Langsung ke konten utama

JIKA AKU SHOLAT, SEHARUSNYA AKU JADI SEORANG MUSLIM YANG SEPERTI APA? (II)


Pada tulisan sebelumnya sudah dijelaskan bahwa 3 ritual awal sholat: wudhu, takbiratul ihram dan iftitah jika dilakukan dengan menyelami maknanya maka akan mengantarkan kita ke dalam 2 kondisi: 

1. Pengendalian ketergantungan diri pada kemelekatan duniawi

2. Pengendalian ego

Jika setelah berwudhu kita bisa melepaskan diri dari kemelekatan duniawi, lalu setelah takbiratul ihram dan membaca doa iftitah kita sudah bisa menihilkan ego, maka itu berarti kita siap untuk masuk ke tahap selanjutnya dalam sholat: berdialog dengan Allah lewat surat Al Fatiha. Tanpa masuk ke dalam 2 kondisi di atas, kita tidak akan bisa berdalog dengan Allah. Bacaan-bacaan Al Fatiha kita menjadi meaningless... tanpa makna, dan tidak akan membekas apa-apa dalam kehidupan kita. 

Jika kita sudah siap, mari kita mencoba masuk dalam tahap berdialog dengan Allah.

Bagi sebagian orang, bisa berdialog dengan Allah adalah sesuatu yang sangat didambakan. Bagaimana tidak.. Sebagian kita berharap bisa berdialog dan bercakap-cakap dengan pejabat tinggi, bisa berdialog dengan gubernur, bisa berdialog dengan presiden atau dengan tokoh-tokoh idola. Lalu, bagaimana mungkin kita tidak mendambakan bisa bercakap-cakap dan berdialog dengan zat yang menciptakan seluruh alam semesta? zat yang berkuasa atas segala sesuatu di alam semesta ini?
Jika berdialog dengan pejabat tinggi, dengan gubernur, presiden atau tokoh idola adalah satu momen yang sulit, langka dan perlu satu prosedur yang tidak sederhana.. maka Yang Menciptakan alam semesta dan berkuasa atasnya menyediakan waktu yang sangat banyak untuk bisa berdialog dengan-Nya. Minimal 17 kali dalam sehari kita bisa melakukannya. Namun Allah mempersilakan kita untuk berdialog dengan-Nya sebanyak apapun yang kita inginkan, karena ada berbagai sholat sunnah yang bisa diamalkan. Kapanpun dan di manapun kita ingin bercakap-cakap dan berdialog dengan Allah, kita tinggal melangkahkan kaki untuk berwudhu dan sholat. Hanya memang seringkali kita tidak menyadari momen langka itu ketika kita melakukannya, karena ketika sholat kita hanya melakukan gerakan-gerakan ritual saja.

Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Barangsiapa yang shalat lalu tidak membaca Ummul Qur’an (yaitu Al Fatihah), maka shalatnya kurang (tidak sah) -beliau mengulanginya tiga kali-, maksudnya tidak sempurna.” Maka dikatakan pada Abu Hurairah bahwa kami shalat di belakang imam. Abu Hurairah berkata, “Bacalah Al Fatihah untuk diri kalian sendiri karena aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: Aku membagi shalat (maksudnya: Al Fatihah) menjadi dua bagian, yaitu antara diri-Ku dan hamba-Ku dua bagian dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta. Jika hambaku mengucapkan ’alhamdulillahi robbil ‘alamin (segala puji hanya milik Allah)’, Allah Ta’ala berfirman: Hamba-Ku telah memuji-Ku. Ketika hamba tersebut mengucapkan ‘ar rahmanir rahiim (Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang)’, Allah Ta’ala berfirman: Hamba-Ku telah menyanjung-Ku. Ketika hamba tersebut mengucapkan ‘maaliki yaumiddiin (Yang Menguasai hari pembalasan)’, Allah berfirman: Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku. Beliau berkata sesekali: Hamba-Ku telah memberi kuasa penuh pada-Ku. Jika ia mengucapkan ‘iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in (hanya kepada-Mu kami menyebah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan)’, Allah berfirman: Ini antara-Ku dan hamba-Ku, bagi hamba-Ku apa yang ia minta. Jika ia mengucapkan ‘ihdiinash shiroothol mustaqiim, shirootolladzina an’amta ‘alaihim, ghoiril magdhuubi ‘alaihim wa laaddhoollin’ (tunjukkanlah pada kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan jalan orang yang dimurkai dan bukan jalan orang yang sesat), Allah berfirman: Ini untuk hamba-Ku, bagi hamba-Ku apa yang ia minta.”  (HR. Muslim no. 395)

