Langsung ke konten utama

Postingan

Ketika Tuhan Memerintahkan Seorang Pendosa Untuk Meminta Pada-NYA

Pernah aku bertahun-tahun tidak mampu berdoa untuk memohon sesuatu pada-Nya. Rasanya malu sekali memohon pada-Nya. Begitu banyak kasih sayang-Nya padaku, tapi aku tetap melakukan dosa. Setelah sholat aku hanya berdzikir, lalu langsung melipat mukena tanpa berdoa. Begitu terus bertahun-tahun.. Hingga satu saat, setelah mengantarkan anak sekolah, di mobil sambil mendengarkan materi Ngaji Filsafat Pak Faiz dari Youtube aku berpikir tentang keenggananku untuk berdoa. Aku lupa waktu itu materinya tentang apa. Tapi seolah-olah menyambung dengan perasaanku, tiba² Pak Faiz menyampaikan, (aku juga lupa kalimat persisnya), "Ayo berdoalah. Meminta saja. Jangan sungkan.." Aku terkejut. Sepanjang jalan ke rumah pun aku cuman bisa menangis.. Terima kasih ya Allah.. Engkau undang kembali aku untuk memohon pada-Mu..
Postingan terbaru

Terima Kasih Sudah Membuat Kami Berdoa

Kepada siapa pun.. kepada apa pun.. Yang telah membuat kami berdoa, terima kasih! Terima kasih karena telah membuat kami mengingat Tuhan Terima kasih karena telah membuat kami mau memanjatkan doa Terima kasih karena telah membuat kami bercakap² dengan Tuhan Terima kasih karena telah membuat kami mendekat pada Tuhan Tanpa ketakutan, penderitaan dan ujian mungkin kami tidak tergerak memanjatkan doa,  tidak tergerak mendekat pada-Nya, dan.. tidak merasakan nikmatnya berdialog dengan-Nya Terima kasih..

Meneladani Tuhan: TUHAN SANGAT BERHAK MAHA EGOIS TAPI SERINGKALI DIA TIDAK MELAKUKANNYA

Sebenarnya pertanyaan ini sudah sering berkelebat di kepalaku. Dan mungkin aku sudah meraba-raba jawabannya. Tapi sebagai orang awam, aku sering penasaran ingin mengkonfirmasi pemikiranku kepada orang-orang yang lebih berilmu. Bahkan biasanya pemikiran-pemikiranku itu aku tanyakan kepada beberapa orang guru. Maka, sore itu aku bertanya lagi kepada guruku yang lain: "Ustadz, mengapa sholat berjamaah itu lebih utama daripada sholat sendiri-sendiri? Seringkali saya merasa lebih khusyuk sholat sendiri daripada kalau sholat berjamaah. Apalagi kalau bacaan imam sholatnya cepat.. Apakah dengan lebih diutamakannya sholat berjamaah itu berarti Allah lebih mengutamakan habluminannas daripada habluminallah?" Padahal selama ini aku sudah mantap dengan keyakinan bahwa habluminannas itu adalah pondasi habluminallah. Hubungan manusia dengan manusia lainnya menjadi pondasi hubungan manusia dengan Allah. Kalau hubungan antar manusianya jelek, maka hubungan kita kepada Allah tidak akan pernah

JIKA AKU SHOLAT, SEHARUSNYA AKU JADI SEORANG MUSLIM YANG SEPERTI APA? (II)

Pada tulisan sebelumnya sudah dijelaskan bahwa 3 ritual awal sholat: wudhu, takbiratul ihram dan iftitah jika dilakukan dengan menyelami maknanya maka akan mengantarkan kita ke dalam 2 kondisi:  1. Pengendalian ketergantungan diri pada kemelekatan duniawi 2. Pengendalian ego Jika setelah berwudhu kita bisa melepaskan diri dari kemelekatan duniawi, lalu setelah takbiratul ihram dan membaca doa iftitah kita sudah bisa menihilkan ego, maka itu berarti kita siap untuk masuk ke tahap selanjutnya dalam sholat: berdialog dengan Allah lewat surat Al Fatiha. Tanpa masuk ke dalam 2 kondisi di atas, kita tidak akan bisa berdalog dengan Allah. Bacaan-bacaan Al Fatiha kita menjadi meaningless... tanpa makna, dan tidak akan membekas apa-apa dalam kehidupan kita.  Jika kita sudah siap, mari kita mencoba masuk dalam tahap berdialog dengan Allah. Bagi sebagian orang, bisa berdialog dengan Allah adalah sesuatu yang sangat didambakan. Bagaimana tidak.. Sebagian kita berharap bisa berdialog da

