Langsung ke konten utama

Handphone



Sejak kelas 2 SD Nisa sudah merayu Ayah Bundanya untuk membelikan handphone untuknya. Tentu saja karena kawan-kawannya sudah banyak yang menggunakan HP. Yah, meskipun sekolahnya hanya SD Negeri biasa yang menggratiskan pendidikan untuk murid-muridnya (sungguh gratis, karena dari pertama masuk sampai kelas IV sekarang ini kami tidak pernah mengeluarkan uang untuk sekolahnya kecuali 1 baju batik dan sepasang baju olahraga), meskipun murid-murid di sekolahnya berasal dari berbagai kalangan ekonomi, baik menengah ke atas maupun ekonomi lemah tapi soal trend yang satu ini kawan-kawannya dilanda demam handphone juga.

Kami bertiga –aku, Nisa dan Ayahnya- sudah sepakat mengijinkan Nisa menggunakan HP ketika SMP. Namun seringkali ketika ada berbagai iklan merk handphone baik di televisi maupun di suratkabar Nisa mulai goyah. Mencoba merayu Ayah Bundanya lagi. Dan tidak pernah bosan kami pun menjelaskan alasan kenapa sekarang bukanlah waktu yang tepat untuknya memiliki HP.

Nisa: Kenapa sih harus nunggu SMP? Nisa sudah nggak sabar.

Aku: Kenapa Nisa pikir sekarang Nisa butuh HP? Coba jelaskan (aku balik bertanya)

Nisa: Supaya bisa nelepon teman-teman.

Aku: Nisa kan setiap hari bertemu dengan teman-teman, kalau bisa ngobrol di istirahat sekolah, kenapa harus ngobrol di telepon? Apalagi kita punya telepon rumah, Nisa bisa pakai itu kalau Nisa butuh menghubungi teman-teman Nisa. Teman-teman Nisa juga kan bisa nelepon ke telepon rumah?

Nisa: Tapi kalau ada apa-apa di sekolah gimana Nisa bisa menghubungi Bunda?

Aku: Di Bude (pemilik warung) kan ada telepon yg bisa digunakan. Di ruang guru juga ada telepon, Nisa tinggal bilang ke Ibu Guru.

Nisa: Tapi Nisa pingin ngirim SMS.

Aku: ah,untuk apa ngirim SMS? Kalau perlu Nisa bisa nelepon kan pake telepon rumah?

Nisa: Tapi kok teman-teman sudah bolehpunya HP?

Aku: Kan tidak perlu ikut teman-teman. Mungkin mereka punya pertimbangan sendiri.

Nisa: Pertimbangan Bunda apa?

Aku: Loh kan sudah sering Bunda kasih tau pertimbangannya. Yang kita omongin tadi, fungsinya apa buat Nisa? Nisa butuh atau tidak? Kan tadi sudah dibicarakan ternyata Nisa belum butuh HP, Nisa masih bisa gunakan telepon rumah yang ada, Nisa masih bisa ngobrol sama teman-teman di sekolah, kalau belum dijemput atau ada apa-apa di sekolah Nisa bisa pake telepon sekolah untuk menghubungi Bunda. Yang kedua, Nisa sudah bisa belum menjaga barang Nisa? Nisa bisa nggak menjaga penghapus Nisa supaya nggak hilang? (Nisa langsung nyengir)

Bunda juga khawatir kalau Nisa bawa-bawa HP mengundang orang berbuat tidak baik ke Nisa. Nanti kalau ada orang menculik Nisa atau merampas HP Nisa gimana?

Nisa: Tapi kan HP harganya sekarang murah Bunda, cuman 200 ribu.

Aku: Kata siapa segitu murah?

Nisa: Hehehe... kata teman Nisa.

Aku: ya mungkin menurut teman Nisa 200 ribu itu murah. Tapi menurut penculik atau perampok itu 200 ribu bisa untuk makan 1 minggu. Jangankan HP yang 200 ribu, karena uang 50 ribu aja bisa loh anak diculik atau dirampok.

Sejak itu Nisa tidak pernah lagi merayu untuk memajukan waktu target memiliki HP. Tapi melihat cukup banyak anak-anak yang sudah membawa Blackberry, Nisa mulai tergiur dan merayu supaya HPnya nanti ketika SMP Blackberry saja. Maka mulai lagi kita berdebat mengenai azas manfaat.. hahahaa..

Aku: Blackberry itu gunanya untuk apa sih buat Nisa?

Nisa: Engg... eng.. eng..

Aku: Nah kan,.. fungsinya aja ga tau untuk apa, kenapa Nisa minta Blackberry?

Nisa: abisnya kereen gituu..

