwatch-644252.html ). Sebetulnya saya merasa sangat tidak perlu membuat tulisan ini lagi. Karena jawaban atas tulisan Indah sudah sangat jelas di ulasan saya tersebut. Tapi mungkin Indah dan beberapa kawan yang lain belum bisa memahami kalau saya tidak menerangkannya secara grafis serta dengan contoh-contoh sederhana lainnya. Juga karena saran beberapa kawan ya pada akhirnya saya buat juga. Karena saya bukan anggota Kompasiana, maka saya tidak bisa memberikan komentar di tulisan Indah tsb. Mohon maaf kalau saya menjelaskannya dengan soal cerita matematika sederhana kelas 6 SD. Tidak bermaksud merendahkan dan menyamakan taraf pemahaman dengan anak kelas 6 SD, tapi memang ilmu statistik yang saya gunakan bukan ilmu statistik yang rumit, hanya ilmu statistik sederhana dan perbandingan sederhana yang ada di pel