Langsung ke konten utama

Selamat Ulang Tahun, Dok..


“Saya punya satu rahasia yang akan saya ceritakan pada Ibu” kata dr Sugeng setengah berbisik padaku dan suami.

“Wah.. apa itu dok?”
 
“Sebenarnya waktu itu telat 30 menit saja mungkin Ibu sekarang sudah tak ada di sini lagi. Paru-paru membesar, menggeser jantung hingga ke tengah” papar dokter spesialis paru-paru itu sambil memandang Nisa yang berada di pangkuanku.
 Ah... kalau itu sih.. apa rahasianya?

“Dokter yang lain sudah pesimis dan menduga hanya bisa menyelamatkan bayi Ibu saja. Tapi saya bersikeras untuk menyelamatkan keduanya, Ibu dan bayi Ibu. Ibu tahu mengapa?”
Aku menggeleng.

“Karena ketika itu saya berulang tahun. Ulang tahun yg ke 50! Jadi saya berpikir saya harus berusaha untuk bisa menyelamatkan keduanya. Kalau berhasil ini adalah hadiah ulang tahun yang tak ternilai bagi saya” dr Sugeng membelai rambut Nisa. 
Bagi dr Sugeng Nisa adalah cucunya.

Aku terharu. Pantas saja suamiku bercerita hari itu dr Sugeng ~seorang Pulmonolog~  terus menerus menunggui aku di depan ruang ICU. Beliau terus memantau perkembangan kesehatanku di masa kritis. Ah.. padahal keluarganya tentu saja menunggunya pulang. Keluarganya tentu saja telah mempersiapkan sebuah acara. Ulang tahun ke 50! Setengah abad! Tapi dokter ini lebih memilih berdiri di depan ruang ICU memantau perkembanganku.

Itu adalah cerita 9 tahun yang lalu. Sejak itu setiap kali Nisa ulang tahun aku juga menghubungi dr Sugeng untuk mengirimkan kue atau bunga, atau sekedar mengucapkan selamat ulang tahun.

Satu kali aku mencoba mengucapkan selamat ulang tahun ala anak SMA. Meminta bantuan Shahnaz Haque dari Delta FM, kami membuat kejutan untuk dr Sugeng. Beliau terdengar sangat bahagia. Namun sungguh aku tak menyangka ketika itu dr Sugeng baru saja keluar dari ICU. Sebuah penyakit langka menyerang tulangnya. Memaksa beliau untuk menjalani kemoterapi. Sebagian tulang kakinya dibuang dan dipasang pen. Sempat berada dalam kondisi kritis, Alhamdulillah saat ini dr Sugeng bisa beraktifitas seperti biasanya. Sudah banyak kawan dan saudara yang aku rekomendasikan pada dr Sugeng. Karena beliau sangat memperhatikan kesehatan pasien dan sama sekali tidak memandang pasien sebagai objek bisnis.

Satu kali saya membawa Om Darry, sahabat Ayah saya untuk berobat ke dr Sugeng. Keluhannya sesak nafas. Setelah melakukan beberapa pemeriksaan dr Sugeng hanya menyuruh Om Darry untuk mengecilkan perutnya. "Tidak apa-apa", katanya. Selanjutnya dr Sugeng memberikan penjelasan mengapa Om Darry merasa sesak nafas. Penjelasan yang sangat mendetail dan mudah dimengerti orang awam seperti kami. Inilah yang aku suka dari dokter ini. Dokter yang bersedia meluangkan waktu untuk berkomunikasi dengan pasiennya. Bersedia menjelaskan dan memberik sedikit ilmunya... artinya Beliau tidak menganggap kami sebagai objek bodoh yang hanya bisa menerima resep lalu mengeluarkan uang begitu saja.

