Langsung ke konten utama

SATU FRASA BERJUTA KONSEKUENSI: TANGGUNG JAWAB

Melihat kehidupan di Jakarta, di Indonesia, di negeriku ini hanya 1 frasa yang bisa mengungkapkan kegelisahannya: Tanggung jawab.


Melihat anak-anak kecil mengendarai motor di jalan raya, hanya 1 frasa yang mengungkapkan kegelisahan masyarakat di sekitarnya: Tanggung jawab. Bukan soal kehebatanmu dalam mengemudikan kendaraan itu, anak-anakku. Kalian pastinya lebih hebat dalam hal itu dibandingkan aku. Tapi rasa tanggung jawab dalam berkendara di jalan raya itu yang kugelisahkan. Bagaimana bisa mengatakan tanggung jawab itu bisa kalian mengerti ketika kalian bertiga secara bersama-sama menaiki kendaraan itu? Adakah rasa tanggung jawab terhadap keselamatan pemilik jalan lainnya? Adakah rasa tanggung jawab untuk mematuhi rambu-rambu yang dibuat, yang sejatinya adalah konsekuensi ketika memegang kemudi.

Ah, Nak.. Jangankan kalian yang masih belia. Bahkan kami yang berumur inipun seringkali tidak mengerti apakah itu makna tanggung jawab.


Membaca berita 'menyontek massal' di media hanya 1 frasa yang mewakili kegelisahan masyarakat: tanggung jawab. Kemana tanggung jawab kalian, anak-anakku. Bagaimana kalian mempersiapkan diri menghadapi ujian, terimalah konsekuensinya. Lalu bagaimana dengan rasa tanggung jawab orang tua baik di sekolah maupun di rumah dengan makna pendidik dan pendidikan di dalam genggamannya? Jika seorang pejabat memerintahkan agar sekolah-sekolah di wilayahnya berusaha untuk memperoleh predikat 'lulus100%' sadarkah beliau bahwa hal tersebut sama sekali tidak ada hubungannya dengan pendidikan?

Ah.. Rasa Tanggung Jawab itu.. apakah mereka mengerti dengan makna pendidikan? tanggung jawab seorang pendidik sebelum mereka memutuskan untuk menjadi pendidik?


Mengetahui pemimpin yang tidak mau dikritik dan menerima masukan, memikirkan dirinya sendiri, hanya 1 frasa yang bisa mengungkapkan kegelisahan kita semua: Tanggung Jawab. Apa yang ada di dalam pikirannya ketika menerima tanggung jawab sebagai pemimpin?

Ini juga yang pernah kujelaskan panjang lebar pada si sulung tentang konsekuensi dari sebuah kepemimpinan dan jabatan.

Ketika kawannya ~Sang Ketua Regu~ meminta lembaran kode morse anakku karena miliknya tertinggal dan dia takut dihukum. Bahwa ketika Sang Ketua Regu mengajukan diri untuk menjadi Ketua, dia harus menyadari bahwa posisi itu memiliki tanggung jawab, sebuah konsekuensi. Jangankan kesalahannya sendiri, jika anggota regu melakukan kesalahan, ketua regu harus mau ikut bertanggung jawab.

Memutuskan mengajukan diri atau menerima jabatan harus mau bertanggung jawab jabatan. Termasuk terhadap orang-orang yang dipimpinnya.

Itulah yang jarang ditemui di negeri ini. Bukan berarti tidak ada.


Akan selalu ada di kepalaku, ketika pamanku yang menjabat sebagai Dirut PT Kereta Api Indonesia beserta jajaran direksinya beramai-ramai mengundurkan diri dari jabatannya setelah beberapa kecelakaan Kereta Api sekitar awal thn 2000-an. Tidak ada pelimpahan kesalahan kepada masinis kereta api atau penjaga palang pintu kereta api. Waktu itu saya berharap langkah pamanku itu akan diikuti pemimpin2 lainnya ketika memegang jabatan. Di kepalaku sudah terbayang negeri ini akan menjadi seperti Jepang, di mana pemimpinnya mau bertanggung jawab terhadap kinerjanya.

Sayangnya... langkah tersebut berhenti sampai di situ.


Ah... Bagi pemimpin2 kita, kursi jabatan terlalu empuk untuk ditinggalkan.


Ketika angkot dan kendaraan umum lainnya mengambil jalur yang berlawanan arah, berhenti di tengah jalan untuk menaikan dan menurunkan penumpang, sungguh mereka semua tidak mengerti akan arti tanggung jawab. Alasan yang digunakan seperti kejar setoran itu menggambarkan tanggung jawab yang kurang. Bukan sebaliknya: bertanggung jawab terhadap keluarga. Menjadi tanggung jawab merekalah sebagai supir angkot yang juga kepala keluarga untuk memberi pendidikan pada anak-anaknya bagaimana mencari nafkah yang benar. Tidak menghalalkan segala cara dengan merugikan orang lain.


