Langsung ke konten utama

Dimensi Jamaliyah-Jalaliyah dan Wajah Umat Islam Saat Ini





Kadang-kadang muncul pertanyaan di kepalaku... kenapa sebagian umat ini begitu mudah marah? Kenapa umat ini begitu sensitif terhadap kondisi dirinya, tapi kurang sensitif terhadap kondisi pihak lain?

Mungkin selama ini kita terlalu mempersonifikasikan Tuhan sebagai sosok yang menakutkan, yang menyiksa makhluk ciptaannya, yang berjarak, yang mudah murka dan menghukum manusia terhadap kekurangan sekecil apapun. Anak-anak kita pun disuguhkan kisah-kisah penyiksaan di neraka... dengan berbagai alat pertukangan untuk menyiksa seperti gergaji, gunting, palu, atau tusukan kambing guling, setrikaan, minyak panas dalam penggorengan dan lain sebagainya. Lalu kita selalu mengancam anak-anak kita dengan hukuman-hukuman itu jika tidak sholat, jika tidak puasa, jika berbohong, dan jika melakukan kesalahan-kesalahan lainnya.

Gambaran seperti ini mungkin begitu tertanam di kepala kita sejak kecil sehingga lebih banyak membentuk kita sebagai pribadi yang keras. Apakah Islam sejatinya seperti itu? 

Sama sekali tidak! 
Dalam asmaul husna (99 nama Allah yang mulia) yang juga mencerminkan sifat-sifat-Nya dikenal ada 2 wajah Allah: Jalaliyah dan Jamaliyah. Jalaliyah adalah perspektif nama-nama Allah yang menunjukkan kebesaran-Nya, keagungan-Nya, kemahakuasaan-Nya, kemuliaan-Nya, kemahaperkasaan-Nya, ketidakdapat-terbantahan-Nya, kekuatanNya, dan sifat-sifat lain yang cenderung kepada maskulinitas. Wajah Allah yang ini akan membuahkan rasa takut, tunduk, merasa kecil, tak berdaya dalam hati kita.
Sementara Jamaliyah adalah perspektif nama-nama Allah yang menunjukkan sifat-sifat-Nya yang Maha Lembut, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pemurah, Maha Pengampun, Maha Indah dan nama-nama lain yang cenderung pada sifat-sifat yang feminim. Buah dari wajah Allah yang ini adalah cinta, kasih sayang dan kelembutan.

Dalam memperkenalkan Allah pada anak-anak kita, perspektif Jalaliyah dan Jamaliyah ini harus diperkenalkan secara seimbang. Jika lebih dominan perspektif Jalaliyah yang diperkenalkan maka yang terjadi akan seperti yang sekarang kita lihat: umat yang dipersepsikan dengan karakter yang keras. Sedangkan jika hanya perspektif Jamaliyah yang diperkenalkan juga dikhawatirkan akan terbentuk umat yang cenderung menyepelekan dan menggampangkan. Tetapi yang dimaksud seimbang ini jika mengacu pada Al Quran maka sifat-sifat Jamaliyah lebih banyak disebut daripada sifat-sifat Jalaliyah. 

Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, “Tatkala Allah menciptakan makhluk-Nya, Dia menulis dalam kitab-Nya, yang kitab itu terletak di sisi-Nya di atas ‘Arsy, “Sesungguhnya rahmat-Ku lebih mengalahkan kemurkaan-Ku.” (HR. Bukhari no. 7404 dan Muslim no. 2751)

Yang terjadi selama ini.. meskipun Al Quran lebih banyak menekankan wajah Jamaliyah Allah, tetapi justru wajah Jalaliyah Allah-lah yang lebih dominan ditanamkan pada anak-anak kita sejak mereka kecil hingga dewasa. Biasanya di masa kanak-kanak yang lebih banyak dikenalkan adalah Fiqih. Dan di antara ilmu-ilmu Islam, Fiqih lebih terasa dominasi Jalaliyahnya.. Namun tidak sedikit ulama yang berhasil mengajarkan Fiqih lewat pendekatan Jamaliyah. Yang secara garis besar menekankan bahwa hukum-hukum syariat itu diturunkan karena kasih sayang-Nya kepada manusia.