Aku: Ya kalaupun keren tapi Nisa ga butuh ya buat apa? Coba Nisa kalau menginginkan sesuatu itu disesuaikan dengan kebutuhan Nisa. Jangan karena melihat teman-teman make, Nisa jadi kepingin make. Nanti Nisa ketika SMP itu butuh HP hanya supaya Bunda gampang nyuruh Nisa pulang kalau Nisa kelayapan pulang sekolah...

Nisa: Ooowww tidak bisaaa!!

Yah.. begitulah.. anak-anak seusia Nisa memang gampang sekali terpengaruh kawan-kawannya. Sekarang mungkin handphone, entah besok-besok. Yang aku tekankan ke Nisa hanyalah dia harus bisa menjadi dirinya sendiri, jangan ikut-ikutan. Duh... benar kata ibuku, jadi orang tua jaman sekarang itu berat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hindari Berbohong dalam Berpolitik: INDEKS KORUPSI PARTAI POLITIK VERSI KPK WATCH: QUALIFIED ATAU ABAL-ABAL?

Akhir-akhir ini banyak beredar di dunia maya Indeks Korupsi Partai Politik yang dibuat oleh semacam lembaga (entah lembaga resmi, entah lembaga dadakan)dengan nama KPK Watch sebagai berikut di bawah. Bagaimana metode perhitungan Indeks Korupsi Partai Politik versi KPK Watch ini? KPK Watch mengambil data jumlah koruptor selama periode 2002-2014 dari laman ICW. Setelah diperoleh angka jumlah koruptor, KPK Watch membagi angka tersebut dengan jumlah suara yang diperoleh pada pemilu 2009. Maka didapatlah angka Indeks Korupsi Partai Politik yang kemudian dipublikasikan via social media. Tentu saja publikasi ini tidak melewati publikasi media cetak dan media elektronik. Mengapa? Entahlah.. kita tidak akan membahas itu. Kita hanya akan membahas bagaimana metoda perhitungan KPK Watch ini dan apa pengaruhnya pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 ini. Tapi mungkin dari pembahasan ini kita akan paham kenapa Indeks Korupsi Partai Politik yang dikeluarkan KPK Watch ti

Halloooo Indaah :)

Hallo Indah dan semua kawan yang bertanya tentang ulasan saya mengenai Data KPK Watch di Kompasiana ( http://politik.kompasiana.com/2014/04/03/analisa-sederhana-kejanggalan-data-kpkwatch-644252.html ). Sebetulnya saya merasa sangat tidak perlu membuat tulisan ini lagi. Karena jawaban atas tulisan Indah sudah sangat jelas di ulasan saya tersebut. Tapi mungkin Indah dan beberapa kawan yang lain belum bisa memahami kalau saya tidak menerangkannya secara grafis serta dengan contoh-contoh sederhana lainnya. Juga karena saran beberapa kawan ya pada akhirnya saya buat juga. Karena saya bukan anggota Kompasiana, maka saya tidak bisa memberikan komentar di tulisan Indah tsb. Mohon maaf kalau saya menjelaskannya dengan soal cerita matematika sederhana kelas 6 SD. Tidak bermaksud merendahkan dan menyamakan taraf pemahaman dengan anak kelas 6 SD, tapi memang ilmu statistik yang saya gunakan bukan ilmu statistik yang rumit, hanya ilmu statistik sederhana dan perbandingan sederhana yang ada di pel

JIKA AKU SHOLAT, SEHARUSNYA AKU JADI SEORANG MUSLIM YANG SEPERTI APA? (II)

Pada tulisan sebelumnya sudah dijelaskan bahwa 3 ritual awal sholat: wudhu, takbiratul ihram dan iftitah jika dilakukan dengan menyelami maknanya maka akan mengantarkan kita ke dalam 2 kondisi:  1. Pengendalian ketergantungan diri pada kemelekatan duniawi 2. Pengendalian ego Jika setelah berwudhu kita bisa melepaskan diri dari kemelekatan duniawi, lalu setelah takbiratul ihram dan membaca doa iftitah kita sudah bisa menihilkan ego, maka itu berarti kita siap untuk masuk ke tahap selanjutnya dalam sholat: berdialog dengan Allah lewat surat Al Fatiha. Tanpa masuk ke dalam 2 kondisi di atas, kita tidak akan bisa berdalog dengan Allah. Bacaan-bacaan Al Fatiha kita menjadi meaningless... tanpa makna, dan tidak akan membekas apa-apa dalam kehidupan kita.  Jika kita sudah siap, mari kita mencoba masuk dalam tahap berdialog dengan Allah. Bagi sebagian orang, bisa berdialog dengan Allah adalah sesuatu yang sangat didambakan. Bagaimana tidak.. Sebagian kita berharap bisa berdialog da