Langsung ke konten utama

Cendikiawan, Yang Terkungkung dan Yang Merdeka..



Menyaksikan sidang Pansus Century hari Senin yang lalu sedikit menggelitikku. Pemanggilan saksi2 ahli. Diambil dari orang2 yang berkompeten. Orang2 yang dianggap pakar di bidangnya. Pertama di bidang ekonomi. Dan yang kedua di bidang hukum. Yang menarik bagiku adalah pemanggilan saksi2 ahli di bidang hukum. Dua orang professor disandingkan. Terkadang yang satu pro dan satu lagi kontra dengan yang pertama.

Mereka berdua mewakili dan berbicara atas nama ilmu pengetahuan dengan membawa gelar profesornya. Dan aku tertarik dengan Prof. Has Natabaya. Bukan dari pendapat2nya yang saya nilai lebih netral dan berpihak pada ilmu pengetahuan yang diusungnya. Tapi aku tertarik dengan cara beliau menyampaikan pendapatnya. Beliau membawa berbagai macam buku peraturan dan perundang2an. Setiap menjawab pertanyaan beliau selalu membuka buku dan membacakan isi buku yang menjadi landasan argumentasinya. Sebetulnya sikap ini memperlihatkan 2 hal: yang pertama adalah beliau murni mewakili ilmu pengetahuan, bukan mewakili satu pihak. Yang kedua adalah sikap rendah hati.

Tapi dari pemanggilan 2 saksi ahli yang membawa gelar profesornya ini menerbitkan sebuah pertanyaan bagiku: ke manakah sebetulnya ilmu pengetahuan harus berpihak? Karena tentunya mengatasnamakan ilmu pengetahuan selalu mengesankan kebenaran. Padahal kita tahu kebenaran yang berasal dari manusia selalu membawa celah dan kelemahan. Dan celah tersebutlah yang sering disalahgunakan untuk pembelaan kepentingan2 tertentu.

Ilmu pengetahuan berasal dari alam semesta beserta isinya. Maka pemanfaatan ilmu pengetahuan pada hakikatnya adalah untuk menjalani kehidupan dalam alam ini dengan sebaik mungkin. Dengan demikian Ilmu2 Alam haruslah berpihak pada alam, dan ilmu2 sosial harus berpihak pada masyarakat. Artinya sudah jelas hukum yang dilahirkan dari ilmu pengetahuan harus berpihak pada 2 hal tersebut: alam dan masyarakat.

Jika –sebagaimana ketidaksempurnaan manusia- ada produk2 hukum yang memiliki celah penafsiran yang berbeda sudah seharusnyalah kita kembalikan kepada hakikatnya di atas. Penafsiran manakah yang harus kita ambil, sudah pasti penafsiran yang tidak memberikan dampak merugikan bagi alam dan masyarakat.

Maka sangatlah menyedihkan jika seorang cendikiawan, seorang ahli ilmu pengetahuan, seseorang yang mengatasnamakan ilmu pengetahuan tidak berpihak pada alam dan masyarakat, tapi berpihak pada kepentingan, baik itu kepentingan pribadi maupun kekuasaan.
Ali Shariati dalam bukunya Tugas Cendikiawan Muslim menulis:

“Dan mengapa massa kemanusiaan harus dikucilkan dari manfaat ilmu? Dan mengapa kebangunan mereka, kepemimpinan mereka dan cita-cita mereka dibiarkan tidak tersentuh oleh jenius dan bimbingan ilmu? Apa gunanya seorang sosiolog, kalau ia tidak mampu memberi tahu kita bagaimana harus dan membetuk masyarakat kita? Bagaimana ia dapat membantu masyarakat dan menguasai persoalan-persoalan sosial dalam masyarakat jika ia membatasi diri pada suatu jabatan di universitas, mengajar dan menganalisa sosiologi terkurung dalam tembok kamar kelasnya? Sosiolog semacam ini hanya akan menjadi agen penguasa.”

