Langsung ke konten utama

SEBUAH SISTEM KESEIMBANGAN DALAM BERNEGARA.



Ketika kita membicarakan sebuah negara, maka -selain ‘property’negara- berarti kita akan berbicara menyangkut 2 hal: Pemerintah dan Rakyat. Pemerintah adalah sebagian kecil warga negara yang berperan sebagai penyelenggara negara, sedangkan rakyat (saya definisikan disini) sebagian besar warga negara yang mengumpulkan dana untuk biaya penyelenggaraan negara. Dalam sebuah negara Demokrasi, peran pemerintah dan rakyatnya ibarat dewan komisaris dan dewan direktur. Rakyat sebagai pemegang saham dalam sebuah negara (dewan komisaris), sedangkan pemerintah sebagai penyelenggara pengambil keputusan (dewan direksi).

Apakah dalam bernegara ini definisi pemerintah dan rakyat bisa diartikan sebagai Yang Mengurus (Pemerintah) dan Yang Diurus (rakyat)? Belum tentu! Dalam berbagai hal ada banyak sekali peranan masyarakat/rakyat yang mengusahakan untuk mengurus dirinya sendiri. Ini akan terjadi jika dalam beberapa hal kebutuhan yang mendesak masyarakat merasa tidak dapat lagi menunggu pemerintah untuk mengurus kebutuhannya. Misalnya dalam pasokan listrik sebuah desa terpencil (seperti di Batang Uru Sulawesi Barat, Renah Kayu Embun Jambi, Pagar Bukit Lampung Barat, dll). Ketika masyarakat sudah menunggu lama dan harapan untuk listrik masuk ke desa tersebut tidak terpenuhi, pada akhirnya masyarakat tersebut mengambil inisiatif untuk membangun instalasi pembangkit listrik sendiri lewat tenaga air yang ada di desa.

Atau ketika pengelolaan sampah di satu wilayah tak mampu lagi ditangani pemerintah, pada akhirnya masyarakat sendirilah yang berinisiatif untuk mengelola sampahnya sendiri. Menjadikannya sebagai lahan bisnis yang memberikan nilai tambah bagi masyarakat itu sendiri. Dan berbagai inisiatif lainnya dari masyarakat untuk memajukan wilayahnya masing-masing tanpa campur tangan dari pemerintah. Dan ini sudah sangat banyak terjadi di setiap wilayah dari berbagai negara.

Pada akhirnya peran masyarakat tersebut ada yang kemudian difasilitasi oleh pemerintah. Seperti yang dilakukan oleh M. Yunus dengan grameen banknya. Grameen Bank yang berhasil memajukan ekonomi masyarakat, terutama ekonomi wanitanya dan diadaptasi di berbagai negara di luar Bangladesh telah menarik pemerintah Bangladesh untuk memberikan fasilitasnya.

Selain peran masyarakat untuk mengurus dirinya sendiri (yang sering disebut dengan istilah community development dan sering difasilitasi oleh LSM), peran masyarakat yang kedua adalah memberikan masukan-masukan bagi pemerintah dalam penyelenggaraan Negara. Masukan ini sangat dibutuhkan. Karena pada dasarnya masyarakat sendirilah yang paling mengetahui bagaimana kondisi yang ada di wilayahnya masing-masing. Lewat sebuah proses pengkajian masalah masyarakat mencari sebuah solusi yang paling ideal berdasarkan kondisi yang ada. Maka kemudian masyarakat mendorong pemerintah untuk memperbaiki sistem penyelenggaraan negaranya berdasarkan masukan-masukan tersebut.

Peran masyarakat yang ketiga adalah kontrol masyarakat kepada penyelenggaraan negara. Kontrol ini difasilitasi oleh peran media massa. Dan yang terpenting dalam pemegang peran ini adalah mahasiswa. Mengapa mahasiswa? Karena dengan latar belakang ilmiah dan intelektualitasnyalah mahasiswa di sini harus menempatkan diri bebas kepentingan, kecuali kepentingan rakyat. Mahasiswa tidak boleh berpihak pada kepentingan lain, selain dari itu.

Ketiga peran masyarakat ini: tindakan langsung terjun ke masyarakat, memberikan kajian dan masukan-masukan kepada pemerintah dan kontrol masyarakat kepada pemerintah harus dilakukan secara seimbang agar penyelenggaraan negara bisa berjalan dengan baik dan sesuai pada relnya. Jika salah satu dari ketiga peran ini tidak berjalan dengan imbang maka akan menyebabkan penyelenggaraan negara berjalan di luar rel yang seharusnya.

Pelajaran seperti ini terjadi di masa orde baru. Ketiga peran masyarakat tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hanya peran LSM yang langsung terjun ke masyarakatlah yang ketika itu bisa berjalan. Sedangkan peran kontrol masyarakat dan memberikan masukan-masukan kepada pemerintah tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pemerintah orde baru ketika itu sangat mengerti bahwa kedua peran terakhir bisa mengancam keberlangsungan kekuasaan ketika itu. Maka Media Massa dan Mahasiswa yang mendominasi kedua peran tersebut harus dibungkam. Maka dibuatlah berbagai aturan dan ketentuan yang bisa membungkam kedua pilar demokrasi tersebut. Dan berhasil. Tak ada kontrol bagi pemerintah, tak ada masukan bagi pemerintah. Penyelenggaraan negara berlangsung secara top-down. Dari atas ke bawah. Dari pemerintah langsung kepada rakyatnya. Maka program2 yang dijalankan pemerintah tidak berjalan secara mestinya. Target pemerintah hanyalah mengejar angka2 pembangunan, bukan kualitas pembangunan. Sementara masyarakat hanya bisa mencoba mengurus dirinya sendiri lewat community develompment yang diselenggarakan oleh LSM2 yang menjamur ketika itu yang hanya bersifat lokal dan tidak merata di seluruh penjuru nusantara.