Kali lain saya membawa keponakan saya dari Medan. Kurus... kecil.. batuk-batuk dan telah menjalani pengobatan TB. Setelah melakukan serangkaian prosedur pemeriksaan, hasilnya negatif TB. Dokter mengatakan pengobatan TB yang dijalaninya itu berlebihan. Lagi-lagi dokter ini memberikan penjelasan panjang lebar. Dari Beliau aku memahami bahwa warna lendir dahak bisa menjadi penanda penyebab sakit. Dan beliau menjelaskannya secara mendetail layaknya seorang dosen pada mahasiswanya. 

Dulu saya pernah menonton drama Korea "Jewel in The Palace". Tentang seorang Jang Geum yang berjuang untuk menjadi dokter istana. Ada seorang gurunya yang luar biasa dingin. Satu ketika Jang Geum dan seorang sahabatnya menempuh ujian untuk mendiagnosis pasien. Jang Geum yang luar biasa pintar ini langsung mendeteksi penyakit pasien dari pemeriksaan denyut nadi. Sedangkan sahabatnya yang sedikit bodoh itu harus mewawancarai pasien. Bertanya-tanya tentang gejala dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan pasien sebelum jatuh sakit.
Ketika hasil ujian keluar Jang Geum merasa sangat terkejut karena ternyata ia tidak lulus. Sedangkan sahabatnya yang sedikit bodoh itu menjadi satu-satunya siswa yang lulus ujian. Awalnya Jang Geum protes kepada gurunya... bagaimana ia yang merasa bisa menjalani ujian dengan lancar dan cepat tidak diluluskan? Namun pada akhirnya Jang Geum tersadar bahwa komunikasi antara dokter dan pasien adalah satu faktor penting yang ia lupakan dan tinggalkan, padahal itulah metoda diagnosis yang paling penting bagi seorang dokter. Jang Geum belajar banyak bagaimana cara berkomunikasi antara dokter dan pasien dari sahabatnya.

Dari drama Korea ini juga saya mengamati bahwa dokter-dokter di masa lalu tidak dimanja oleh teknologi (karena teknologinya belum semaju saat ini). Mereka benar-benar harus berkomunikasi dengan pasien, mendiagnosa dari gejala-gejala yang timbul. Sebagai orang awam, sungguh saya jarang sekali menemukan dokter seperti itu sekarang ini. Sebagian besar dokter bergantung pada teknologi. Pemeriksaan lab, pemeriksaan rontgen, USG, CT Scan dan lain sebagainya. Yang semua itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Namun berbeda dengan dr Sugeng. Melihat cara Beliau mendiagnosa dan mewawancarai pasien mengingatkan saya pada cerita dokter-dokter di masa lalu. Bagaimana beliau dengan teliti mendengar bunyi nafas, mengamati tingkah laku pasien, membangun komunikasi dengan pasien.. sungguh sesuatu yang baru buat saya. Luar biasa.. saya tidak hanya berkonsultasi dengan seorang dokter, tapi juga berkonsultasi dengan seorang guru. Saya yang awam ini tidak hanya belajar mengenai kesehatan, tapi juga belajar bagaimana seseorang harus bersikap ketika menolong orang. Tidak merasa dirinya sebagai dewa penyelamat, hubungan antara dokter dan pasien adalah hubungan yang egaliter, bahkan saling belajar. Maka hormat saya Beliau luar biasa tinggi. Rasanya, hutang saya begitu besar pada Beliau. Bukan hanya hutang nyawa, namun juga berhutang karena saya banyak mendapat pelajaran dari Beliau.

Namun tahun 2010 kemarin aku mengutuki diri sendiri. Bisa-bisanya aku terlupa ulang tahun dokter baik hati itu. Besok, 23 Maret 2011 Nisa dan dr Sugeng ulang tahun. Nisa 9 tahun, dr Sugeng 59 tahun. Aku sudah mendaftar sebagai pasiennya besok Rabu. Tentu saja aku sehat (alhamdulillah). Aku meminta nomor terakhir sebagai pasien. Selamat ulang tahun dr Sugeng, semoga selalu dalam keadaan sehat walafiat, sehingga selalu bisa menolong orang-orang yang membutuhkan dokter :)

Widget Lomba Blog FPKR kecil
Blog FPKR 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hindari Berbohong dalam Berpolitik: INDEKS KORUPSI PARTAI POLITIK VERSI KPK WATCH: QUALIFIED ATAU ABAL-ABAL?