Dimensi Jamaliyah-Jalaliyah dan Wajah Umat Islam Saat Ini

Kadang-kadang muncul pertanyaan di kepalaku... kenapa sebagian umat ini begitu mudah marah? Kenapa umat ini begitu sensitif terhadap kondisi dirinya, tapi kurang sensitif terhadap kondisi pihak lain? Mungkin selama ini kita terlalu mempersonifikasikan Tuhan sebagai sosok yang menakutkan, yang menyiksa makhluk ciptaannya, yang berjarak, yang mudah murka dan menghukum manusia terhadap kekurangan sekecil apapun. Anak-anak kita pun disuguhkan kisah-kisah penyiksaan di neraka... dengan berbagai alat pertukangan untuk menyiksa seperti gergaji, gunting, palu, atau tusukan kambing guling, setrikaan, minyak panas dalam penggorengan dan lain sebagainya. Lalu kita selalu mengancam anak-anak kita dengan hukuman-hukuman itu jika tidak sholat, jika tidak puasa, jika berbohong, dan jika melakukan kesalahan-kesalahan lainnya. Gambaran seperti ini mungkin begitu tertanam di kepala kita sejak kecil sehingga lebih banyak membentuk kita sebagai pribadi yang keras. Apakah Islam sejatinya seperti itu?  Sama

JIKA AKU SHOLAT, SEHARUSNYA AKU JADI SEORANG MUSLIM YANG SEPERTI APA? (I)

Tulisan ini dibuat bukan karena penulisnya sudah berhasil menjadi muslim yang ideal dengan sholat yang dilakukannya. Sama sekali bukan. Sebaliknya.. tulisan ini dibuat justru agar penulisnya memiliki acuan bagaimana seharusnya ia hidup dan berjalan di muka bumi ini jika ia mendirikan sholat 5x sehari. Dan agar penulis bisa memiliki acuan untuk memperbaiki kualitas sholatnya. Diawali dari pertanyaan.. "Kenapa sih ada orang yang rajin sholat 5 waktu.. rajin puasa sunnah.. tapi tetap melakukan korupsi atau maksiat? Lalu bagaimana seharusnya karakter orang yang melakukan sholat 5 kali dalam sehari itu?" “P ermisalan salat yang lima waktu itu seperti sebuah sungai yang mengalir melimpah di dekat pintu rumah salah seorang di antara kalian. Ia mandi dari air sungai itu setiap hari lima kali.” Al Hasan berkata: “Tentu tidak tersisa kotoran sedikit pun (di badannya).” [HR. Muslim no. 668] Tetapi sholat tidak hanya semata-mata sebagai pembersih dosa saja. Terutama karena kita mengenal

PROBLEM KEJAHATAN dan FREE WILL

Problem Kejahatan yang merupakan pertanyaan paradoksial pertama kali diajukan oleh Epicuros (341-270SM). Disebut juga Trilema Epicuros: Tuhan, katanya ingin menghilangkan kejahatan tetapi tidak dapat. Atau Ia dapat tetapi tidak berniat. Atau Ia tidak berniat dan tidak dapat, atau Ia berniat dan dapat. Jika Ia berniat dan tidak dapat.. Ia lemah, yang tidak sesuai dengan sifat Tuhan. Jika Ia dapat dan tidak berniat... ia dengki, yang juga berbeda dengan sifat Tuhan. Jika Ia tidak berniat dan tidak dapat,.. Ia dengki dan lemah, sehingga bukan Tuhan. Jika Ia berniat dan dapat, yang sesuai dengan Tuhan, maka dari manakah kejahatan? Atau kenapa Ia tidak menghilangkannya? Pertanyaan paradoksial ini kemudian ditegaskan oleh David Hume dalam  Dialogues Concerning Natural Religion  (1779). Dan menjadi problem yang dijadikan salah satu alasan utama oleh kaum Atheis untuk menolak keberadaan Tuhan. Berbagai argumen untuk menjawab Problem Kejahatan ini pernah diajukan oleh para filsuf di antaranya:T