Tanggung jawab, itu adalah kata-kata yang berputar di kepala ketika menyaksikan anak kecil yang ke sana ke mari menjual sekantong mangga untuk membeli baju. Kakek tua yang terlihat letih setelah memikul kacang tanah rebus untuk bertahan hidup. Adakah tanggung jawabku terhadap kehidupan mereka? Aku coba memaknainya. Ketika kita mencari nafkah dan telah mencukupi kebutuhan kita, maka orang-orang seperti mereka ikut menjadi tanggung jawab kita. Tanggung jawab kita yang telah memilih untuk hidup di antara mereka.


Tanggung jawab itu juga langsung ada di pundak kita begitu kita memilih untuk hidup di muka bumi. Tanggung jawab untuk hidup berdampingan dengan alam semesta.


Tanggung jawab. Satu kata dengan berjuta konsekuensi. Yang seringkali ditinggalkan oleh manusia. Yang seringkali dilupakan ketika manusia membuat satu keputusan. Dikalahkan oleh ego manusia. Dipinggirkan oleh silau dunia. Satu kata yang kita semua harus belajar menanamkannya di kepala dan hati kita.


Published with Blogger-droid v2.0.4

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hindari Berbohong dalam Berpolitik: INDEKS KORUPSI PARTAI POLITIK VERSI KPK WATCH: QUALIFIED ATAU ABAL-ABAL?

Akhir-akhir ini banyak beredar di dunia maya Indeks Korupsi Partai Politik yang dibuat oleh semacam lembaga (entah lembaga resmi, entah lembaga dadakan)dengan nama KPK Watch sebagai berikut di bawah. Bagaimana metode perhitungan Indeks Korupsi Partai Politik versi KPK Watch ini? KPK Watch mengambil data jumlah koruptor selama periode 2002-2014 dari laman ICW. Setelah diperoleh angka jumlah koruptor, KPK Watch membagi angka tersebut dengan jumlah suara yang diperoleh pada pemilu 2009. Maka didapatlah angka Indeks Korupsi Partai Politik yang kemudian dipublikasikan via social media. Tentu saja publikasi ini tidak melewati publikasi media cetak dan media elektronik. Mengapa? Entahlah.. kita tidak akan membahas itu. Kita hanya akan membahas bagaimana metoda perhitungan KPK Watch ini dan apa pengaruhnya pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 ini. Tapi mungkin dari pembahasan ini kita akan paham kenapa Indeks Korupsi Partai Politik yang dikeluarkan KPK Watch ti

JIKA AKU SHOLAT, SEHARUSNYA AKU JADI SEORANG MUSLIM YANG SEPERTI APA? (II)

Pada tulisan sebelumnya sudah dijelaskan bahwa 3 ritual awal sholat: wudhu, takbiratul ihram dan iftitah jika dilakukan dengan menyelami maknanya maka akan mengantarkan kita ke dalam 2 kondisi:  1. Pengendalian ketergantungan diri pada kemelekatan duniawi 2. Pengendalian ego Jika setelah berwudhu kita bisa melepaskan diri dari kemelekatan duniawi, lalu setelah takbiratul ihram dan membaca doa iftitah kita sudah bisa menihilkan ego, maka itu berarti kita siap untuk masuk ke tahap selanjutnya dalam sholat: berdialog dengan Allah lewat surat Al Fatiha. Tanpa masuk ke dalam 2 kondisi di atas, kita tidak akan bisa berdalog dengan Allah. Bacaan-bacaan Al Fatiha kita menjadi meaningless... tanpa makna, dan tidak akan membekas apa-apa dalam kehidupan kita.  Jika kita sudah siap, mari kita mencoba masuk dalam tahap berdialog dengan Allah. Bagi sebagian orang, bisa berdialog dengan Allah adalah sesuatu yang sangat didambakan. Bagaimana tidak.. Sebagian kita berharap bisa berdialog da

Halloooo Indaah :)

Hallo Indah dan semua kawan yang bertanya tentang ulasan saya mengenai Data KPK Watch di Kompasiana ( http://politik.kompasiana.com/2014/04/03/analisa-sederhana-kejanggalan-data-kpkwatch-644252.html ). Sebetulnya saya merasa sangat tidak perlu membuat tulisan ini lagi. Karena jawaban atas tulisan Indah sudah sangat jelas di ulasan saya tersebut. Tapi mungkin Indah dan beberapa kawan yang lain belum bisa memahami kalau saya tidak menerangkannya secara grafis serta dengan contoh-contoh sederhana lainnya. Juga karena saran beberapa kawan ya pada akhirnya saya buat juga. Karena saya bukan anggota Kompasiana, maka saya tidak bisa memberikan komentar di tulisan Indah tsb. Mohon maaf kalau saya menjelaskannya dengan soal cerita matematika sederhana kelas 6 SD. Tidak bermaksud merendahkan dan menyamakan taraf pemahaman dengan anak kelas 6 SD, tapi memang ilmu statistik yang saya gunakan bukan ilmu statistik yang rumit, hanya ilmu statistik sederhana dan perbandingan sederhana yang ada di pel