Akhir-akhir ini banyak beredar di dunia maya Indeks Korupsi Partai Politik yang dibuat oleh semacam lembaga (entah lembaga resmi, entah lembaga dadakan)dengan nama KPK Watch sebagai berikut di bawah. Bagaimana metode perhitungan Indeks Korupsi Partai Politik versi KPK Watch ini? KPK Watch mengambil data jumlah koruptor selama periode 2002-2014 dari laman ICW. Setelah diperoleh angka jumlah koruptor, KPK Watch membagi angka tersebut dengan jumlah suara yang diperoleh pada pemilu 2009. Maka didapatlah angka Indeks Korupsi Partai Politik yang kemudian dipublikasikan via social media. Tentu saja publikasi ini tidak melewati publikasi media cetak dan media elektronik. Mengapa? Entahlah.. kita tidak akan membahas itu. Kita hanya akan membahas bagaimana metoda perhitungan KPK Watch ini dan apa pengaruhnya pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 ini. Tapi mungkin dari pembahasan ini kita akan paham kenapa Indeks Korupsi Partai Politik yang dikeluarkan KPK Watch ti

Halloooo Indaah :)

Hallo Indah dan semua kawan yang bertanya tentang ulasan saya mengenai Data KPK Watch di Kompasiana ( http://politik.kompasiana.com/2014/04/03/analisa-sederhana-kejanggalan-data-kpkwatch-644252.html ). Sebetulnya saya merasa sangat tidak perlu membuat tulisan ini lagi. Karena jawaban atas tulisan Indah sudah sangat jelas di ulasan saya tersebut. Tapi mungkin Indah dan beberapa kawan yang lain belum bisa memahami kalau saya tidak menerangkannya secara grafis serta dengan contoh-contoh sederhana lainnya. Juga karena saran beberapa kawan ya pada akhirnya saya buat juga. Karena saya bukan anggota Kompasiana, maka saya tidak bisa memberikan komentar di tulisan Indah tsb. Mohon maaf kalau saya menjelaskannya dengan soal cerita matematika sederhana kelas 6 SD. Tidak bermaksud merendahkan dan menyamakan taraf pemahaman dengan anak kelas 6 SD, tapi memang ilmu statistik yang saya gunakan bukan ilmu statistik yang rumit, hanya ilmu statistik sederhana dan perbandingan sederhana yang ada di pel

JIKA AKU SHOLAT, SEHARUSNYA AKU JADI SEORANG MUSLIM YANG SEPERTI APA? (II)

Pada tulisan sebelumnya sudah dijelaskan bahwa 3 ritual awal sholat: wudhu, takbiratul ihram dan iftitah jika dilakukan dengan menyelami maknanya maka akan mengantarkan kita ke dalam 2 kondisi:  1. Pengendalian ketergantungan diri pada kemelekatan duniawi 2. Pengendalian ego Jika setelah berwudhu kita bisa melepaskan diri dari kemelekatan duniawi, lalu setelah takbiratul ihram dan membaca doa iftitah kita sudah bisa menihilkan ego, maka itu berarti kita siap untuk masuk ke tahap selanjutnya dalam sholat: berdialog dengan Allah lewat surat Al Fatiha. Tanpa masuk ke dalam 2 kondisi di atas, kita tidak akan bisa berdalog dengan Allah. Bacaan-bacaan Al Fatiha kita menjadi meaningless... tanpa makna, dan tidak akan membekas apa-apa dalam kehidupan kita.  Jika kita sudah siap, mari kita mencoba masuk dalam tahap berdialog dengan Allah. Bagi sebagian orang, bisa berdialog dengan Allah adalah sesuatu yang sangat didambakan. Bagaimana tidak.. Sebagian kita berharap bisa berdialog da