Ada diskusi yg menarik tadi siang dari twitterland. Saya menyimak seseorang menulis:
"kalau dia seorang akademisi pasti dia akan bisa menghargai perbedaan".
Hmmmm... Saya memiliki pandangan yang berbeda dengannya. Tingginya pendidikan seseorang sama sekali tidak bisa menjamin apakah orang tersebut bisa menghargai perbedaan.
Saya mengetahui beberapa guru besar perguruan tinggi ternama yg luar biasa keilmuan dalam bidang yg dipegangnya (hormat saya untuk ilmu mereka yg luar biasa), tapi sayangnya sama sekali tidak bisa menerima perbedaan pendapat. Bahkan ilmuwan tersebut tdk segan untuk menggunakan kekuasaan sebagai seorang profesor terhadap mahasiswanya. Dan apakah jumlah kasus seperti ini bisa dihitung dengan jari? Coba telaah lingkungan di sekitar kita.
Di Twitterland sering saya temui kenyataannya. Bagaimana pejabat publik senang adu mulut, yang bahkan topik pertengkarannya sdh out of topic keluar jauh dari persoalan, malah menyinggung2 persoalan pribadi. Tinggi pendidikannya sama sekali tidak tercermin dari caranya mengolah kata dan emosi. Bahkan mungkin ibu-ibu yang tak bersekolah di pedalaman nun jauh dari ibukota sana lebih terpelajar sikap dan perkataannya. Tapi mengapa hal seperti itu bisa terjadi? Mengapa pendidikan tinggi itu tak bisa berpengaruh terhadap cara mereka berpikir, cara mereka bersikap dan cara mereka berperilaku?
Yang pertama harus kita garisbawahi adalah perbedaan antara pendidikan dan pengajaran. Kita selama ini sudah menerima dari kecil bahwa sekolah itu sama dengan pendidikan. Benarkah istilah ini? Semua ilmu yang dipelajari di sekolah dari mulai SD sampai Perguruan Tinggi adalah sebuah proses pengajaran. Pengajaran adalah proses transfer ilmu yang terjadi dari satu pihak (biasa disebut guru) ke pihak lain (biasa disebut murid). Pengajaran tersebut akan bergeser menjadi sebuah proses pendidikan jika di dalamnya terdapat pula transfer nilai yang dapat mengubah sikap dan perilaku seseorang.
Hal lain yang membedakan antara pengajaran dan pendidikan adalah, jika dalam pengajaran transfer ilmu pengetahuan berlangsung secara searah, dalam pendidikan transfer nilai berlangsung secara dua arah. Dari guru ke murid, dan sebaliknya dari murid ke guru. Berdasarkan perbedaan tersebut, maka dalam tulisan ini kita akan menggunakan penulisan 'pendidikan' sebagai kata ganti pengajaran, karena salah kaprah pengertian tersebut yang telah lama kita terima.
Sebab lain dari tidak adanya hubungan antara tingginya tingkat 'pendidikan' dengan sikap dan perilaku seseorang adalah tidak banyak yang menyadari bahwa ilmu yang paling tinggi tingkatannya sebenarnya adalah ilmu yang tidak hanya merasuk (diterima dan diproses) di dalam otak, tetapi juga ilmu yang sudah merasuk ke dalam hati. Dalam proses pengajaran kita mengetahui bahwa kupu-kupu mengalami metamorfosis dari telur, menjadi ulat, kepompong dan pada akhirnya mengalami metamorfosis sempurna menjadi kupu-kupu. Tetapi dalam proses pendidikan kita mempelajari bahwa peristiwa tersebut adalah sebuah proses yang bukan saja menyangkut perubahan fisik biologis dari telur menjadi kupu-kupu, tetapi juga mempelajari nilai-nilai yang dapat kita ambil dari proses itu, misalnya:
1. bahwa kupu2 akan mengalami perubahan dari "si buruk rupa" menjadi "si cantik" setelah melewati sebuah proses bertahap, tidak berubah secara tiba-tiba dan seketika.
2. bahwa si kupu-kupu mendapatkan bentuk akhirnya setelah melalui sebuah proses yang diperjuangkannya sendiri, tanpa campur tangan dan bantuan pihak lain.
Contoh lain adalah apa yang bisa kita pelajari dari pohon jati. Secara ilmiah dari biologi kita mengetahui bahwa pohon jati termasuk tumbuhan berkambium, dikotil, berakar tunggang dengan kemampuan meranggas, yaitu kemampuan u mengurangi penguapan di musim kemarau dengan cara menggugurkan daun2nya. Namun di samping itu kita bisa mendapatkan banyak pelajaran dari pohon jati ini. Pohon Jati adalah pohon yang hampir seluruh bagiannya bisa dimanfaatkan. Kayu jati disukai oleh pengrajin karena sifatnya yang keras dan kuat namun ketika dipahat dia dapat langsung halus, tidak berserabut. Kemampuannya meranggas adalah kemampuannya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan di sekitarnya demi bertahan hidup.
Pelajaran- pelajaran yang kita dapat dari pohon Jati ini bisa kita ambil secara ilmiah dalam pengajaran sekolah-sekolah namun nilai-nilai yang kita dapatkan dari pohon jati itu hanya bisa kita serap setelah ilmu tersebut merasuk ke dalam hati.
Saya ingat ketika SMA guru matematika saya, Obos Bastaman menerangkan tentang limit dan pembagiannya. Lalu pembicaraan kami mengarah pada bilangan tak berhingga. Pak Obos mengajarkan pada kami untuk memahami bilangan tak berhingga ini dengan sebuah kebesaran Tuhan. Luas seluruh alam semesta ini mungkin lebih kecil dari bilangan tak berhingga itu. Sehingga sulit bagi seseorang untuk membayangkan bilangan tak berhingga tersebut. "Dengan bilangan tak berhingga saja kita akan merasa sangat kecil. Apalagi dengan Tuhan." Begitu kesimpulan yang diberikan oleh Pak Obos agar murid-muridnya memahami tentang bilangan tak berhingga.
Di atas hanyalah sedikit contoh dari bagaimana ilmu yang tidak hanya merasuk ke dalam otak, tapi juga diserap oleh hati. Dan ini tidak bisa dilakukan oleh orang-orang yang hanya bisa 'menerima'. Ini hanya bisa dilakukan (sebagaimana yang disebutkan dalam Al Quran) oleh orang-orang yang MAU berpikir. Kenapa 'MAU' disini saya gunakan dengan huruf besar? Karena sesungguhnya setiap manusia sudah diberikan fasilitas untuk berpikir, tapi tidak semua orang MAU menggunakan fasilitas tersebut.
Maka pada akhirnyalah kita mendapati kenyataan-kenyataan seperti yang kita lihat di awal tulisan. Kita pun dibuat heran kenapa 'pendidikan' tinggi tidak menjamin sifat dan karakter seseorang lebih manusiawi. Kita heran kenapa 'pendidikan' tinggi tidak menjamin seseorang mnghargai perbedaan pendapat. Padahal perbedaan pendapat itu sangat manusiawi. Wajah kita saja tidak ada dan tidak mau sama, kenapa lalu pendapat kita harus selalu sama?
Lebih dari itu, kenapa 'pendidikan' tinggi tidak menjamin untuk mengubah karakter seseorang lebih manusiawi adalah karena tidak semua orang dapat meresapkan ilmu yang diterimanya di otak ke dalam hati. Kenapa tidak semua orang bisa, padahal kita semua sebagai manusia memiliki fasilitas yang sama? karena tidak semua orang MAU untuk berpikir.
Komentar
Posting Komentar