Selain memberikan kesempatan untuk berdialog dengan Allah, surat Al Fatiha ini juga mengandung makna yang luar biasa dahsyat. Ada banyak referensi yang sudah menjelaskan mengenai maknanya. Tidak heran mengapa surat ini disebut sebagai induk Al Quran (ummul Quran). Namun sesuai maksud tulisan ini, surat Al Fatiha juga berperan besar untuk membentuk karakter baru bagi seorang muslim yang melaksanakan sholat 5 kali sehari, dan membacanya minimal 17 kali sehari.

1. Penekanan kata "Ar Rahmanir Rahim" (Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang) hingga diulang 2 kali dalam surat Al Fatiha. Yaitu ayat 1: "Bismillahirrahmanir rahim" dan ayat ketiga: "Ar rahmanir rahim". Pada ayat pertama "Ar rahmanir rahim" mengacu pada Allah sebagai Tuhan/Illah, sedangkan pada ayat ketiga "ar rahmanir rahim" mengacu pada Alhamdulillahi rabbil alamin Allah sebagai Rabb seluruh alam semesta. Baik sebagai Illah maupun sebagai Rabb, Ar Rahman dan Ar Rahim menjadi nama dan sifat yang mengiringinya. Dipilihnya Ar Rahman dan Ar Rahim mengisyaratkan bahwa kedua sifat itu lebih utama dari nama-nama dan sifat Allah yang lain. Dapat dipahami bahwa ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa Ar Rahman dan Ar Rahim adalah induk dari asmaul husna.

Jika Allah sebagai Illah dan sebagai Rabb mengutamakan nama dan sifat Ar Rahman dan Ar Rahim di atas nama dan sifat yang lainnya, lalu pantaskah kita sebagai hamba-Nya masih membawa kemarahan, dendam, benci, iri, dengki dalam hati kita? Manusia sebagai khalifah, sebagai representatif Allah di atas muka bumi tentunya juga harus lebih mengutamakan sifat pengasih dan penyayang. Dan sifat ini harus menjadi karakter yang utama dari manusia.

2. "Alhamdulillaahi rabbil alamin" (Segala puji bagi Allah Tuhan sekalian alam). Seperti yang dijelaskan pada tulisan sebelumnya, alhamdulillah menyatakan bahwa Allah adalah yang berhak atas segala pujian. Atas segala kebaikan yg kita miliki, Allahlah yang berhak atas pujiannya. Maka tidak berhak kita mabuk atas puji²an yang ditujukan pada diri kita. Selalu kembalikan pujian yang ditujukan ke kita pada Allah SWT. 

Ayat ini juga menyatakan deklarasi kita bahwa Allahlah satu-satunya yang berhak atas segala pujian di alam raya ini. Maka jangan pula mempertuhankan orang lain dengan berlebihan memujinya. 

3."Iyyaka na‘budu wa iyyaka nasta‘in" (Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan) adalah ayat yang menyatakan ketauhidan dalam surat Al Fatiha. Pada ayat ini Allah disebut sebagai "Engkau". Ini berarti kita berdialog langsung kepada Allah, dan mengikrarkan ketauhidan kita langsung di hadapan Allah. Bayangkan jika seorang muslim mengikrarkan ketauhidannya secara langsung di hadapan Allah minimal 17 kali sehari. Bagi yang menyadari kondisi ini akan memahami konsekuensi yang mengiringinya: ketaatan, kepatuhan, kepasrahan, dan pernyataan kebergantungan hanya kepada Allah... bukan kepada yang lain. 

