Langsung ke konten utama

Meneladani Tuhan: TUHAN SANGAT BERHAK MAHA EGOIS TAPI SERINGKALI DIA TIDAK MELAKUKANNYA



Sebenarnya pertanyaan ini sudah sering berkelebat di kepalaku. Dan mungkin aku sudah meraba-raba jawabannya. Tapi sebagai orang awam, aku sering penasaran ingin mengkonfirmasi pemikiranku kepada orang-orang yang lebih berilmu. Bahkan biasanya pemikiran-pemikiranku itu aku tanyakan kepada beberapa orang guru.

Maka, sore itu aku bertanya lagi kepada guruku yang lain:

"Ustadz, mengapa sholat berjamaah itu lebih utama daripada sholat sendiri-sendiri? Seringkali saya merasa lebih khusyuk sholat sendiri daripada kalau sholat berjamaah. Apalagi kalau bacaan imam sholatnya cepat.. Apakah dengan lebih diutamakannya sholat berjamaah itu berarti Allah lebih mengutamakan habluminannas daripada habluminallah?"

Padahal selama ini aku sudah mantap dengan keyakinan bahwa habluminannas itu adalah pondasi habluminallah. Hubungan manusia dengan manusia lainnya menjadi pondasi hubungan manusia dengan Allah. Kalau hubungan antar manusianya jelek, maka hubungan kita kepada Allah tidak akan pernah terjadi. Tetapi, aku masih ingin mengkonfirmasi lagi pendapat itu kepada guruku sore itu. Dan itu bukan konfirmasi yang pertama kali... 😁😁😁

Ternyata keinginanku bertanya pada guru sore itu tepat sekali. Jawaban Ustadz seperti hujan yang menyirami pohon layu. Bahkan membuatku merinding.

"Dalam banyak kasus, Allah memang seringkali merelakan kepentingannya sebagai Tuhan demi kemaslahatan manusia sebagai makhluk.."
Lalu guruku menceritakan berbagai contohnya. Tapi pernyataan itu sukses bikin aku meleleh 😁😁 Sehingga aku merasa harus membingkai pernyataan itu secara khusus di dalam otak dan hatiku.

Bagaimana aku tidak meleleh, Allah sebagai Tuhan adalah satu-satunya yang paling berhak untuk Maha Egois. Tapi meskipun Dia sangat berhak bahkan satu-satunya yang paling berhak, tapi Dia mewajibkan kita sebagai manusia untuk mendahulukan hubungan antar manusia daripada hubungan manusia dengan Allah.

Aku teringat kisah Allah yang menegur Nabi Musa untuk lebih memperhatikan orang-orang yang kesulitan dengan cara menempatkan diri-Nya sebagai orang-orang yang kelaparan dan kesusahan.

Atau ketika Dia mensyariatkan agar imam shalat berjamaah jangan berlama-lama dengan bacaan shalat yang panjang-panjang karena di antara jamaah mungkin ada orang-orang yang sudah tua atau dalam keadaan lemah. Bukankah itu memperlihatkan bahwa Allah menyuruh kita untuk memprioritaskan hubungan antara sesama manusia?

Jika kita benar-benar memahami ini, maka kebingungan-kebingungan kita terhadap berbagai persoalan ibadah akan terjawab.

Ketika dalam satu kondisi kita sebagai ibu rumah tangga ingin melakukan shalat ba'da maghrib, tapi keluarga kita menunggu untuk makan malam setelah buka puasa, mana yang harus kita dahulukan, shalat ba'da maghrib atau menyiapkan makanan untuk keluarga?  Jika kita memahami posisi habluminannas dan habluminallah ini, maka kita pasti akan memilih menyiapkan makanan untuk keluarga. 

Aku jadi teringat satu adegan dalam sebuah film: ketika sebuah keluarga melakukan sholat berjamaah, lalu Sang Imam dalam sujudnya tidak bangun-bangun (entah sudah wafat atau masih pingsan). Dengan tenang, anaknya yang masih kecil tapi menyadari bahwa Sang Ayah tidak bangun-bangun, menggantikan posisi imam dan mereka sekeluarga melanjutkan shalat berjamaah. Sedang Sang Ayah tetap dengan posisinya seperti itu sampai shalat berjamaah selesai. Adegan ini pasti banyak menuai pujian dan kekaguman. Tapi tidak bagi saya. Saya berkerut melihat adegan itu karena menurut saya itu menyalahi posisi antara habluminallah dan habluminannas. Seolah-olah Allah mengutamakan hak-Nya untuk Maha Egois sehingga shalat lebih penting daripada menyelamatkan nyawa manusia lain. Dan seolah-olah Allah membutuhkan shalat manusia. 
Bahkan Nabi dan para sahabat saja pernah menggabungkan lebih dari 2 waktu shalat ketika sedang berperang. Itu menunjukkan dengan jelas posisi habluminallah dan habluminannas. Lalu apa yang membuat kita berpikir bahwa meneruskan shalat berjamaah lebih baik daripada menyelamatkan nyawa orang yang sedang sekarat?
Ya... mungkin jika Sang Imam memang wafat itu adalah takdirnya wafat dalam kondisi yang baik. Tapi itu tidak bisa dijadikan alasan bagi kita untuk meninggalkan kewajiban sebagai sesama manusia dan bertindak menolong menyelamatkan orang itu. Takdir Allah itu adalah urusan Allah. Sementara Allah sendiri mewajibkan kita untuk menolong dan menyelamatkan nyawa manusia. Jadi takdir itu adalah hal yang berbeda dengan kewajiban kita untuk berikhtiar kepada sesama manusia.