M. Yunus merasa prihatin dengan cendikiawan2 yang selama ini berada di menara gading. Dan dari keprihatinannya itu M Yunus turun ke bawah, turun ke masyarakat. Benar2 turun dengan berjalan mengetuk dari pintu ke pintu rumah rakyat miskin. Keberpihakannya jelas pada masyarakat. Namun yang lebih penting lagi, keberpihakan seorang cendikiawan kepada masyarakat harus diiringi dengan terbukanya komunikasi antara sang cendikiawan dengan masyarakat. Semakin tinggi ilmu sang cendikiawan terlihat dari bagaimana komunikasinya dengan masyarakat, bagaimana bahasa ilmunya bisa dimengerti oleh masyarakat biasa. Karena dengan kemampuannya mengkomunikasikan ilmu kepada masyarakat itulah hakikat yang sebenarnya dari seorang cendikiawan. Itulah keberadaan yang sesungguhnya dari seorang cendikiawan. Maka alangkah terkejutnya saya ketika seorang anggota Pansus mempertanyakan kepada Sang Profesor bahwa tulisan Sang Profesor sudah membuat masyarakat bingung, salah seorang profesor itu berkata: “Orang bingung bukan urusan saya”….

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hindari Berbohong dalam Berpolitik: INDEKS KORUPSI PARTAI POLITIK VERSI KPK WATCH: QUALIFIED ATAU ABAL-ABAL?

Akhir-akhir ini banyak beredar di dunia maya Indeks Korupsi Partai Politik yang dibuat oleh semacam lembaga (entah lembaga resmi, entah lembaga dadakan)dengan nama KPK Watch sebagai berikut di bawah. Bagaimana metode perhitungan Indeks Korupsi Partai Politik versi KPK Watch ini? KPK Watch mengambil data jumlah koruptor selama periode 2002-2014 dari laman ICW. Setelah diperoleh angka jumlah koruptor, KPK Watch membagi angka tersebut dengan jumlah suara yang diperoleh pada pemilu 2009. Maka didapatlah angka Indeks Korupsi Partai Politik yang kemudian dipublikasikan via social media. Tentu saja publikasi ini tidak melewati publikasi media cetak dan media elektronik. Mengapa? Entahlah.. kita tidak akan membahas itu. Kita hanya akan membahas bagaimana metoda perhitungan KPK Watch ini dan apa pengaruhnya pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 ini. Tapi mungkin dari pembahasan ini kita akan paham kenapa Indeks Korupsi Partai Politik yang dikeluarkan KPK Watch ti

Halloooo Indaah :)

Hallo Indah dan semua kawan yang bertanya tentang ulasan saya mengenai Data KPK Watch di Kompasiana ( http://politik.kompasiana.com/2014/04/03/analisa-sederhana-kejanggalan-data-kpkwatch-644252.html ). Sebetulnya saya merasa sangat tidak perlu membuat tulisan ini lagi. Karena jawaban atas tulisan Indah sudah sangat jelas di ulasan saya tersebut. Tapi mungkin Indah dan beberapa kawan yang lain belum bisa memahami kalau saya tidak menerangkannya secara grafis serta dengan contoh-contoh sederhana lainnya. Juga karena saran beberapa kawan ya pada akhirnya saya buat juga. Karena saya bukan anggota Kompasiana, maka saya tidak bisa memberikan komentar di tulisan Indah tsb. Mohon maaf kalau saya menjelaskannya dengan soal cerita matematika sederhana kelas 6 SD. Tidak bermaksud merendahkan dan menyamakan taraf pemahaman dengan anak kelas 6 SD, tapi memang ilmu statistik yang saya gunakan bukan ilmu statistik yang rumit, hanya ilmu statistik sederhana dan perbandingan sederhana yang ada di pel

JIKA AKU SHOLAT, SEHARUSNYA AKU JADI SEORANG MUSLIM YANG SEPERTI APA? (II)

Pada tulisan sebelumnya sudah dijelaskan bahwa 3 ritual awal sholat: wudhu, takbiratul ihram dan iftitah jika dilakukan dengan menyelami maknanya maka akan mengantarkan kita ke dalam 2 kondisi:  1. Pengendalian ketergantungan diri pada kemelekatan duniawi 2. Pengendalian ego Jika setelah berwudhu kita bisa melepaskan diri dari kemelekatan duniawi, lalu setelah takbiratul ihram dan membaca doa iftitah kita sudah bisa menihilkan ego, maka itu berarti kita siap untuk masuk ke tahap selanjutnya dalam sholat: berdialog dengan Allah lewat surat Al Fatiha. Tanpa masuk ke dalam 2 kondisi di atas, kita tidak akan bisa berdalog dengan Allah. Bacaan-bacaan Al Fatiha kita menjadi meaningless... tanpa makna, dan tidak akan membekas apa-apa dalam kehidupan kita.  Jika kita sudah siap, mari kita mencoba masuk dalam tahap berdialog dengan Allah. Bagi sebagian orang, bisa berdialog dengan Allah adalah sesuatu yang sangat didambakan. Bagaimana tidak.. Sebagian kita berharap bisa berdialog da