Langsung ke konten utama

CERITA TENTANG LUMUT DAN KARTINI





Semua pasti mengenal lumut. Si tumbuhan yang kecil mungil, terkadang tingginya pun tak mencapai 0.5 cm. Lumut tumbuh di tempat-tempat yang tak terawat pada sebuah bangunan.

Di zaman ketika masyarakat -mulai dari pejabat, artis sampai masyarakat biasa- meneriakkan go green seperti sekarang ini, apalah artinya lumut. Adakah yang sengaja menumbuhkan lumut di sekitar rumahnya atau lingkungannya? Pohon-pohon yang ditanam di sekitar rumah tentulah pohon besar, yang rimbun. Syukur-syukur pohon itu kemudian berbuah, sehingga si empunya rumah bisa menikmati hasilnya kelak. Atau paling tidak pohon besar yang rimbun, yang bisa menyimpan air. Seperti saya misalnya yang mengidam-idamkan menanam pohon trembesi di sekitar rumah. Tapi siapa yang ingin menanam lumut? Meskipun sebenarnya lumut-lumut tebal di hutan pedalaman sana menyimpan banyak air. Bahkan terkadang bisa menjadi sumber air. Tapi tentu saja tak ada yang berkehendak menanam lumut meskipun sedang semangat-semangatnya lantang berteriak GO GREEN!!

Lumut (meskipun warnanya hijau) memang ketinggalan di era Go Green ini. Mungkin kita semua lupa peran penting si Lumut. Ya, lumut adalah tumbuhan perintis. Lumut tumbuh di bebatuan, menghancurkan batu sehingga menjadi tanah. Setelah menjadi tanah itulah pohon-pohon lain bisa tumbuh. Maka tanpa lumut, tumbuhan lain mungkin tak akan pernah ada. Sekarang kita tinggal menanam pohon-pohon besar di atas tanah hasil rintisan si lumut.

Hari ini cerita tentang si lumut kembali memenuhi kepalaku. Teringat tentang peran Kartini yang menganalog pada peran si lumut. Di jamannya, pemikiran-pemikiran Kartini adalah sesuatu yang baru. Maka tak mudah untuk diterima adat istiadat yang berlaku di masyarakat ketika itu. Pemikiran Kartini adalah sebuah tekad kuat untuk memerdekakan dirinya. Mengikrarkan kemerdekaan diri bahwa tak boleh ada yang lain yang mendominasi dirinya kecuali Yang Maha Berhak. Termasuk adat istiadat yang membelenggu. Dan pernyataan kemerdekaan diri ini bukan hanya dilakoninya lewat pemikiran dan diskusi-diskusi dengan kawan2 Belandanya lewat surat menyurat. Tetapi diwujudkannya pula dengan memerdekakan wanita-wanita lain di lingkungannya lewat mengajar kaum wanita baca tulis.

Lalu apakah karena hari ini tepat hari Kartini, maka cerita tentang hubungan antara lumut dan Kartini ini terjadi? Tentu saja tidak. Menghayati peran Kartini selayaknya tidak hanya di hari Kartini saja. Ada banyak Kartini-Kartini saat ini. Seperti yang diceritakan sahabat saya Sari Safitri Mohan di twitternya: ada wanita2 yang berjuang mengajar murid-muridnya, ada juga wanita seperti Suster Apung yang menempuh segala resiko untuk mengobati masyarakat di kawasan terpencil yang terpisah lautan, dan masih banyak lagi wanita-wanita yang berjiwa ‘Kartini’. Kita bisa menganggap siapapun Kartini masa kini. Namun Kartini adalah Lumut si Tumbuhan Perintis. Jika berbicara mengenai Kartini2 masa kini, kita ibarat menceritakan pohon-pohon besar yang rimbun, kuat, banyak manfaatnya dan sedang ngetrend saat ini. Dan Kartini.. adalah si Lumut.

Ya... Kartini adalah si Lumut. Bercerita tentang pohon-pohon besar, si Lumut akan terlihat kecil dan terlupakan. Dan inilah yang terjadi saat ini. Semakin hari semakin banyak yang menggugat peran Kartini terhadap bangsa ini. Yang lebih ironis Kartini dinilai tidak merdeka karena mau dipoligami dan berhubungan dengan bangsa Belanda. Dan tahun ini bukanlah tahun pertama saya mendengar pandangan-pandangan seperti itu.

Yah setiap orang memiliki penilaiannya masing-masing. Saya sendiri bukan pengagum berat Kartini. Karena saya hidup di zaman ketika pohon-pohon besar sudah dapat tumbuh di atas tanah yang dirintis oleh si Lumut. Tentu saja karena saya tidak mengalami zaman ketika alam ini dipenuhi batu-batu besar dan si Lumut merintis agar pohon-pohon besar bisa tumbuh di atas hasil kerja kerasnya, maka saya tidak bisa sepenuhnya merasakan peran besar si Lumut. Yang saya lihat saat ini adalah Pohon-pohon besar! Yang saya inginkan untuk ditanam di halaman rumah saya adalah pohon-pohon besar. Yang sedang ngetrend saat ini adalah pohon-pohon besar. Maka siapakah yang mengingat peran si Lumut?

