Sudah 2 bulan jalan menuju komplek perumahan tetangga itu ditutup. Ada pembangunan pintu gerbang katanya. Aku termasuk salah seorang yang merasa kesulitan dengan penutupan jalan tersebut. Komplek perumahan itu letaknya tidak jauh dari komplek rumahku. Sekitar 500 m. Jika aku dari rumah menuju Bintaro jalan pintas terdekat adalah melewati komplek itu. Terutama setelah jalan pintas melewati STAN ditutup. Kini dengan terpaksa aku harus melewati jalan yang sedikit memutar dan.... berlubang-lubang.
Sudah 2 bulan jalan menuju komplek perumahan tetangga ditutup, berarti sudah 2 bulan juga aku tidak melihat seorang kakek-kakek yang biasa berjualan pisang di komplek itu. Pertama kali melihat Sang Kakek sekitar 4 tahun yang lalu. Sebelum Papih sakit. Seminggu sekali Papih datang ke Jakarta dengan travel. Aku yang biasa menjemputnya di Bintaro. Ketika melewati komplek itulah kami melihat Sang Kakek. Sudah sangat tua, ketika itu dia berumur 80 tahun. Bungkuk dan Keriput. Langkahnya kecil dan lambat, berjalan tertatih-tatih menarik gerobak pisang. Kacamatanya tebal. Giginya tanggal hampir seluruhnya. Selalu memakai topi yang sama dari hari ke hari.
“Duh.. eta Kakek, karunya (duh itu Kakek, kasihan)” kata Papih kepadaku ketika itu. Siapa sih yang tidak iba melihat Sang Kakek? Setua itu masih harus mencari nafkah dengan menarik gerobak yang berat. Rumahnya memang tidak terlalu jauh dari komplek itu. Tapi ada jalan curam menurun. Terbayang bagaimana nanti ketika pulang Sang Kakek harus berjalan mendaki jalan itu.
Kalau mendengar Sang Kakek bicara rasanya geli. Mungkin karena giginya yang sudah hampir tanggal semua, dipadu dengan logat Betawi yang kental. Dan satu hal lagi: kita bertanya 3 patah kata, jawaban Sang Kakek panjaaaaaaaaaaaaang sekali. Satu waktu pernah aku komentari kebiasaannya merokok maka Kakek itu pun menjawabnya dengan bercerita paaaaaanjang lebar. Tentang bagaimana nasehat dokter, tentang bagaimana Ia sering diomelin Nenek (istrinya) di rumah, tentang bagaimana Ia diam-diam merokok ketika keluar rumah.
Ingatannya masih sangat kuat. Satu kali pernah aku coba mengujinya.
“Pisang tanduknya berapa Ki?”
“Haaa?? Lima rebu sebiji”
“Weleeeeh... mahal banget. Kalau sesisir berapa?”
“Haaa?? Kuduna mapuluh rebu, tigapuluh rebu dah!!”
“Looo... nggak salah nih Ki?”
“Ngga! Coba dah itung ndiri ama Eneng ada berapa noh”
Kami pun menghitungnya bersama. Benar ada 10, jadi memang seharusnya 50 ribu. Hebat juga ingatannya, meskipun seringkali dalam menentukan harga Sang Kakek terkesan asal-asalan. Terkadang sangat mahal, terkadang pula sangat murah.
Seperti satu kali aku ‘terjebak’ langsung disodori untuk membeli semua barang dagangannya. Sebelum aku menyatakan persetujuanku karena terkejut dan kebingungan dengan tawaran tersebut, Kakek itu sudah mengambil sebuah karung dan memasukkan semua dagangannya. Aku panik.. belum sempat otakku yang lamban ini berpikir kepada siapa saja pisang-pisang sekarung itu harus kuhibahkan agar tidak busuk, Sang Kakek langsung memvonis: “dah!! Tujuh puluh rebu aja dah!! Noh!! Ambil semua yak..? yak..? yak..?” Baru aku membuka mulut untuk protes Kakek itu langsung menyerbu: “udeeeeeeeh.. ambil aje semuanye yak!! biar beres. Aki kudu cepet pulang nii, ditunggu Nenek di rumah noh..blaa.. bla.. bla.. bla..” Akhirnya aku pun angkat tangan. Menyerah. Sambil membayangkan apa pendapat orang rumah jika aku membawa sekarung pisang.
Orang seperti Sang Kakek seringkali aku temui di Yogya. Tetap produktif di usia senja. Seberat apapun itu. Tukang kebun yang bekerja pada Ibuku ketika di Yogya hampir serupa dengan Sang Kakek penjual pisang ini. Kami memanggilnya Mbah. Tinggalnya jauh di Prambanan kalau tidak salah. Masih sehat dan kuat ketika itu. Hanya giginya saja yang tanggal semua. Maka ketika Alm Emak (pengasuhku) memberikan roti bakar untuk Mbah dan bertanya apakah roti itu enak, si Mbah yang selalu tersenyum karena ompong itu berkata: “aloooooott..”
Sang Kakek penjual pisang dan Si Mbah adalah inspirasi. Kita terkagum-kagum dengan kegigihan mereka bekerja. Terkadang kita merasa iba, sudah setua itu masih bekerja berat. Namun itulah yang membuat merekat tetap sehat. Itulah yang membuat ingatan mereka tetap kuat. Itulah yang membuat mereka merasa berarti. Maka seringkali kita temui orang-orang tua seperti itu tetap ngotot untuk bekerja meskipun anak cucunya melarang mereka.
Komentar
Posting Komentar