TUHAN SANGAT BERHAK MAHA EGOIS TAPI SERINGKALI DIA TIDAK MELAKUKANNYA. Dan ini adalah salah satu dari sekian banyak perwujudan ke-Maha Pengasihan-Nya, ke-Maha Agungan-Nya, ke-Maha Terpujian-Nya, dan masih banyak Maha-Maha yang lainnya. Sebagai manusia dan makhluk, tidak ada yang sanggup untuk melakukannya.. Tidak ada yang sanggup berada pada posisi seperti itu. Sebaliknya, kebanyakan manusia malah merasa berhak untuk bersikap egois. Lebih buruk lagi, ada yang merasa berhak bersikap egois dengan mengatasnamakan Allah.. 😁😁 

Kalau dipikir-pikir, dan kalau kita menyadarinya, harusnya kita merasa malu ya... sangat... sangat malu. Tuhan saja yang paling berhak untuk Maha Egois tidak melakukannya, lha kita yang super kroco ini kok berani-beraninya dan dengan bangganya bersikap egois? 😜😜😜

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hindari Berbohong dalam Berpolitik: INDEKS KORUPSI PARTAI POLITIK VERSI KPK WATCH: QUALIFIED ATAU ABAL-ABAL?

Akhir-akhir ini banyak beredar di dunia maya Indeks Korupsi Partai Politik yang dibuat oleh semacam lembaga (entah lembaga resmi, entah lembaga dadakan)dengan nama KPK Watch sebagai berikut di bawah. Bagaimana metode perhitungan Indeks Korupsi Partai Politik versi KPK Watch ini? KPK Watch mengambil data jumlah koruptor selama periode 2002-2014 dari laman ICW. Setelah diperoleh angka jumlah koruptor, KPK Watch membagi angka tersebut dengan jumlah suara yang diperoleh pada pemilu 2009. Maka didapatlah angka Indeks Korupsi Partai Politik yang kemudian dipublikasikan via social media. Tentu saja publikasi ini tidak melewati publikasi media cetak dan media elektronik. Mengapa? Entahlah.. kita tidak akan membahas itu. Kita hanya akan membahas bagaimana metoda perhitungan KPK Watch ini dan apa pengaruhnya pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 ini. Tapi mungkin dari pembahasan ini kita akan paham kenapa Indeks Korupsi Partai Politik yang dikeluarkan KPK Watch ti

Halloooo Indaah :)

Hallo Indah dan semua kawan yang bertanya tentang ulasan saya mengenai Data KPK Watch di Kompasiana ( http://politik.kompasiana.com/2014/04/03/analisa-sederhana-kejanggalan-data-kpkwatch-644252.html ). Sebetulnya saya merasa sangat tidak perlu membuat tulisan ini lagi. Karena jawaban atas tulisan Indah sudah sangat jelas di ulasan saya tersebut. Tapi mungkin Indah dan beberapa kawan yang lain belum bisa memahami kalau saya tidak menerangkannya secara grafis serta dengan contoh-contoh sederhana lainnya. Juga karena saran beberapa kawan ya pada akhirnya saya buat juga. Karena saya bukan anggota Kompasiana, maka saya tidak bisa memberikan komentar di tulisan Indah tsb. Mohon maaf kalau saya menjelaskannya dengan soal cerita matematika sederhana kelas 6 SD. Tidak bermaksud merendahkan dan menyamakan taraf pemahaman dengan anak kelas 6 SD, tapi memang ilmu statistik yang saya gunakan bukan ilmu statistik yang rumit, hanya ilmu statistik sederhana dan perbandingan sederhana yang ada di pel

JIKA AKU SHOLAT, SEHARUSNYA AKU JADI SEORANG MUSLIM YANG SEPERTI APA? (II)

Pada tulisan sebelumnya sudah dijelaskan bahwa 3 ritual awal sholat: wudhu, takbiratul ihram dan iftitah jika dilakukan dengan menyelami maknanya maka akan mengantarkan kita ke dalam 2 kondisi:  1. Pengendalian ketergantungan diri pada kemelekatan duniawi 2. Pengendalian ego Jika setelah berwudhu kita bisa melepaskan diri dari kemelekatan duniawi, lalu setelah takbiratul ihram dan membaca doa iftitah kita sudah bisa menihilkan ego, maka itu berarti kita siap untuk masuk ke tahap selanjutnya dalam sholat: berdialog dengan Allah lewat surat Al Fatiha. Tanpa masuk ke dalam 2 kondisi di atas, kita tidak akan bisa berdalog dengan Allah. Bacaan-bacaan Al Fatiha kita menjadi meaningless... tanpa makna, dan tidak akan membekas apa-apa dalam kehidupan kita.  Jika kita sudah siap, mari kita mencoba masuk dalam tahap berdialog dengan Allah. Bagi sebagian orang, bisa berdialog dengan Allah adalah sesuatu yang sangat didambakan. Bagaimana tidak.. Sebagian kita berharap bisa berdialog da