Apakah si Lumut berkehendak untuk diikutsertakan dalam jargon-jargon Go Green? Tentu saja tidak! Apakah Kartini berkeinginan untuk dijadikan sebagai Pahlawan? Apakah Kartini berkeinginan namanya dikenang dengan parade pakaian adat dan lomba masak? Tentu saja Tidak!

Lumut hanya berkehendak bekerja sesuai dengan kodratnya. Dan Kartini hanya berkehendak bekerja untuk memerdekakan wanita.

Saya memang bukan pengagum berat Kartini. Tapi saya tetap menghormati peran besar Lumut si tumbuhan perintis. Tanpa adanya si lumut, tak akan ada pohon-pohon besar. Maka saya menaruh hormat yang sangat besar pada si lumut, pada Kartini.

Selamat memerdekakan diri, Kartini-Kartini muda!!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hindari Berbohong dalam Berpolitik: INDEKS KORUPSI PARTAI POLITIK VERSI KPK WATCH: QUALIFIED ATAU ABAL-ABAL?

Akhir-akhir ini banyak beredar di dunia maya Indeks Korupsi Partai Politik yang dibuat oleh semacam lembaga (entah lembaga resmi, entah lembaga dadakan)dengan nama KPK Watch sebagai berikut di bawah. Bagaimana metode perhitungan Indeks Korupsi Partai Politik versi KPK Watch ini? KPK Watch mengambil data jumlah koruptor selama periode 2002-2014 dari laman ICW. Setelah diperoleh angka jumlah koruptor, KPK Watch membagi angka tersebut dengan jumlah suara yang diperoleh pada pemilu 2009. Maka didapatlah angka Indeks Korupsi Partai Politik yang kemudian dipublikasikan via social media. Tentu saja publikasi ini tidak melewati publikasi media cetak dan media elektronik. Mengapa? Entahlah.. kita tidak akan membahas itu. Kita hanya akan membahas bagaimana metoda perhitungan KPK Watch ini dan apa pengaruhnya pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 ini. Tapi mungkin dari pembahasan ini kita akan paham kenapa Indeks Korupsi Partai Politik yang dikeluarkan KPK Watch ti

JIKA AKU SHOLAT, SEHARUSNYA AKU JADI SEORANG MUSLIM YANG SEPERTI APA? (II)

Pada tulisan sebelumnya sudah dijelaskan bahwa 3 ritual awal sholat: wudhu, takbiratul ihram dan iftitah jika dilakukan dengan menyelami maknanya maka akan mengantarkan kita ke dalam 2 kondisi:  1. Pengendalian ketergantungan diri pada kemelekatan duniawi 2. Pengendalian ego Jika setelah berwudhu kita bisa melepaskan diri dari kemelekatan duniawi, lalu setelah takbiratul ihram dan membaca doa iftitah kita sudah bisa menihilkan ego, maka itu berarti kita siap untuk masuk ke tahap selanjutnya dalam sholat: berdialog dengan Allah lewat surat Al Fatiha. Tanpa masuk ke dalam 2 kondisi di atas, kita tidak akan bisa berdalog dengan Allah. Bacaan-bacaan Al Fatiha kita menjadi meaningless... tanpa makna, dan tidak akan membekas apa-apa dalam kehidupan kita.  Jika kita sudah siap, mari kita mencoba masuk dalam tahap berdialog dengan Allah. Bagi sebagian orang, bisa berdialog dengan Allah adalah sesuatu yang sangat didambakan. Bagaimana tidak.. Sebagian kita berharap bisa berdialog da

Halloooo Indaah :)

Hallo Indah dan semua kawan yang bertanya tentang ulasan saya mengenai Data KPK Watch di Kompasiana ( http://politik.kompasiana.com/2014/04/03/analisa-sederhana-kejanggalan-data-kpkwatch-644252.html ). Sebetulnya saya merasa sangat tidak perlu membuat tulisan ini lagi. Karena jawaban atas tulisan Indah sudah sangat jelas di ulasan saya tersebut. Tapi mungkin Indah dan beberapa kawan yang lain belum bisa memahami kalau saya tidak menerangkannya secara grafis serta dengan contoh-contoh sederhana lainnya. Juga karena saran beberapa kawan ya pada akhirnya saya buat juga. Karena saya bukan anggota Kompasiana, maka saya tidak bisa memberikan komentar di tulisan Indah tsb. Mohon maaf kalau saya menjelaskannya dengan soal cerita matematika sederhana kelas 6 SD. Tidak bermaksud merendahkan dan menyamakan taraf pemahaman dengan anak kelas 6 SD, tapi memang ilmu statistik yang saya gunakan bukan ilmu statistik yang rumit, hanya ilmu statistik sederhana dan perbandingan sederhana yang ada di pel