Selain itu, pemilihan kata "kami" dibandingkan kata "aku" mengandung konteks sosial. Aku adalah bagian dari kami. Jadi selain mengikrarkan diri untuk hanya menyembah Allah dan hanya akan meminta pertolongan kepada Allah, ayat ini juga menyatakan kalau "aku" adalah bagian dari barisan umat muslim. Bagian dari sebuah komunitas sosial. Maka dalam ayat ini "aku" memiliki kewajiban untuk menjadi "kami". Artinya sebagai seorang individu muslim "aku" memiliki tanggung jawab untuk mengajak individu lain agar "Hanya kepada Engkau aku menyembah dan hanya kepada Engkau aku memohon pertolongan" bisa menjadi "Hanya kepada engkau kami menyembah dan hanya kepada Engkau kami memohon pertolongan"

4. "Ihdinas shiratal mustaqim Shiratal ladzina an‘amta ‘alaihim ghairil maghdhubi alaihim wa lad dhallin." (Tunjukkanlah kami jalan yang lurus Jalan orang yang Kauberi nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurka, dan bukan (jalan) mereka yang tersesatbagi saya adalah ayat yang menjadi pagar yang membentengi kita dari tingginya ego. Dengan ayat ini kita harusnya menyadari bahwa sebagai manusia, kita adalah tempatnya salah. Maka minimal 17 kali sehari kita meminta pertolongan Allah untuk menunjukkan jalan yang lurus dan benar dalam menjalani hidup ini. Kalau kita menyadarinya, apa masih sanggup kita merasa diri selalu menjadi yang paling benar? apa masih bisa kita merasa diri selalu menjadi yang paling suci, yang paling beriman? Kalau kita masih saja merasa paling benar, paling beriman, paling suci dan yang lain salah... maka "ihdinas shiratal mustaqim" yang kita baca 17 kali sehari ini hanya menjadi bacaan yang lewat di mulut kita saja. Tidak ada pengaruhnya dalam kehidupan kita sehari-hari.

Setelah membaca Al Fatiha, kita dianjurkan untuk membaca surat² dari Al Quran. Jika kita melakukan sholat sendiri, kita bisa bebas membaca surat pendek maupun panjang. Tapi jika kita menjadi imam sholat, maka sebaiknya kita memilih surat² pendek, agar tidak memberatkan makmum. 

Bagi saya ini adalah sesuatu yang sangat menarik. Bagaimana dalam sebuah ibadah yang biasanya sudah ditentukan baik gerakan maupun bacaannya, pada sholat, ada satu sesi yang kita diberikan kebebasan untuk memilih ayat² yang terdapat dalam Al Quran untuk dibacakan. Dan dari kebebasan memilih itu, kita kita berada dalam satu jamaah.. sebaik²nya pilihan adalah pilihan yang tidak memberatkan dan membebani orang lain. Ini adalah sebuah pendidikan untuk kehidupan kita sehari². Bahwa dalam kehidupan berjamaah/bersosial, ketika kita diberikan kebebasan untuk memilih.. maka pilihlah pilihan yang tidak memberatkan/membebani jamaah/orang lain. 

Dan jika sebelum membaca Al Fatiha kita sudah bisa melepaskan ego diri kita, maka setelah membaca Al Fatiha maka pasti kita tidak akan mementingkan diri sendiri dengan memberatkan jamaah kita lewat bacaan ayat-ayat yang panjang-panjang.

Baru sampai di rakaat pertama saja seharusnya sudah bisa mengantarkan kita menjadi pribadi yang baru, yang tidak lagi berkutat pada ego dan kepentingan diri sendiri.