Belajar dari pengalaman tersebut, maka peran pemerintah dan masyarakat harus berjalan secara seimbang. Pemerintah tidak dapat berjalan dengan baik jika tidak mendapatkan feedback yang seimbang dari masyarakat. Dan masyarakat tidak dapat menjalankan perannya dengan seimbang jika ketiga peran tersebut tidak dapat berjalan dengan baik dan saling mendukung. Sebuah negara tidak akan berhasil mencapai tujuannya dengan baik jika masyarakat hanya berusaha mengurus dirinya sendiri lewat metoda-metoda community development saja tanpa diimbangi peran kontrol, kajian dan masukan2 langsung kepada pemerintah. Sebaliknya, negara juga tidak akan berhasil dengan baik jika yang dilakukan masyarakat hanya peran kontrol saja tanpa memberikan masukan2 kepada pemerintah dan tanpa diimbangi dengan community development. Tidak ada satu negara pun yang bisa memperoleh kemajuannya tanpa usaha timbal balik masyarakat lewat ketiga peran tersebut.

Jika kita berkehendak untuk menggapai kemajuan bangsa sesuai dengan yang dicita-citakan negara maka ketiga peran masyarakat tersebut harus memberikan peranannya masing2 dan saling mendukung antara satu dengan yang lainnya. Tanpa peran masyarakat yang holistik tersebut, cita-cita mencapai perubahan ke arah yang lebih baik hanyalah sebuah mimpi belaka.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hindari Berbohong dalam Berpolitik: INDEKS KORUPSI PARTAI POLITIK VERSI KPK WATCH: QUALIFIED ATAU ABAL-ABAL?

Akhir-akhir ini banyak beredar di dunia maya Indeks Korupsi Partai Politik yang dibuat oleh semacam lembaga (entah lembaga resmi, entah lembaga dadakan)dengan nama KPK Watch sebagai berikut di bawah. Bagaimana metode perhitungan Indeks Korupsi Partai Politik versi KPK Watch ini? KPK Watch mengambil data jumlah koruptor selama periode 2002-2014 dari laman ICW. Setelah diperoleh angka jumlah koruptor, KPK Watch membagi angka tersebut dengan jumlah suara yang diperoleh pada pemilu 2009. Maka didapatlah angka Indeks Korupsi Partai Politik yang kemudian dipublikasikan via social media. Tentu saja publikasi ini tidak melewati publikasi media cetak dan media elektronik. Mengapa? Entahlah.. kita tidak akan membahas itu. Kita hanya akan membahas bagaimana metoda perhitungan KPK Watch ini dan apa pengaruhnya pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 ini. Tapi mungkin dari pembahasan ini kita akan paham kenapa Indeks Korupsi Partai Politik yang dikeluarkan KPK Watch ti

SEBUAH PABRIK BERNAMA UJIAN NASIONAL

Pagi itu saya sangat terkejut membaca sebuah berita di dunia maya. Wawancara Wakil Menteri Pendidikan mengenai Ujian Nasional yang saya baca di sini membuat saya terpukul: "Percayalah, kalau tidak diberi ujian, yakin saya sekolah itu tidak akan menerapkan proses belajar. Coba bayangkan Indonesia tidak ada semangat untuk belajar. Untung ada UN, mereka jadi belajar." Pernyataan ini membuat saya bertanya-tanya. Bagaimana bisa seorang Wakil Menteri Pendidikan berbicara seperti ini? Apakah ini didasari pengalaman pribadi Sang Profesor? Sehingga Wamen merasa sangat pesimis dengan berlangsungnya proses belajar di sekolah? Mungkin banyak pertanyaan di masyarakat: "apa sih yang salah dengan UN?" atau "perasaan jaman dulu Ujian nggak ribut-ribut seperti ini". Sungguh pada awalnya saya juga merasa heran, apa yang salah dengan UN? toh jaman dulu ini tidak ada masalah? Pada awalnya saya pernah menyatakan: Tidak ada yang salah dengan UN dan saya mendukung ad

Halloooo Indaah :)

Hallo Indah dan semua kawan yang bertanya tentang ulasan saya mengenai Data KPK Watch di Kompasiana ( http://politik.kompasiana.com/2014/04/03/analisa-sederhana-kejanggalan-data-kpkwatch-644252.html ). Sebetulnya saya merasa sangat tidak perlu membuat tulisan ini lagi. Karena jawaban atas tulisan Indah sudah sangat jelas di ulasan saya tersebut. Tapi mungkin Indah dan beberapa kawan yang lain belum bisa memahami kalau saya tidak menerangkannya secara grafis serta dengan contoh-contoh sederhana lainnya. Juga karena saran beberapa kawan ya pada akhirnya saya buat juga. Karena saya bukan anggota Kompasiana, maka saya tidak bisa memberikan komentar di tulisan Indah tsb. Mohon maaf kalau saya menjelaskannya dengan soal cerita matematika sederhana kelas 6 SD. Tidak bermaksud merendahkan dan menyamakan taraf pemahaman dengan anak kelas 6 SD, tapi memang ilmu statistik yang saya gunakan bukan ilmu statistik yang rumit, hanya ilmu statistik sederhana dan perbandingan sederhana yang ada di pel