Langsung ke konten utama

Kopi Liberal


Saya bertemu dengan Adi Taroepratjeka pertama kali di bangku kuliah semester pertama. Kami sama-sama masuk T. Arsitektur di kampus Jl Ganesha tahun 1994. Kebetulan adik Adi adalah adik kelas saya di SMA. Saya dan adiknya sama-sama bergabung di majalah sekolah.

Memasuki tahun kedua kuliah, Adi memilih untuk pindah ke Enhaii untuk mengikuti passion-nya di dunia kuliner. Saya ketika itu sempat terkejut dengan keputusannya. Bagi saya sendiri keputusan untuk beralih ke dunia yang sama sekali berbeda itu adalah sebuah keputusan yang sangat berani. Apalagi dunia kuliner ketika itu belum se-booming sekarang.. sebelum berbagai stasiun televisi berlomba-lomba menampilkan chef-chef keren dan berbagai acara bergengsi ajang pencarian bakat dunia kuliner.

Pilihan Adi ternyata tepat. Ia serius menggeluti dunianya. Beberapa tahun kemudian nama Adi sudah berkibar sebagai barista. Ketika Kompas TV baru mulai mengudara, Adi didaulat untuk menjadi host Coffee Story.. sebuah acara yang berkisah tentang berbagai macam kopi yang ada di nusantara. Di acara itu Adi melakukan perjalanan ke berbagai pelosok Indonesia, mencicipi kopi, menggali dan berbagi cerita tentang kisah kopi di daerah tersebut. Coffee Story termasuk acara favorit saya. Hanya sebuah kopi memang... tapi mampu menggambarkan kekayaan keragaman di Indonesia. Gaya khas Adi ketika berbicara tidak berubah seperti pertama kali menjejakkan kaki di kampus ITB: kepalanya bergoyang2 seperti berkata: achaaa... achaaaa... achaaa... :D

Lewat acara Coffee Story itu saya tau bahwa Adi sudah jadi "Mpu" dalam dunia kopi. Karena bagi saya keahlian seseorang bukan didapat dari ketekunannya di bangku kelas dan dihadapan seorang guru, tetapi didapat dari sebuah perjalanan. Dari perjalanan itu seseorang akan menyaksikan banyak kejadian, pengalaman dan perenungan. Di situlah proses berpikir seseorang akan berjalan.
Saya mengamati bahwa orang-orang yang sering melakukan perjalanan biasanya lebih matang dalam pola pikir dan lebih bijaksana dalam memandang hidup. Tapi tentu saja tidak semua yang melakukan perjalanan bisa mendapatkan 'anugerah' seperti itu... Mengutip quote dalam Al Quran, anugerah itu hanya didapat oleh orang-orang yang mau berpikir  dalam perjalanannya.
Maka perjalanan adalah hal penting yang 'wajib' dilakukan oleh orang-orang 'besar'.. ehm... bukan besar tubuhnya ya.... :D

Satu kali saya pernah bertanya pada Adi: "Kopi Indonesia yang paling enak kopi apa Di?" Jawaban Adi: "Tergantung selera masing2 sih..." Tentu saja saya tidak puas dengan jawaban itu. saya belum mendalami kopi... baru mengenal kopi sehingga masih buta terhadapnya. Yang saya tau hanya Kopi Aroma Bandung dan Kopi Ulee Kareng Aceh. Dan saya sudah terlanjur menyukai keduanya. Sebagai orang yang masih buta terhadap kopi tentu saja saya ingin mendengarkan satu jenis kopi yang paling enak menurut Mpu Kopi. Saya tanya lagi kedua kalinya dengan sedikit tambahan agar Adi mau menyebutkan satu jenis kopi.. "Kalau menurut Adi apa yang paling enak?"... Kembali saya tidak puas dengan jawaban Adi: "Hmmm...  masing-masing ada keunikannya sih"

Satu waktu ketika membahas cara menyeduh kopi yg paling enak, Adi juga tidak menyatakan secara jelas. Semua dikembalikan lagi kepada selera masing-masing dan alat yang digunakan masing2. Pernah Adi menyatakan "suhu 97 terlalu panas kalau untuk V60 KATA SAYA MAH" Dan selanjutnya Adi kembali menegaskan kalau itu tergantung selera masing2 saja.

Baru saya sadar bahwa Adi ini adalah barista yang kalau dalam perdebatan aliran agama di Indonesia bisa2 dicap liberal oleh golongan takfiri :D :D Adi menolak untuk memaksakan seleranya pada orang lain. Adi menyadari bahwa selera orang berbeda-beda, dan itu adalah sesuatu yang tidak bisa dipaksakan. Jenis kopi dan alat menyeduh kopi juga bisa berbeda-beda, semua tergantung selera. Masing-masing orang bisa punya teknik sendiri. Ada yang hanya dengan menyeduh kopi dengan air panas saja kopinya bisa terasa enak. Tapi ada yang tidak bisa dengan cara itu dan harus menggunakan mokapot (seperti saya). Ada yang cukup dengan French Press, ada yang harus direbus, ada yang dengan V60 tapi ada juga yang harus dengan mesin espresso. Kesadaran terhadap beragamnya selera, macam kopi dan alat menyeduh diperoleh dengan perjalanan mengamati. Sedangkan saya yang buta terhadap kopi, baru belajar ttg kopi masih sibuk mencari2 pembenaran kopi mana yang paling enak. Kalau sudah Mpu tentu saja sudah bisa menikmati keunikan dan rasa masing-masing kopi.. malah merasa senang dengan berbagai keragaman itu.