~Bersambung

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hindari Berbohong dalam Berpolitik: INDEKS KORUPSI PARTAI POLITIK VERSI KPK WATCH: QUALIFIED ATAU ABAL-ABAL?

Akhir-akhir ini banyak beredar di dunia maya Indeks Korupsi Partai Politik yang dibuat oleh semacam lembaga (entah lembaga resmi, entah lembaga dadakan)dengan nama KPK Watch sebagai berikut di bawah. Bagaimana metode perhitungan Indeks Korupsi Partai Politik versi KPK Watch ini? KPK Watch mengambil data jumlah koruptor selama periode 2002-2014 dari laman ICW. Setelah diperoleh angka jumlah koruptor, KPK Watch membagi angka tersebut dengan jumlah suara yang diperoleh pada pemilu 2009. Maka didapatlah angka Indeks Korupsi Partai Politik yang kemudian dipublikasikan via social media. Tentu saja publikasi ini tidak melewati publikasi media cetak dan media elektronik. Mengapa? Entahlah.. kita tidak akan membahas itu. Kita hanya akan membahas bagaimana metoda perhitungan KPK Watch ini dan apa pengaruhnya pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 ini. Tapi mungkin dari pembahasan ini kita akan paham kenapa Indeks Korupsi Partai Politik yang dikeluarkan KPK Watch ti

Halloooo Indaah :)

Hallo Indah dan semua kawan yang bertanya tentang ulasan saya mengenai Data KPK Watch di Kompasiana ( http://politik.kompasiana.com/2014/04/03/analisa-sederhana-kejanggalan-data-kpkwatch-644252.html ). Sebetulnya saya merasa sangat tidak perlu membuat tulisan ini lagi. Karena jawaban atas tulisan Indah sudah sangat jelas di ulasan saya tersebut. Tapi mungkin Indah dan beberapa kawan yang lain belum bisa memahami kalau saya tidak menerangkannya secara grafis serta dengan contoh-contoh sederhana lainnya. Juga karena saran beberapa kawan ya pada akhirnya saya buat juga. Karena saya bukan anggota Kompasiana, maka saya tidak bisa memberikan komentar di tulisan Indah tsb. Mohon maaf kalau saya menjelaskannya dengan soal cerita matematika sederhana kelas 6 SD. Tidak bermaksud merendahkan dan menyamakan taraf pemahaman dengan anak kelas 6 SD, tapi memang ilmu statistik yang saya gunakan bukan ilmu statistik yang rumit, hanya ilmu statistik sederhana dan perbandingan sederhana yang ada di pel

BERGESERNYA KEBERPIHAKAN KAUM TERPELAJAR (BERKACA DARI DEMO PARA DOKTER)

Demo para dokter telah lewat beberapa waktu. Berbagai reaksi dari masyarakat pun muncul. Sebagian adalah reaksi negatif. Munculnya reaksi negatif ini saya rasa lebih kepada akibat persoalan teknis, dan bisa diatasi jika demo para dokter ini dilakukan bertahap dengan pemanasan2... yaitu sosialisasi isu terlebih dahulu.   Karena sosialisasi isu yg kurang ini, masyarakat tidak mampu untuk menangkap inti persoalan dari tuntutan para dokter. Masyarakat yg pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari kebutuhannya terhadap para dokter tiba2 merasa diputus, tiba2 merasa ditinggalkan oleh satu2nya solusi kesehatan mereka: dokter. Seandainya saja demo ini dilakukan secara bertahap dengan eskalasi yang halus, tentu saja masyarakat akan menyadari bahwa apa yang dituntut oleh para dokter ini sangat berkaitan erat dengan kebutuhan masyarakat sendiri. Apa yang dituntut oleh para dokter adalah demi masyarakat itu sendiri. Bagaimana tidak, tuntutan terhadap kasus dr Ayu akan sangat mempengaruhi pelayana