Kita ambil contoh hukum qishas. Jika kita membahas hukum qishas hanya dari kacamata fiqih akan sangat terasa dimensi jalaliyah Allah. Tapi jika memahami latar belakang kondisi masyarakat saat sebelum hukum qishas itu diturunkan justru sebaliknya.. akan sangat terasa dimensi jamaliyah Allah. Karena sebagian hukum-hukum Islam itu sudah dijalankan sebelum Islam datang, hanya lebih berat dan seringkali dilakukan tanpa pengadilan. Islam datang membuat hukum-hukum itu lebih manusiawi dan lebih adil. Jika sebelum Islam datang hukum rajam bisa dilakukan tanpa pengadilan, maka ketika Islam datang hukum rajam dilakukan melalui pengadilan. Ketika jaman Rasulullah hukum rajam hanya dilakukan sekali, dan itu pun setelah ditunda sekian lama karena wanita yang akan dirajam itu tengah hamil. Dan wanita itu sendirilah yang memohon untuk dirajam.

Atau contoh lain.. hukum poligami. Jika kita menelaah hukum poligami hanya dari kacamata fiqih, jelas sangat maskulin. Tapi jika kita menelaah kondisi masyarakat saat sebelum Islam datang di mana seorang suami bisa memiliki istri dan selir yang sangat banyak, maka akan terasa bahwa Islam datang dengan kasih sayang-Nya kepada perempuan-perempuan muslim sehingga jumlah istri itu akhirnya dibatasi menjadi hanya boleh masksimal 4 saja. Dan itu pun dibatasi lagi dengan keharusan untuk bersikap adil, lalu ditekankan lagi bahwa "Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian". 

Jadi kalau kita hanya melihat dari kacama fiqih tanpa melihat latar belakang diturunkannya hukum syariat, maka kita akan merasakan bahwa dimensi fiqih ini adalah jalaliyah. Tetapi jika kita juga melihat latar belakang turunnya hukum tersebut, maka kita bisa merasakan dimensi jamaliyah hukum syariat Islam.

Sementara itu, sekarang ini umat muslim tengah gandrung-gandrungnya mengkaji fiqih yang murni dari perspektif jalaliyah, tanpa mengkaji latar belakang kondisi masyarakat ketika hukum tersebut diturunkan. Sehingga tidak terasa wajah jamaliyah-Nya pada hukum-hukum tersebut. Hasilnya.. umat Islam saat ini sibuk berkutat pada benar-salah, halal-haram, bid'ah-bukan bid'ah dan seterusnya..
Dan karena yang dominan adalah perspektif jalaliyah-Nya saja.. tidak seimbang dengan jamaliyah-Nya, maka umat muslim sekarang jadi terbentuk dengan karakter jalaliyah.. mudah marah, merasa bisa menghakimi siapapun dan keras. Padahal citra Islam yang sebenarnya adalah wajah jamaliyah-Nya.

Seandainya wajah Jamaliyah Allah lebih banyak diperkenalkan dan diajarkan sebagaimana yang terdapat dalam Al Quran, tentu umat Islam sekarang akan memiliki karakter yang lemah lembut dan pengasih.  

Jadi untuk anak-anak kita, selalu perkenalkanlah betapa kasih sayang-Nya melebih murka-Nya, betapa luas rahmat dan anugerah-Nya. Dan jelaskan bahwa hukum-hukum yang ditetapkan-Nya semua dalam rangka kasih sayang-Nya kepada manusia. 

Dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku saat bersendirian, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di suatu kumpulan, Aku akan mengingatnya di kumpulan yang lebih baik daripada pada itu (kumpulan malaikat). Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan (biasa), maka Aku mendatanginya dengan berjalan cepat.” (HR. Bukhari no. 6970 dan Muslim no. 2675).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hindari Berbohong dalam Berpolitik: INDEKS KORUPSI PARTAI POLITIK VERSI KPK WATCH: QUALIFIED ATAU ABAL-ABAL?

Akhir-akhir ini banyak beredar di dunia maya Indeks Korupsi Partai Politik yang dibuat oleh semacam lembaga (entah lembaga resmi, entah lembaga dadakan)dengan nama KPK Watch sebagai berikut di bawah. Bagaimana metode perhitungan Indeks Korupsi Partai Politik versi KPK Watch ini? KPK Watch mengambil data jumlah koruptor selama periode 2002-2014 dari laman ICW. Setelah diperoleh angka jumlah koruptor, KPK Watch membagi angka tersebut dengan jumlah suara yang diperoleh pada pemilu 2009. Maka didapatlah angka Indeks Korupsi Partai Politik yang kemudian dipublikasikan via social media. Tentu saja publikasi ini tidak melewati publikasi media cetak dan media elektronik. Mengapa? Entahlah.. kita tidak akan membahas itu. Kita hanya akan membahas bagaimana metoda perhitungan KPK Watch ini dan apa pengaruhnya pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 ini. Tapi mungkin dari pembahasan ini kita akan paham kenapa Indeks Korupsi Partai Politik yang dikeluarkan KPK Watch ti

Halloooo Indaah :)

Hallo Indah dan semua kawan yang bertanya tentang ulasan saya mengenai Data KPK Watch di Kompasiana ( http://politik.kompasiana.com/2014/04/03/analisa-sederhana-kejanggalan-data-kpkwatch-644252.html ). Sebetulnya saya merasa sangat tidak perlu membuat tulisan ini lagi. Karena jawaban atas tulisan Indah sudah sangat jelas di ulasan saya tersebut. Tapi mungkin Indah dan beberapa kawan yang lain belum bisa memahami kalau saya tidak menerangkannya secara grafis serta dengan contoh-contoh sederhana lainnya. Juga karena saran beberapa kawan ya pada akhirnya saya buat juga. Karena saya bukan anggota Kompasiana, maka saya tidak bisa memberikan komentar di tulisan Indah tsb. Mohon maaf kalau saya menjelaskannya dengan soal cerita matematika sederhana kelas 6 SD. Tidak bermaksud merendahkan dan menyamakan taraf pemahaman dengan anak kelas 6 SD, tapi memang ilmu statistik yang saya gunakan bukan ilmu statistik yang rumit, hanya ilmu statistik sederhana dan perbandingan sederhana yang ada di pel

SEBUAH PABRIK BERNAMA UJIAN NASIONAL

Pagi itu saya sangat terkejut membaca sebuah berita di dunia maya. Wawancara Wakil Menteri Pendidikan mengenai Ujian Nasional yang saya baca di sini membuat saya terpukul: "Percayalah, kalau tidak diberi ujian, yakin saya sekolah itu tidak akan menerapkan proses belajar. Coba bayangkan Indonesia tidak ada semangat untuk belajar. Untung ada UN, mereka jadi belajar." Pernyataan ini membuat saya bertanya-tanya. Bagaimana bisa seorang Wakil Menteri Pendidikan berbicara seperti ini? Apakah ini didasari pengalaman pribadi Sang Profesor? Sehingga Wamen merasa sangat pesimis dengan berlangsungnya proses belajar di sekolah? Mungkin banyak pertanyaan di masyarakat: "apa sih yang salah dengan UN?" atau "perasaan jaman dulu Ujian nggak ribut-ribut seperti ini". Sungguh pada awalnya saya juga merasa heran, apa yang salah dengan UN? toh jaman dulu ini tidak ada masalah? Pada awalnya saya pernah menyatakan: Tidak ada yang salah dengan UN dan saya mendukung ad