Perjalanan membuat seseorang bisa bertemu dengan keragaman. Kaya-miskin, pintar-bodoh, bijaksana-cupet, indah-jelek, kasar-halus dan lain sebagainya. Ketika orang-orang yang mau berpikir berhadapan dengan keragaman dalam perjalanan tersebut maka timbul sifat tawadhu~rendah hati dalam dirinya, timbul juga kebijaksanaan dalam pikirannya. Dia bisa menghargai perbedaan dan menghormati pendapat masing-masing. Sekali lagi saya tekankan bahwa anugerah ini didapat hanya bagi orang-orang yang mau berpikir dalam perjalanannya. Banyak juga kok orang yang melakukan perjalanan dan hanya mendapatkan foto-foto narsis untuk diupload di sosmed :D

Demikianlah... ilmu padi itu benar adanya. Semakin berisi semakin menunduk ia. Dan ini tidak hanya untuk soal kopi saja. Di semua bidang ilmu.... baik agama, matematika, fisika, arsitektur sosial dlsb... dlsb... kita bisa melihat bahwa Mpu-Mpu yang luas pengetahuan dan pengalamannya akan lebih open minded, tidak mudah menjudge orang lain, menghormati perbedaan, menghormati pendapat orang lain, menghormati selera orang lain, menyukai keragaman. Ketika seseorang sibuk berkoar bahwa dia dan selera/teknik/cara/pendapatnyalah yang paling benar,... ketika seseorang sibuk menilai orang/selera/teknik/cara/pendapat orang lain... ketahuilah bahwa orang ini masih harus menggali lagi wacana dan pengalaman dalam ilmu/bidangnya. Ketahuilah bahwa orang ini masih baru terjun dalam bidang tersebut. Sama seperti saya terhadap kopi :)

Ilmu padi itu bisa berlaku meski dibolak balik
:
Semakin berisi. semakin menunduk ia...
Semakin menunduk, semakin berisi ia...




*Ilustrasi: Dyah Dyanita

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hindari Berbohong dalam Berpolitik: INDEKS KORUPSI PARTAI POLITIK VERSI KPK WATCH: QUALIFIED ATAU ABAL-ABAL?

Akhir-akhir ini banyak beredar di dunia maya Indeks Korupsi Partai Politik yang dibuat oleh semacam lembaga (entah lembaga resmi, entah lembaga dadakan)dengan nama KPK Watch sebagai berikut di bawah. Bagaimana metode perhitungan Indeks Korupsi Partai Politik versi KPK Watch ini? KPK Watch mengambil data jumlah koruptor selama periode 2002-2014 dari laman ICW. Setelah diperoleh angka jumlah koruptor, KPK Watch membagi angka tersebut dengan jumlah suara yang diperoleh pada pemilu 2009. Maka didapatlah angka Indeks Korupsi Partai Politik yang kemudian dipublikasikan via social media. Tentu saja publikasi ini tidak melewati publikasi media cetak dan media elektronik. Mengapa? Entahlah.. kita tidak akan membahas itu. Kita hanya akan membahas bagaimana metoda perhitungan KPK Watch ini dan apa pengaruhnya pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 ini. Tapi mungkin dari pembahasan ini kita akan paham kenapa Indeks Korupsi Partai Politik yang dikeluarkan KPK Watch ti

SEBUAH PABRIK BERNAMA UJIAN NASIONAL

Pagi itu saya sangat terkejut membaca sebuah berita di dunia maya. Wawancara Wakil Menteri Pendidikan mengenai Ujian Nasional yang saya baca di sini membuat saya terpukul: "Percayalah, kalau tidak diberi ujian, yakin saya sekolah itu tidak akan menerapkan proses belajar. Coba bayangkan Indonesia tidak ada semangat untuk belajar. Untung ada UN, mereka jadi belajar." Pernyataan ini membuat saya bertanya-tanya. Bagaimana bisa seorang Wakil Menteri Pendidikan berbicara seperti ini? Apakah ini didasari pengalaman pribadi Sang Profesor? Sehingga Wamen merasa sangat pesimis dengan berlangsungnya proses belajar di sekolah? Mungkin banyak pertanyaan di masyarakat: "apa sih yang salah dengan UN?" atau "perasaan jaman dulu Ujian nggak ribut-ribut seperti ini". Sungguh pada awalnya saya juga merasa heran, apa yang salah dengan UN? toh jaman dulu ini tidak ada masalah? Pada awalnya saya pernah menyatakan: Tidak ada yang salah dengan UN dan saya mendukung ad

Halloooo Indaah :)

Hallo Indah dan semua kawan yang bertanya tentang ulasan saya mengenai Data KPK Watch di Kompasiana ( http://politik.kompasiana.com/2014/04/03/analisa-sederhana-kejanggalan-data-kpkwatch-644252.html ). Sebetulnya saya merasa sangat tidak perlu membuat tulisan ini lagi. Karena jawaban atas tulisan Indah sudah sangat jelas di ulasan saya tersebut. Tapi mungkin Indah dan beberapa kawan yang lain belum bisa memahami kalau saya tidak menerangkannya secara grafis serta dengan contoh-contoh sederhana lainnya. Juga karena saran beberapa kawan ya pada akhirnya saya buat juga. Karena saya bukan anggota Kompasiana, maka saya tidak bisa memberikan komentar di tulisan Indah tsb. Mohon maaf kalau saya menjelaskannya dengan soal cerita matematika sederhana kelas 6 SD. Tidak bermaksud merendahkan dan menyamakan taraf pemahaman dengan anak kelas 6 SD, tapi memang ilmu statistik yang saya gunakan bukan ilmu statistik yang rumit, hanya ilmu statistik sederhana dan perbandingan sederhana yang ada di pel