Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2009

GERHANA

GERHANA Biarkan siang dan malam menjadi jarak pemisah antara bulan dan matahari. Namun dalam diam matahari tetap setia mengantarkan cahaya rindunya menyeberangi malam. Dan biarkan semua mengira mereka tak mungkin bersama, karena ketika bulan datang kepada matahari, seluruh alam akan terpesona menyebut namaNya. Pondok Aren 26 Oktober 2009

Perbedaan Yang Mencerdaskan

Temukanlah keindahan dalam pelangi karena warnanya yang beragam. Lalu, apakah kau akan menemukan keindahan yang sama, apabila ia hanya memiliki satu warna? Beberapa hari yang lalu ketika menuju Trisakti aku mendengarkan Radio,( seperti biasa )Delta FM. Tepat ketika Garin Nugroho berbicara. Ada satu kalimat yang –kalau bahasa gaulnya – menimbulkan chemistry hehehehe… (gaul dikit). Garin berkata: “saya percaya ketika orang memiliki banyak pilihan maka dia akan lebih cerdas”…. Ah ya…. Banyaknya pilihan membuat orang menjadi cerdas. Ya, tentu saja Garin mengatakan hal tersebut dalam hubungannya dengan dunia perfilman. Semakin banyaknya film yang diproduksi maka masyarakat tersebut akan lebih cerdas. Pasti dong, tentunya masyarakat akan mengumpulkan data lalu mensintesanya dalam proses penyaringan untuk menentukan pilihan mana yang akan ia tonton. Itu dari sisi masyarakat. Dari sisi produser film sendiri ia akan meningkatkan kualitas film yang diproduksinya karena timbulnya persaingan.

AKU ADALAH PELANGI

Aku adalah pelangi, dengan sekian banyak warna. Ketika kau memandangku kau akan mencintaiku. Meskipun ada juga warnaku yang kaubenci. Tapi tak mengapa. Karena kau mencintaiku: Si Pelangi dengan sekian banyak warna Pondok Aren, 22 Oktober 2009

SESUNGGUHNYA IA HENDAK MENGHANTARKAN HUJAN

Si Hawa Panas sangat mengerti mengapa banyak yang mengeluh padanya. Ia tidak marah kepada seorang wanita yang merengut karena bedaknya luntur oleh keringat si Hawa Panas. Ia kasihan kepada seekor cacing yang menggelepar di tanah karena hembusan si Hawa Panas. Menerima keluhan dan cacian di sepanjang jalan si Hawa Panas tetap berjalan diam. Karena ia sedang membawa tugas: Mengantarkan hujan. Mengantarkan hujan harapan petani, mengantarkan hujan yang membuat katak menari, dan bocah-bocah berlarian dengan gembira diantara rintiknya. Maka si Hawa Panas tetap menerima keluhan dan cacian, karena ia membawa kebahagian: Hujan. Dan ketika hujan turun disambut sukacita, si Hawa Panas berlalu membawa caci maki itu. Tidak ada yang peduli dengannya. Semua sibuk menyambut hujan. Si Hawa Panas terus berjalan menyambut keluhan dan caci maki, sambil menggandeng hujan di belakangnya. Pondok Aren, 18 Oktober 2009 (Ketika terbangun di tengah malam dan menulis puisi ini aku jadi teringat kepada seseorang.

Si Rumput Liar

Hari Minggu yang cerah, diawali dengan membuka jendela. Membiarkan matahari menyelisipkan cahayanya di antara tirai-tirai jendela, membiarkan udara memenuhi ruang di antara paru-paru kita, membiarkan mata memandang hijaunya rerumputan yang masih dibasahi embun. Tapi... o..o... lihat halaman rumah kita. Rumput-rumput liar sudah mulai tumbuh. Ya, mereka tumbuh lebih tinggi di antara rumput gajah mini yang sengaja kita tanam. Huh... kita tidak berharap rumput-rumput liar itu ada di sini. Sama sekali tidak indah. Adduuuh... tanganku sudah gatal ingin mencabut rumput-rumput liar itu. Setelah urusan-urusan di awal pagi selesai, sekarang..... ayoo anak-anak kita menuju halaman untuk mencabut rumput-rumput liar itu, agar halaman kita menjadi indah kembali. Nah... lihat ini anak-anak, rumput liar selalu lebih cepat tumbuh diantara rumput-rumput gajah mini yang indah ini. Maka kita harus mencabut rumput liar ini beserta akarnya. Karena kalau akarnya kita tinggalkan maka dia akan tumbuh lagi, t